Kajian Islamic Studies: Dimensi Religiositas
Kelas SosiologiSaya tentu merasa bersyukur dipercaya oleh UINKHAS Jember untuk mengajar pada Program Doktor Islamic Studies dalam mata kuliah Sosiologi Islam. Melalui Ketua Program Studi, Sofkhatin Khumaidah, PhD., saya diberikan peluang untuk mengajar melalui team teaching bersama Prof. Dr. Khusna Amal, MSi dan Prof. Dr. Mujia Raharjo, MSi. Tulisan ini merupakan rekaman atas perkuliahan saya yang sampai pada Sabtu, 02/03/2024.
Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam perkuliahan ini, yaitu: Pertama, kajian sosiologi Islam bisa masuk dalam konteks what does religion do for others. Kajian ini lebih terfokus pada peran atau fungsi agama di dalam kehidupan masyarakat. Agama menjadi pattern for behavior. Agama memiliki sejumlah nilai atau norma yang dapat dijadikan sebagai “pengatur” prilaku manusia. Agama dijadikan sebagai rujukan di dalam menilai prilaku manusia dalam relasinya dengan dunia sosialnya. Kajian seperti ini cenderung ke penelitian kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis secara kuantitatif atas peran atau fungsi agama di dalam kehidupan social. Dengan demikian diperlukan pengukuran atas indikator-indikator prilaku masyarakat dalam kaitannya dengan agama. Misalnya menganalisis variable kepatuhan santri sebagai variable dependent dengan charisma kyai, lingkungan pesantren dan tradisi pesantren sebagai variable independent. Kepatuhan santri bisa diukur, charisma kyai juga bisa diukur, lingkungan pesantren dapat diukur dan tradisi pesantren juga dapat diukur. Di sini diperlukan definisi operasional yang berisi indicator-indikator dan kemudian dibuatlah instrument pengumpul datanya.
Kemudian, kajian yang menekankan pada makna agama atau What is religion. Sasaran kajian dalam konteks ini adalah realitas social keagamaan yang terfokus pada tindakan social keagamaan. Tindakan social merupakan tindakan yang ditujukan kepada orang lain. Jadi tindakan beragama tentu ada kaitannya dengan orang lain. Di dalam kajian sosiologis disebut sebagai tindakan bermakna, yaitu tindakan yang ditujukan kepada orang lain. Misalnya kita mengkaji tentang barakah dalam tindakan social kiai, atau ritual Mauludan bagi komunitas pinggiran perkotaan, atau poligami dalam tindakan kiai di Madura dan sebagainya. Yang dikaji adalah apakah makna tindakan social tersebut bagi para pelakunya. Harap dipahami di dalam penelitian kualitatif yang ada adalah memahami dan bukan menjelaskan.
Kedua, dimensi-dimensi keberagamaan. Dikenal ada lima dimensi, yaitu: dimensi teologis, kognitif, ritual, konsekuensial dan pengalaman beragama. Dimensi teologis menyangkut seperangkat keyakinan atas adanya kekuatan gaib, sesuai dengan agamanya. Di dalam sosiologi yang dikaji bukan dzat, sifat dan af’al Tuhan atau tauhid rububiyah dan uluhiyah sebagaimana kajian teologis, tetapi yang dikaji adalah makna Tuhan bagi para pelaku ibadah atau tindakan beragama yang bermakna berbasis teologis. Dimensi ritual juga terkait dengan tindakan bermaka dalam beribadah kepada Allah. Orang membaca shalawat dan bacaan shalawat tersebut sangat bermakna bagi dirinya. Dimensi pengetahuan terkait dengan seperangkat pengetahuan dalam ajaran agama.
Pada studi sosiologis maka yang dikaji adalah makna pengetahuan beragama bagi para pelakunya. Pengetahuan beragama tersebut menginspirasinya untuk bertindak sesuai dengan pengetahuannya. Lalu ada dimensi konsekuensial yakni bagaimana agama membawa konsekuensi untuk melakukan tindakan social. Orang melakukan jihad bom bunuh diri karena penafsiran tentang jihad sebagai perang offensive. Seseorang melakukan tindakan ingin mendirikan khilafah karena penafsiran tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Para waliyullah datang dari Gujarat atau Parsi atau wilayah Timur Tengah lainnya karena dorongan untuk menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Kanjeng Sunan Giri berdakwah sampai di Ternate Maluku Utara karena dorongan dakwah Islam. Konsekuensi pengetahuan beragama akan mendorongnya untuk melakukan ajaran agama dimaksud.
Kemudian pengalaman beragama atau the experience of the holy merupakan pengalaman yang bercorak individual namun bisa ditipologikan secara sosiologis, artinya terdapat pengalaman beragama yang sama atau mendekati kesamaan. Misalnya orang yang bermimpi bertemu Rasulullah, maka ada cerita yang bisa saja mendekati kesamaan. Maka bisa ditipologikan dalam pengkategorian yang sama. Dimensi-dimensi beragama sebagai uraian ini memberikan gambaran bahwa sasaran kajian sosiologi Islam ternyata memiliki variasi dan seorang peneliti bisa memilih mana yang dianggap relevan dengan konteks masalah yang akan dikajinya.
Ketiga, di dalam kajian sosiologis, tentu ada paradigma yang harus diperhatikan, yaitu paradigma fakta social yang menjadikan sasaran kajiannya adalah fakta social yang tidak berwujud benda, yang abstrak, yang bercorak eksternal dan berpengaruh terhadap prilaku manusia. Kajian sosiologi Islam dalam paradigma ini relevan dengan konsepsi What does religion do for others. Hal yang dikaji adalah nilai, norma, struktur social religious, dan sebagainya yang berpengaruh atau berperanan bagi perilaku manusia. Bisa dikaji misalnya bagaimanakah norma agama berpengaruh terhadap perilaku beragama. Adakah norma agama menjadi variable independent yang berpengaruh terhadap perilaku manusia sebagai variable dependen-nya.
Di dalam paradigma definisi social, yang dikaji adalah realitas social yang terfokus pada tindakan social. What is religion berada di dalam konteks paradigma ini. Hal yang dikaji adalah apakah makna agama bagi kehidupan manusia atau individu-individu yang melakukan tindakan keberagamaan. Apa yang ingin dipahami adalah apa yang berada dibalik tindakan. Setiap orang yang melakukan tindakan dipastikan akan terdapat motif tujuan atau motif penyebab atau dikenal sebagai In order motive and because motive. Di dalam studi fenomenologi hal ini ditekankan sedemikian rupa. Selain hal tersebut, juga terdapat paradigma prilaku social yang proposisinya menekankan pada konsep bahwa prilaku manusia ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Misalnya prilaku santri di pesantren dipastikan akan sesuai dengan lingkungan pesantrennya.
Di dalam kajian sosiologis kita beruntung mendapatkan suatu konsep yang sangat bagus dan memberikan kepada para peneliti dalam penelitian social keagamaan untuk menjadikannnya sebagai pijakannya. Bahwa kebenaran berbasis empiric sensual atau kebenaran yang dihasilkan dari pengamatan, lalu kebenaran yang berbasis pada empiric rasional atau akal pikiran membenarkannya, lalu kebenaran berbasis pada empiric etis atau etika membenarkannya namun juga terdapat kebenaran empiric transcendental atau berbasis pada keyakinan dan kepercayaan atas hal-hal yang gaib.
Sebuah disertasi dalam cabang Antropologi yang sangat baik ditulis oleh Geger Riyanto, dosen UI yang berjudul “Being Strangers in Eastern Indonesia: Misunderstanding and Suspicious Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram”, memperoleh penghargaan sebagai disertasi terbaik di Jerman dari Frobenius Institute, sebuah Lembaga antropologi tertua di Jerman. Disertasi ini mengkaji tentang Siluman Ular. Disertasi ini mengkaji warisan budaya hingga asal-usul masyarakat Buton. Asal usul masyarakat Buton tidak terlepas dari keyakinan tentang mitologis tentang manusia setengah ular yang menjadi bagian dari sejarah masyarakat Buton di Seram.
Jika di Banyuwangi, maka Tari Gandrung Banyuwangi juga dikaitkan dengan manusia setengah ular yang menjadi cikal bakal tarian dimaksud. Hal ini tentu bisa dikaji dalam konteks apakah hakikat tarian Gandrung dalam perspektif meaning dalam penelitian kualitatif yang pembenarannya berbasis pada empiric transcendental.
Wallahu a’lam bi al shawab.