(Sumber : Gramedia)

PENGEMBANGAN PESANTREN: Kyai, Institusi dan Dinamika Pembaharuan

Kelas Sosiologi

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

  

Pendahuluan 

  

Di dalam paradigma fakta sosial bahwa tidak ada fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. (Syam, 2022). Asumsi konseptual ini bisa dijadikan sebagai instrument untuk memahami dunia pesantren yang berkembang dinamis di tengah perubahan social yang juga terus bergerak secara cepat. Sekarang kita memang sedang berada di era perubahan cepat dalam banyak aspek kehidupan, dan bahkan terkadang kita bisa tertatih-tatih menghadapi perubahan cepat yang tidak terduga sebelumnya.

  

Era sekarang memang dikenal sebagai era Volatility, uncertainty, complexity and ambiguity (VUCA). Era yang tidak menentu, perubahan yang cepat, nyaris tidak terduga sebelumnya, kompleks dan ambiguitas. Era ini menjadi sebuah era yang prediksi atau prakiraan terkadang tidak relevan. Banyak perubahan yang terjadi dan tidak sesuai dengan prediksi sebelumnya. Sungguh merupakan era yang menyebabkan orang harus mengernyitkan dahi. Misalnya tiba-tiba datang wabah Covid-19 yang akhirnya mengubah seluruh performance kehidupan yang stabil menjadi goyang dan tertatih-tatih. Tiba-tiba harus melakukan social distancing, physical distancing dan segala sesuatu diremot dari rumah. Bekerja, belajar dan beribadah harus dilakukan di rumah. 

  

Pesantren juga mengalami hal yang sama. Mayoritas pesantren harus merumahkan santrinya. Pesantren yang selama ini menjadi medan program pembelajaran dalam system khusus, tiba-tiba harus beralih ke system daring. Lembaga pendidikan sekolah atau madrasah juga mengalami hal yang sama, termasuk juga perguruan tinggi yang juga harus melakukan program pembelajaran daring atau learning from home. Namun demikian, di tengah pergulatan perubahan social tersebut pesantren masih eksis dan dapat mengembangkan diri.

  

Keistimewaan Pesantren

  

Pendidikan pesantren memang sebuah institusi pendidikan yang unik. Keunikannya itulah yang menyebabkan pesantren menjadi lahan kajian dan penelitian yang tiada habisnya. Pesantren tidak hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan,  akan tetapi juga lembaga pemberdayaan masyarakat dan lembaga pengembangan SDM andal yang telah melahirkan banyak tokoh baik nasional maupun internasional. 


Baca Juga : Antropologi Haji: Perspektif Baru Ilmu KeIslaman Integratif

  

Berdasarkan kajian Zamakhsyari Dhofier (1995), maka pesantren memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dengan institusi pendidikan lainnya. Di antara ciri khas pesantren tersebut adalah adanya kyai, santri, pembelajaran kitab kuning, masjid dan asrama santri. Kelimanya merupakan satu kesatuan komplementer yang harus ada. Tiada pesantren yang tidak memiliki lima unsur tersebut. Betapa kecilnya pesantren, maka lima unsur tersebut harus eksis. Dan lima unsur ini yang mengabsahkannya sebagai pesantren. (Syam, 2018).

  

Ciri pesantren yang sangat penting adalah kyai. Legalitas pesantren sangat tergatung kepada keberadaan kyai yang berkemampuan di dalam ilmu agama, yang alim allamah dalam bidang ilmu keislaman, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu Bahasa Arab, ilmu tasawwuf dan lainnya. Penguasaan atas ilmu-ilmu ini mutlak adanya, meskipun dapat saja terdapat satu ilmu yang menjadi keahliannya. Misalnya ahli hadits, ahli tafsir, ilmu fiqih dan lainnya. Bahkan juga bisa saja seorang kyai memiliki ilmu pengetahuan yang sama-sama baiknya di dalam ilmu keislaman.

  

Kyai adalah pemimpin pesantren. Kyailah yang akan menentukan ke arah mana sebuah pesantren akan dikembangkan. Seorang kyai mestilah memiliki visi dan misi pengembangan pesantren yang berbasis pada seperangkat pengetahuannya tentang ilmu agama. Selain mengandalkan kemampuannya dalam pilihan rasionalnya, seorang kyai juga orang yang sangat kuat dalam pilihan supra rasionalnya. Sebagai akibat kedekatannya dengan kekuatan Gaib, Allah SWT, maka seorang kyai tidak hanya mengandalkan pemikiran rationalnya tetapi juga mendengarkan bisikan gaib dari Allah untuk pengembangan pesantrennya. 

  

Melalui instrument shalat istikharah dan kemampuan wirid di atas rata-rata manusia lainnya, maka kyai memiliki kemampuan ainun bashirah yang lebih baik ketimbang kaum awam. Para kyai memiliki kemampuan supra rational yang sungguh bisa menjadi distingsi dibandingkan manusia pada umumnya. Tentu banyak kyai yang memiliki kemampuan untuk melihat masa lalu seseorang dengan sangat baik, konon katanya seperti cermin, dan juga memiliki kemampuan untuk mencandra masa depan juga dengan sangat baik. Kemampuan seperti ini terjadi karena riyadhoh yang dilakukannya dengan sepenuh hati dan usaha serta doa.

  

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Imron Arifin (1995), maka kepemimpinan kyai itu kepemimpinan yang unik. Keunikannya terletak pada kepemimpinan yang bercorak sirkular dan bukan linear. Tidak sebagaimana corak kepemimpinan sebagaimana konsepsi Max Weber (Runciman, 2007, 1964) yang bergerak secara linear, dari kepemimpinan kharismatis, ke kepemimpinan tradisional, ke kepemimpinan legal formal, akan tetapi di dunia pesantren bahwa semula memang kepemimpinan kharismatis, lalu ke kepemimpinan tradisional kharismatis, lalu ke kepemimpinan legal formal tradisional kharismatis. 

  

Kepemimpinan kharismatis adalah kepemimpinan yang legalitasnya berbasis pada kekuatan adi kodrati. Kepemimpinan yang diakui pengabsahannya berbasis pada pengakuan masyarakat bahwa yang bersangkutan memiliki kekuatan adikodrati. Bukan orang sembarangan. Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari pendiri pesantren Tebuireng bukanlah sembarang orang. KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di area yang yang tidak ramah terhadap Islam. Perilaku kemungkarannya luar biasa. Tetapi dengan ketekunan dan kesabarannya maka daerah yang semula merah membara kemudian menjadi hijau menyejukkan. Pesantren berdiri di situ dan berkembang sangat pesat. 

  

Dari pesantren ini, maka mengalir ide-ide besar, seperti lahirnya NU, Resolusi Jihad dan Jihad melawan pemerintahan Belanda yang dhalim.  Melalui visi dan misi KH. Hasyim Asy’ari maka melahirkan Perang Surabaya yang kemudian dikenal sebagai  Hari Pahlawan. Para santri dan masyarakat serta lasykar sabilillah, maka teriakan Allahu Akbar membahana dan meneguhkan para jihadis untuk melakukan perlawanan atas Belanda. Pada perang 10 November tersebut, seorang Jenderal yang sangat disegani, Mallaby, tewas di tangan para pejuang kemerdekaan. Peran besar seperti ini tidak hanya lahir dari pemikiran rasional semata tetapi berkaitan dengan pemikiran supra rasional. 

  


Baca Juga : Puasa untuk Meneguhkan Kebinekaan

Penggantinya adalah putra-putranya yang kemudian memperoleh pengabsahan dari kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari. Putranya mewarisi kepemimpinan pesantren, sehingga corak kepemimpinannya dinyatakan sebagai kepemimpinan tradisional. Namun demikian seirama dengan perkembangan waktu, maka yang semula kepemimpinan tradisional juga akhirnya menjadi pemimpin yang kharismatis, maka kepemimpinannya lalu bisa dilabel dengan kepemimpinan tradisional kharismatis. Zaman terus berubah. Maka kepemimpinan yang semula tradisional kharismatis juga berubah menuju ke arah kepemimpinan yang legal formal, artinya kepemimpinan yang basis pengabsahannya dari regulasi internal yang dibuat oleh pesantren tersebut. Semakin menyusutnya pengetahuan keislaman dan tersebarnya keahlian di dalam kyai di pesantren, maka corak kepemimpinan menjadi legal formal atau diabsahkan oleh regulasi di dalam pesantren. Tetapi tetap saja berbasis pada kepemimpinan tradisional. Inilah kekhasan dalam dunia pesantren. Kepemimpinan bukan bercorak linear tetapi sirkular.

  

Ciri khas lainnya adalah pembelajaran Kitab Kuning. Pesantren harus mengajarkan kitab kuning selama masih berlabel pesantren. Kecuali pesantren yang banyak bertebaran dewasa ini yang mengusung konsep pesantren modern atau pesantren tahfidz. Selama pesantren tersebut dapat dilabel sebagai pesantren salafiyah, bukan salafi, maka pembelajaran kitab kuning adalah ciri khasnya. Berdasarkan pelacakan yang dilakukan oleh Martin van Bruinessen, bahwa terdapat sebanyak 126 jenis kitab klasik dalam berbagai ilmu di dalamnya. Ilmu tersebut meliputi ilmu aqidah, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Alqur’an, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf dan lainnya. (Van Bruinessen, 1995). 

  

Kitab yang dipelajari di dunia pesantren adalah kitab asli sebagaimana tulisan penulisnya. Bukanlah kitab yang sudah ditashih oleh ulama-ulama sekarang. Di antara yang dapat menjadi contoh adalah Kitab Bulughul Marom yang ditulis oleh Imam Nawawi. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan mengalami proses tashih dari Ulama Salafi, milsanya Syekh Nashiruddin Albany, Syekh Abdullah bin Bas dan Syekh Al Utsaimin. Ada banyak hadits yang kemudian ditashih dan kemudian tidak disertakan karena dianggapnya tidak memenuhi kriteria yang dianggapnya meyakinkan.  (Nawawi, 2010).

  

Lalu yang tidak kalah menarik juga masjid sebagai tempat pendidikan peribadahan. Masjid adalah laboratorium keberagamaan. Di masjid inilah upacara-upacara keagamaan dilakukan, misalnya shalat jamaah, shalat malam dan juga pengajian rutin. Meskipun pada masing-masing asrama bisa memiliki mushalla akan tetapi masjid besar menjadi standart bagi tolok ukur kebesaran pesantren. Di masa lalu, masjid menjadi tempat bagi kyai untuk menyampaikan pengajian yang sifatnya umum atau pengajian wetonan. Misalnya selasanan atau kamisan.  

  

Tentang asrama santri memang sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Di masa lalu, asrama santri terdiri dari kayu dengan atap dari genting atau ijuk. Seperti gubuk. Di dalam satu gubuk itu terdapat sejumlah santri mukim. Di tempat itulah para santri deres kitab atau Alqur’an. Dan situ pula para santri menjalani kehidupan pada siang dan malam. Di masa lalu, para santri belajar mandiri dengan asrama seadanya. Tetapi di masa sekarang, para santri bisa menempati asrama permanen yng dibangun oleh pimpinan atau pengelola pesantren. Namun demikian, dari bilik pesantren yang kurang terawatt itu justru lahir orang-orang besar, misalnya Gus Dur, Cak Nur, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Sahal Mahfudz dan sebagainya.

  

Kyai dan Fungsi Sosial Religiusnya

  

Ada banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli terkait dengan peran kyai di dalam kehidupan social kemasyarakatan. Penelitian tersebut menghasilkan ada banyak konsep yang sangat fundamental di dalam kajian Islam, Kyai dan Pesantren. Di antara konsep yang sangat mendasar berasal dari kajian Geertz (1981 dan 1960), tentang Kyai sebagai cultural broker atau kyai sebagai makelar budaya. Kajian menekankan pada peran kyai yang fungsinya adalah sebagai sosok yang melakukan penyaringan terhadap berbagai hal-hal baru yang memasuki kehidupan masyarakat. Misalnya, kala terjadi upaya pemerintah untuk melakukan gerakan perubahan social di bidang tertentu, maka kyai yang menjadi penerjemahnya atau penyaring atas hal tersebut. Jadi peran kyai melakukan upaya untuk menyaring berbagai pembaharuan yang dilakukan oleh siapapun dan jika sudah dianggap klar berdasarkan perspektif pesantren, maka kyai akan memberikan justifikasinya.

  

Konsepsi Gertz ini bertahan sangat lama, sampai kemudian datang Horikoshi (1987), yang secara tidak langsung mendobrak dominasi Geertz dimaksud. Horikoshi mengangkat satu konsep bahwa kyai adalah mediator. Dalam penelitiannya pada Kyai Yusuf Tajri di Jawa Barat, ditemukan kenyataan bahwa kyai memiliki peran untuk menjadi mediator relasi antara pemerintah dan masyarakat. Kyai memiliki peran sentral dalam menghubungkan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat. 


Baca Juga : Waspadai Pencuri Pahala Kala Puasa

  

Kemudian datanglah Pradjarta Dirdjosanjoto (1999) yang melakukan penelitian di Kajen untuk melihat peran kyai dalam kehidupan social kemasyarakatan. Menurutnya, bahwa ternyata kyai memiliki dua peran sekaligus, yaitu sebagai cultural broker dan sebagai mediator. Kyai di Pesantren Maslakul Huda, ternyata bisa memerankan secara apik atas dua peran ini sekaligus. Jika kyai pesantren memiliki peran social yang lebih luas dalam skala nasional, maka kyai langgar memiliki peran khusus dalam kaitannya pada masyarakat local. Dalam memelihara umat, keduanya memiliki peran dalam skala cakupan yang berbeda tetapi sama-sama melakukan peran menjaga tradisi Islam yang menjadi menjadi mainstream Islam di Indonesia.

  

Secara tipologis, kyai juga dapat dipetakan posisi dan perannya masing-masing. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Endang Turmudi, maka pesantren di Jawa Timur dapat dikategorikan sebagai kyai Pendidik, kyai politik, kyai panggung, kyai kampung,  dan lain-lain-lain. Di dalam penelitiannya tersebut terdapat kategori kyai dengan labelnya masing. Peran social kyai dapat dipahami dari aktivitas kyai di dalam kehidupan social kemasyarakatan. Kyai politik, misalnya karena kyai tersebut masuk dalam aktivitas politik, misalnya menjadi anggota legislative atau masuk dalam ranah pemerintahan. Kemudian kyai pendidikan adalah gambaran kyai yang tetap bertahan untuk mengajar saja di pesantrennya tanpa terkooptasi dalam gerakan-gerakan social yang tidak diinginkannya. Kyai panggung adalah kyai yang tidak memiliki pesantren secara formal tetapi memberikan ceramah agama di berbagai wilayah dalam kapasitas sebagai da’i.

  

Di dalam perkembangan berikutnya, maka terdapat perluasan makna kyai dalam peran social kemasyarakatannya, seperti kyai birokrasi atau kyai public adalah kyai yang menduduki jabatan-jabatan public seperti menjadi Bupati atau wakil bupati, gubernur atau wakil gubernur dan sebagainya. Perkembangan lebih lanjut adalah kyai pemberdayaan masyarakat dan kyai yang bergerak dibidang gender, koperasi dan keuangan syariah dan sebagainya.

  

Kyai dan Pengembangan Lembaga Pendidikan Pesantren

  

Di antara penelitian yang paling otoritatif tentang dinamika kelembagaan pesantren adalah kajian Karl Steenbrink (1986) di dalam bukunya yang berjudul “Pesantren, Madrasah, Sekolah”. Penelitian ini mengelaborasi tentang perubahan di dalam dunia pesantren yang sangat dinamis. Perubahan tersebut berjalan sesuai dengan perubahan zaman yang memang menghendaki dunia pesantren tidak tertinggal dari perubahan social yang terjadi dewasa ini. Perubahan tersebut adalah dari pesantren dengan focus pada kajian ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih, tasawuf dan ilmu keislaman lainnya. Kemudian seirama dengan tuntutan perubahan maka pesantren kemudian menyelenggarakan pendidikan madrasi yang kurikulum dan system pembelajarannya menggunakan kurikulum yang diusung oleh Kemenag. Perkembangan berikutnya lalu masuklah system pendidikan sekolah, sehingga kurukulumnya mengikuti kurikulum pendidikan di Kemendikbud. Melalui system pendidikan sekolah, maka pesantren lalu memiliki tiga system pendidikan sekaligus, yaitu pendidikan keislaman, pendidikan bersistem madrasi dan pendidikan system sekolah. 

  

Sesuai dengan perubahan ini, maka di dalam pesantren dijumpai pendidikan khusus keislaman, lalu ada Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Kemudian juga terdapat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, bahkan juga Sekolah Kejuruan. Perubahan seperti ini tentu dikaitkan dengan tuntutan zaman di mana semakin banyak peminat pesantren yang menginginkan alumni pesantren bisa memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi sesuai dengan minat dan harapannya. 

  

Memang harus diakui bahwa dengan bervariasinya jalur, jenis dan jenjang pendidikan, maka akan mereduksi terhadap pembelajaran kitab kuning. Dan hal ini secara empiris telah menjadi kenyataan. Ada banyak alumni pesantren yang tidak lagi memiliki kemampuan memadai dalam pembacaan kitab kuning. Bukan rahasia lagi, bahwa dengan semakin bervariasinya program pendidikan maka akan menyebabkan terjadinya kekurangan waktu dalam pembelajaran kitab-kitab kuning dan akibat lanjutannya adalah rendahnya penguasaan atas teks-teks klasik. 

  


Baca Juga : Gerakan Pilantropi Pendidikan: Masyarakat Memiliki Modal Sosial Budaya

Pesantren memang telah bergerak jauh dalam program Pendidikan dan kemasyarakatan. Pada saat Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) memiliki banyak program kerja untuk pemberdayaan pesantren dan masyarakat, maka juga banyak pesantren yang memperoleh sentuhan pengembangan kelembagaan untuk memasuki area baru yang belum dilakukan, yaitu program pemberdayaan masyarakat. Tercatat misalnya Pesantren An Nuqayyah Sumenep yang bergerak dalam pemberdayaan lahan kering, Pesantren Maslakul Huda Kajen yang bergerak dalam pengembangan peternakan, Pesantren Langitan Tuban yang bergerak dalam pemberdayaan peternakan dan sebagainya (Effendi, 1990). 

  

Kemudian, pesantren juga bergerak dalam pengembangan kehutanan masyarakat. Pesantren Langitan misalnya memiliki lahan-lahan hutan yang didayagunakan untuk mengembangkan hutan rakyat. Program pemerintah untuk memberikan peluang bagi masyarakat melalui keterlibatan pesantren dalam menanam berbagai produk pertanian yang bermanfaat. Melalui kerja sama dengan Kementerian Kehutanan, maka banyak pesantren yang terlibat di dalam program inovatif ini.

  

Dalam pengembangan kebahasaan, pesantren juga bekerja sama dengan konsulat jenderal China untuk pengembangan kapasitas kebahasaan. Di banyak pesantren terdapat program pembelajaran Bahasa Mandarin, misalnya pesantren Nurul Jadid. Dan hasilnya sungguh luar biasa dengan banyak santri yang bisa belajar di China dalam level pendidikan tinggi. Salah satu di antaranya adalah Novi Basuki, PhD, yang selama 10 tahun belajar di China mulai dari program sarjana sampai doctor. 

  

Pesantren juga mengembangkan pendidikan berbasis teknologi informasi, misalnya Pesantren Hasanain yang diasuh oleh Tuan Guru Hasanain di Lombok Tengah yang seluruh santrinya sudah belajar dengan menggunakan perangkat computer, bahkan pada tahun 2018, santri-santri di sana sudah bisa merangkai perangkat computer dalam waktu yang relative singkat, seingat saya hanya dalam waktu 15 menit. Seluruh santrinya sudah menggunakan piranti teknologi dan di antara inovasi yang baru adalah melakukan digitalisasi kitab klasik dan buku yang didapatkannya atau dimilikinya. Jika kita ingin dengan mudah mengakses buku digital, maka pilihannya adalah pesantren ini. Selain itu juga menjadi pusat penghijauan. Setiap tahun pesantren ini memberikan donasi pohon tidak kurang dari 500 ribu polibag yang didonasikan kepada masyarakat sekitarnya. Makanya, Kyai Hasanain pernah mendapat hadiah Magsaysay dari Filipina terkait dengan program penghijauan.

  

Satu lagi pengembangan kelembagaan pesantren adalah dengan gerakan koperasi pesantren. Dikembangkan oleh Pesantren Sidogiri, di bawah Kyai Nawawi, maka Pesantren ini menjadi contoh pesantren yang berhasil dalam pengembangan ekonomi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bahrul Huda (2021), maka pesantren ini telah berkembang jauh, tidak hanya mengembangkan koperasi, akan tetapi juga mengembangkan Ritel Basmalah. Ritel ini telah menerapkan manajemen modern dan telah menjadi ritel berjejaring. Ritel Basmalah telah menghiasi roda perkembangan pesantren yang bergerak dalam jasa perekonomian. Di sepanjang jalur pantura akan didapati Toko Basmalah yang semuanya memiliki jejaring dengan pusatnya. Sungguh perkembangan yang sangat menarik dalam blantika pengembangan pesantren. 

  

Tentu masih banyak perubahan kelembagaan, misalnya pesantren yang mengembangkan pusat kesehatan, pusat teknologi terapan, pusat home industry dan juga pusat pengembangan pesantren dan masyarakat. Melalui kerja sama dengan Bank Nasional Indonesia (BNI), maka banyak pesantren yang memperoleh sentuhan modal pemberdayaan kelembagaan yang berpengaruh sangat signifikan. Pesantren Nurul Iman di Parung adalah contoh keberhasilan program kerja sama ini. (Syam, 2020b).

  

Kala Pesantren Bukan Lagi Identik Dengan Islam Wasathiyah

  

Pendidikan memang investasi bagi kehidupan masyarakat. Melalui pendidikan maka akan tercipta generasi yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang baik untuk investasi masa depan. Itulah sebabnya, banyak kalangan yang kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, meskipun negara sudah memberikan jaminan bahwa semua warga negara akan memperoleh pendidikan. Masyarakat tetap memberikan sumbangan layanan pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama, pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. 


Baca Juga : Menjadikan Organisasi Sebagai Wadah Belajar

  

Lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat tetap tumbuh dengan subur, terutama yang dikelola oleh organisasi sosial maupun organisasi sosial keagamaan. Sebagai pemetaaan kasar, dapat diketahui bahwa NU misalnya banyak mengelola pendidikan agama dan keagamaan, sedangkan Muhammadiyah banyak mengelola pendidikan umum. Organisasi lain seperti Nahdlatul Wathan, Jamiyatul Washliyah, Mathlaul Anwar dan lainnya juga banyak mengelola pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama dan keagamaan. 

  

Di masa lalu, Pendidikan Madrasah, Pesantren  dan PTKI menjadi ciri khas NU, sedangkan sekolah umum seperti SD, SMP, SMA dan Universitas menjadi lahan pengabdian organisasi Muhammadiyah. Tetapi perkembangan berikutnya, pesantren-pesantren juga mengembangan model pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMA dan universitas. Demikian pula Muhammadiyah yang selama itu lebih banyak berurusan dengan pendidikan umum juga mendirikan pesantren, terutama lembaga tahfidz Alqur’an. 

  

Akhir-akhir ini juga didapati lembaga pendidikan yang dikelola oleh kaum salafi. Banyak sekolah yang bisa diidentifikasi sebagai lembaga yang dikelola dan dikembangkan oleh kaum Salafi, misalnya sekolah-sekolah berbasis Islam Terpadu. Selain itu juga muncul di beberapa daerah Lembaga-lembaga pendidikan pesantren, yang mengidentifikasi sebagai pesantren tahfidz, rumah Alqur’an dan Yayasan Pendidikan yang berbasis paham keagamaan salafi. 

  

Selama ini pesantren itu identic dengan NU. Jika orang bicara tentang pesantren, maka di dalam benaknya lalu terpikir bahwa pesantren ini pasti milik NU atau orang yang secara pemahaman keagamaan bercorak NU. Tetapi akhir-akhir ini tentu tidak bisa seperti itu. Melalui gerakan tahfidz Alqur’an, maka banyak kaum Salafi yang mendirikan lembaga dengan nama pesantren, bahkan rumah Alqur’an. Di kota-kota besar tumbuh dengan subur rumah-rumah Alqur’an yang menjadi medium untuk program pembelajaran Alqur’an plus. Lalu di tempat-tempat pedesaan atau pinggiran-pinggiran kota juga tumbuh pesantren-pesantren dengan varian nama, biasanya menggunakan nama-nama Sahabat Nabi, Tabi’in dan tokoh-tokoh terkenal dalam dunia Islam. 

  

Kita tentu bersyukur dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam yang mengusung program Islamisasi. Hanya saja yang menjadi problem bahwa pesantren dan rumah AlQur’an ini mengusung ide Salafi yang selama ini sering berurusan dengan pengamalan keberagamaan yang menjadi arus utama. Di dalam program pendidikannya dienkulturasikan tentang Islam ortodoks bahkan ultra ortodoks. Semua yang dipahami tidak berasal dan tidak sama dengan Islam di Arab Saudi dianggapnya sebagai kesalahan dan “bukan” Islam. Baginya, Islam hanyalah Islam sesuai dengan tafsirannya saja dan yang lain dianggap menyimpang. Secara antropologis disebut sebagai program Arabisasi Islam. Orang Indonesia berkeinginan menjadi Orang Arab. Jadi bukan orang Islam Indonesia, yang menjelaskan bahwa orang Islam tetapi bermukim di  Indonesia, tetapi orang Islam Arab. Proses inilah yang sesungguhnya sudah lama sekali diingatkan oleh tokoh-tokoh Islam wasathiyah seperti Gus Dur dan Cak Nur. Gus Dur mengusung konsep Pribumisasi Islam dan Cak Nur mengusung konsep Islam Indonesia. Di dalam konsep ini, bukanlah keinginan menjadi orang Islam Arab tetapi agar berkeinginan untuk menjadi orang Islam Indonesia. 

  

Merebaknya kasus pesantren yang digerebek oleh Densus 88 di Yogyakarta. Pesantren Ibnul Qayyim itu diduga sebagai salah satu pesantren yang menjadi sarang gerakan radikal. Pesantren Ibnul Qayyim berada di Dusun Gandu, Sendangtirto, Berbah, Sleman Yogyakarta, Jumat 02/04/2021 digerebek oleh Densus 88. (CNN Indonesia, diunduh 07/04/2021). Kasus pesantren sebagai tempat penyemaian gerakan radikal sebenarnya sudah sangat lama, misalnya Pesantren Ngruki di bawah asuhan Abu Bakar Baasyir. Pesantren ini di masa lalu dianggap sebagai wadah bagi penggodokan kader-kader yang berafiliasi dengan gerakan radikal, karena pemahamannya bahwa pemerintahan di Indonesia dianggapnya sebagai thaghut. Mungkin sudah ada perubahan seirama dengan gencarnya upaya pemerintah untuk memberangus paham beragama yang bercorak radikal.

  

Penggeledahan terhadap pesantren bukan bermakna pemerintah membenci atau mendegradasi makna pesantren sebagai tempat penyemaian pemahaman agama. Terhadap pesantren yang tidak mengajarkan tentang paham keagamaan yang berkonotasi kekerasan tentu tidaklah patut untuk meradang. Yang salah bukan pesantren dan agamanya (khususnya Islam), akan tetapi pemahaman agama yang bercorak dan mengandung kekerasan. Ajaran jihad yang hanya dimaknai dengan perang melawan kekafiran dan anggapan bahwa pemerintah sebagai thaghut atau berlebihan di dalam kekafiran tentu menjadi pintu masuk bagi gerakan radikal. 

Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi dilabel sebagai lembaga pendidikan yang mengusung moderasi beragama sebagaimana di masa lalu, tetapi ada juga pesantren yang  telah menjadi ajang bagi proses pemahaman Islam dalam coraknya yang salafisme, dan ke depan tentu akan terjadi polarisasi yang diakibatkan oleh dunia pesantren yang memiliki ciri seperti ini.


Baca Juga : Road Map Memasuki Revolusi Industri 4.0 di Tengah Pandemi

  

Pesantren-pesantren yang mengusung Islam wasathiyah saya kira harus tetap konsisten mencermati dan mendidik para santrinya agar bersearah dengan keinginan untuk membangun Islam Indonesia yang moderat. Jangan sampai pesantren moderat juga terpapar gerakan yang terdesain untuk memahami Islam dengan coraknya yang keras,    

  

Penutup

    

Saya yakin bahwa tulisan pendek ini belum bisa menggambarkan seluruh dinamika pesantren yang terjadi di Indonesia. Tetapi salah satu yang penting bahwa pesantren tetap berada di dalam koridor “al muhafadlatu ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah.  Yang artinya kurang lebih adalah “menjaga hal-hal yang bernilai baik di masa lalu, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik dan  lebih bemanfaat”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

   

Daftar Bacaan

  

Al-Huwaithi, Sayyid bin Ibrahim. Kumpulan Hadits Arbain an Nawawi. Jakarta: Penerbit Turat.  

Arifin, Imron. 1995, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasadha Press

Dhofier, Zamakhsyari. 1995, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES

Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Umat, Kyai Pesantren Kyai Langgar di  Jawa. Yogyakarta; LP3ES

Effendi, Bisri. 1990. An-Nuqayah: Gerak Transformasi Sosial di Madura. Jakarta: P3M.


Baca Juga : Pentingnya Respons Aktif Audiens Bagi Pendakwah

Geertz, Clifford. 1960, The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker. Cambridge: Cambridge University Press 

Geertz, Clifford, 1981. Abangan, Santri, Proyayi di Jawa. Jakarta; Balai Pustaka

Horikoshi, Hiroko. 1987, Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M

Huda , Bahrul . 2021. Bisnis Ritel Pesantren. Bojonegoro, ABDA Publishing

Nawawi, Syekh Imam (2014). Bulughul Maram, Terjemahan Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Turat

Runciman, W.G. 2007. Weber Selections in Translation. Cambridge: Cambridge University Press.

Steenbrink, Karel A., 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES

Syam, 2020b. “Umi Waheeda Perempuan Tangguh” dalam nursyamcentre.com diunggah 09/08/2020

Syam, Nur. 2022. Model Analisis Teori Sosial. Jakarta: Prenada Media Group

Syam, Nur 2014. Dari Bilik Birokrasi: Esai Agama, Pendidikan dan Birokrasi. Jakarta: Senama Sejahtera Utama

Syam, Nur.  2020a. Pendidikan Islam Kontemporer, Perspektif Sosiologi Transendental. Surabaya: SAP

Turmudi, Endang (2004). Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LP3ES

Van Bruinessen, Martin. 1995. Kitab Kuning: Pesantren dan tarekat. Bandung: Penerbit Mizan

Weber, Max. 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford University Press.