(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Abdul Mutholib Ilyas: Dosen yang Menjaga Seduluran

Khazanah

Salah seorang guru saya yang tidak akan pernah terlupakan adalah Drs. Abdul Mutholib Ilyas. Beliau merupakan dosen yang mengembangkan sikap seduluran (persaudaran) yang luar biasa. Meskipun beliau itu orang Muhammadiyah, tetapi tidak pernah memiliki pemikiran yang aneh-aneh. Bahkan sering kali menjadikan NU dan Muhammadiyah itu sebagai bahan untuk saling tersenyum gembira. Jika sudah bertemu, saya, Pak Sayuti Farid dan Pak Tholib pasti yang ada hanya guyonan parikeno atau guyonan seadanya tanpa sekat-sekat yang membedakan di antara kami bertiga.

  

Pak Tholib merupakan dosen yang sangat baik. Satu ucapannya yang tentu membuat para mahasiswanya senang adalah kalau menguji skripsi. Beliau menyatakan: “pokoknya jawabannya lancar langsung saya beri nilai baik.” Hal ini bukan sekadar gurauan tetapi sungguhan. Beliau memang memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan, kepada siapa saja tidak peduli apa latar belakang sosial dan keagamaannya. Di kalangan mahasiswa, beliau adalah dosen favorit, karena jika memberi kuliah banyak jokes yang disampaikannya. Terkesan tidak serius tetapi sebenarnya justru ingin menghadirkan joy learning, bahwa belajar tidak harus tegang, tetapi menyenangkan. 

  

Meskipun beliau dosen yang sangat senior, akan tetapi kebersahajaannya luar biasa. Setiap hari pulang pergi Jombang-Surabaya. Bukan Jombang tetapi di Mojowarno. Biasanya, beliau membawa sepeda motor dari rumahnya ke Mojowarno, lalu ke Rejoso dan dari situ kemudian naik bis jurusan Surabaya. Sampai ke Terminal Purbaya lalu naik angkot ke IAIN Sunan Ampel. Perjalanan seperti ini dilakoninya selama Beliau menjadi dosen di Fakultas Dakwah Surabaya. Tidak terbersit keinginan untuk pindah ke Surabaya mendekati kantornya. 

  

Pak Tholib ini sepupu Cak Nurkholis Majid. Kiai Majid dan Kiai Ilyas bersaudara. Rumahnya juga bertetangga. Kiai Majid ini pernah menjadi menantu Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari, dan karena pernah dipesan oleh Kiai Hasyim Asy’ari untuk menghidupkan Masyumi, maka sampai wafat Kiai Majid tetap menjadi orang Masyumi. Tidak menjadi NU atau Muhammadiyah. Hal ini diceritakan oleh Pak Tholib sewaktu saya berkunjung ke rumahnya. Saya beberapa kali datang ke rumahnya. Pasti makan prasmanan jika berkunjung ke rumahnya. Meskipun saya muridnya, tetapi beliau menganggap saya sebagai sahabatnya. Tidak akan saya lupakan, beliau dan Bu Tholib jika memanggil saya dengan sebutan Pak Nur dan kemudian memberikan senyum khasnya. 

  

Salah satu kebiasaan Pak Tholib yang juga tidak akan dilupakan oleh kawan-kawan dosen adalah jika datang ke kantor pasti membawa makanan. Ada saja yang dibawanya. Jajanan seperti lepet, kacang godog, tetel, arem-arem itu  dibelinya di terminal Mojokerto. Setiap hari beliau membawa jajanan seperti ini. Jika di kantor ada suguhan ini, pasti yang membawa adalah Pak Tholib. Dulu,  kala masih sama-sama di kantor Fakultas Dakwah, sepekan sekali saya, Pak Tholib, Pak Sayuti dan Pak Habiburahman makan  soto ayam Pak Idoh. Soto ayam yang kala itu enak sekali. Tempatnya di jalan A. Yani dekat kantor Pertanian. 

  

Beliau mengajar ilmu tasawuf. Satu dalil yang sering diungkapkan adalah: “idz ramaita ramaita, walakinnallah rama.” Dalil ini menjelaskan tentang hakikat segala sesuatu yang menggerakkan adalah Allah SWT semata. Beliau sangat fasih menjelaskan Dzinnun al Mishri, Rabiah Al Adawiyah, Hasan Basri, Al Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan tokoh-tokoh tasawuf lainnya. Mata kuliah tasawuf ini ditekuninya sampai beliau pensiun.

  

Alumni Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini merupakan dosen yang semenjak pertama menjadi dosen memang mengabdikan diri pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Di antara mata kuliah lain yang diajarkannya selain tasawuf adalah akidah akhlak, ilmu kalam atau teologi dan aliran kepercayaan dan kebatinan. Bahkan di antara bukunya yang terbit berjudul “Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia.” 

  

Beliau ini orang yang sangat terbuka. Apa saja diceritakannya. Ada saja yang diceritakannya. Di masa lalu, saya, Pak Sayuti, Pak Hamdun, Pak Halim dan Pak Achjar (alm) tidur di Kantor. Kami juga terkadang nonton film. Jika seperti ini, maka Hilmi (alumni Fakultas dakwah) yang mengajaknya. Film James Bond pernah kami tonton bersama-sama. Jika Pak Tholib menginap di kantor, pasti ada saja acara yang kita lakukan. Tetapi untuk urusan nonton film, hanya kami berempat: saya, pak Tholib, Pak Sayuti dan Hilmi saja yang terlibat.

  

Satu lagi hal yang tidak bisa saya lupakan adalah kedermawanan beliau. Beliau suka menulis surat. Pada waktu anak saya yang pertama, Dh. Rizqiah, masih kecil dan kami tinggal di Tuban, sering kali Pak Tholib kirim surat. Tidak dititipkan kepada saya, tetapi lewat pos Jombang atau Pos Surabaya. Surat itu ditujukan kepada anak saya. Surat dua lembar itu dilipat dan di dalamnya ada uangnya Rp10.000,- atau Rp15.000. Beliau menyebut dirinya dengan Mbah untuk anak saya. Peristiwa-peristiwa seperti ini yang menjadikan Pak Tholib begitu istimewa di mata saya. 

  

Sayang kepergian beliau untuk memenuhi panggilan Tuhan, Allah SWT tidak bisa saya hadiri. Waktu itu saya di Jakarta dan tidak memungkinkan saya menghadiri pemakamannya. Semoga Allah SWT menjadikan Pak Tholib sebagai ahli surga karena kebaikan dan amal ibadah yang dilakukannya. Lahu al fatihah.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.