Abu Fida: Jalan Berliku Menuju NKRI (Bagian Dua)
KhazanahNama Abu Fida pernah menghiasi media di Indonesia. Hal itu terkait dengan aktivitasnya sebagai sosok penganut Islam garis keras, yang pernah menyembunyikan informasi tentang Noordin M. Top dan Dr. Azahari. Dua orang yang malang melintang di dalam dunia kekerasan agama di Indonesia. Nama Abu Fida menjadi bahan pembicaraan di dalam media televisi dan surat kabar terkait dengan perannya di dalam blantika kekerasan agama di Indonesia.
Jika akhir-akhir ini beliau berbicara tentang toleransi, maka tentu ada orang yang bertanya bagaimana mantan kombatan yang tidak diragukan lagi perannya di dalam garakan Islam garis keras, yang ekstrem, dan kemudian tiba-tiba menjadi pembicara tentang toleransi, kerukunan dan harmoni beragama yang wasathiyah. Ternyata bahwa ada proses panjang untuk bisa mengubah pandangannya yang semula garis keras menjadi garis lunak, dari jihad dengan kekerasan menjadi jihad melalui perdamaian. Ustaz Saifuddin Umar memang telah berubah tidak lagi sebagaimana di masa lalu, yang hidupnya penuh dengan gejolak berpaham agama yang ekstrem, tetapi sekarang sudah menjadi sosok lain dengan paham keagamaan yang penuh toleransi.
Di dalam webinar di Nur Syam Centre (NSC), 11/11/2021, Beliau menjelaskan tentang toleransi. Mengutip pendapat Zaki Badawi, kata tasamuh berarti sebuah pendirian atau sikap yang termanifestasi pada kesediaan untuk menerima pandangan dan pendirian yang beragam meskipun berbeda pendapatnya. Berdasarkan pandangan ini, maka Ustaz Abu Fida lalu juga berpendapat bahwa sebagai manusia yang tidak bisa hidup dalam kesendirian atau hanya dalam satu komunitas, maka seseorang harus menerima kehadiran orang lain. Itulah sebabnya, sekarang Beliau sering terlibat di dalam penyadaran terhadap para narapidana teroris.
Ada dua penggolongan kaum terpidana teroris, yaitu yang sudah sadar dan bersedia menerima kehadiran perbedaan dan bahkan menerima orang lain yang berbeda agama sekalipun. Kemudian ada yang belum tercerahkan, dan masih menganggap bahwa negeri ini dianggapnya sebagai negeri thaghut, sehingga harus diperangi dan ditolak. Ustaz Abu Fida justru memasuki golongan yang kedua. Di situlah dia berdialog dan berdiskusi untuk meyakinkan bahwa pemikiran yang bersangkutan salah dan tidak memiliki dasarnya. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa memerangi negara dan umat Islam yang tidak dalam keadaan terjajah merupakan tindakan tanpa dasar. Banyak di antara mereka yang salah di dalam memahami karya Ibnu Taimiyah, sehingga bagi mereka bahwa melakukan penyerangan atau peperangan terhadap negara yang dianggapnya thaghut sebenarnya tidak memiliki dasar tafsirnya.
Pengalamannya sebagai kaum ekstremis ternyata mengajarkannya bahwa perilaku kaum teroris dan ekstrimis merupakan kesalahan mendasar. Jihad untuk melawan umat Islam yang tidak terjajah tidak memiliki dasar dan juga dapat mencelakakan orang lain dan bahkan menyebabkan kematian. Tidak hanya yang dianggap lawan tetapi juga orang Islam sendiri. Oleh karena itu, sudah bukan saatnya untuk menjadi kaum ekstrimis. Sudah saatnya untuk menerima kehadiran orang lain yang berbeda pandangan, pemikiran dan perilaku bahkan dalam keagamaannya.
Orang memang bisa menjadi intoleran. Secara eksternal adalah adanya globalisasi. Jika banyak negara dan banyak orang barat yang menguasai terhadap budaya dan ekonomi masyarakat di dunia Islam, maka terdapat peluang orang menjadi ekstrim. Selain itu juga terjadinya ketidakadilan di kalangan negara-negara muslim. Misalnya ketidakadilan negara Barat terhadap Palestina. Semua mendukung Israel yang jelas-jelas melakukan terror terhadap Palestina. Lalu juga media social yang di dalam banyak hal merusak kepentingan umat Islam. Media social di dunia dikuasai oleh negara-negara secular, sehingga sering memojokkan terhadap negara dan umat Islam.
Secara internal adalah kurangnya wawasan keagamaan. Mereka sebenarnya orang-orang yang kurang paham agama. Mereka itu menurut apa yang dinyatakan oleh seniornya. Contohnya tentang penafsiran atas tafsir jihad yang hanya dimaknai perang, padahal jihad tidak hanya bermakna perang. Oleh karena itu, mereka yang terpapar radikalisme itu harus disadarkan dari paham agamanya yang salah. Kemudian fanatisme buta yakni apa yang dinyatakan oleh para mentornya dianggapnya sebagai kebenaran, sehingga mereka akan melakukan apa saja yang disuruh oleh mentornya. Selain itu juga tekanan sosiologis dan psikhologis dari lingkungannya. Orang yang berada di dalam tekanan maka akan menjadikannya radikal. Misalnya: tekanan ekonomi, tekanan pekerjaan, tekanan social lainnya akan bisa membuat orang menjadi radikal.
Sebagai aplikasi toleransi beragama pada era modern beliau menyatakan perlunya mengajarkan dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan baik dan benar. Lalu menghormati agama yang diyakini orang lain sesuai dengan ajaran agama yang telah didapatkan. Selain itu juga tidak memaksakan keyakinan agama yang dianutnya kepada orang lain dan toleran terhadap pelaksanaan ibadah yang dianut pemeluk agama lain. Pandangan Ustaz Abu Fida seperti menggambarkan ini betapa jalan kepada pengharagaan terhadap pluralitas dan multikulturalitas tersebut sudah tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.
Beliau menyarankan bahwa di dalam membangun toleransi beragama, maka yang perlu dilakukan adalah dialog yang sehat sehingga terlihat titik temu dan dari situ sikap toleransi diperkenalkan. Agar diupayakan mereka membaur dalam aktivitas bersama dalam menjaga kesatuan negara serta bersama-sama saling menghormat dan menjaga lingkungan tanpa ada unsur pemaksaan. Mendengarkan ucapan dan penjelasannya tentang toleransi beragama seperti ini, maka dapat menjadi kaca benggala kepada kita semua khususnya generasi muda yang sedang mencari jati diri di dalam beragama.
Kiranya pengalaman Beliau yang sedemikian heboh di dalam dinamika keagamaan dan politik, di mana beliau terlibat dalam jangka panjang tentu bisa menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses perjalanan hidup dari ekstrimisme ke moderatisme. Menurut pepatah pengalaman adalah guru yang terbaik. Maka ustaz Abu Fida adalah guru kita semua agar tetap berada di dalam pengamalan agama yang menggelorakan semangat wasathiyah.
Wallahu a’lam bi al shawab,