(Sumber : Nur Syam Centre)

Dahlan

Khazanah

Oleh: Dr. Lukmono  Hadi

(Dosen UPN Yogyakarta)

  

Kata Friedrick Hegel di Eropa, dua abad yang lalu, "Dengan doa pagi dan koran pagi, arah pandang seseorang dibentuk oleh Tuhan (dalam doa) atau oleh dunia sebagaimana adanya (melalui berita-berita). Kedua-duanya (doa dan koran), kata Hegel memberikan rasa aman: orang tahu di mana ia berdiri."

   

Saya tak yakin pada filsuf Hegel (meski ia  dikagumi:  Karl Marx, Adorno, Derrida, Zizek, Bradley, Rose, Fukuyama), tapi saya bisa mengerti: pada zaman Hegel, berlangganan koran adalah salah satu cara merawat stabilitas; koran yang dipilih seseorang adalah surat kabar yang sesuai dengan seleranya selama ini. Ia tahu "di mana ia berdiri".

  

Tapi kini kita tak lagi hidup di zaman Hegel bahkan kini kita hidup di era disrupsi digital yang membunuh ratusan media massa (koran dan majalah) di dunia.  Tak mengherankan, banyak orang menilai, Dahlan Iskan raja media itu sedang memainkan kenekatan. Buang uang. Terlalu berani. Ketika pada 4 Juli 2020 kemarin menerbitkan surat kabar DI's  Ways, dicetak di atas kertas putih licin, diluncurkan perdana di Surabaya. (KOMPAS, 14/7/2020, hal.9).

  

Tapi keberanian Dahlan Iskan menerbitkan sebuah koran harian di tengah berbagai gelombang yang menerpa bisnis media, layak diapresiasi. Langkah ini bisa menimbulkan harapan bagi pengelola media yang masih bertahan di tengah berbagai ramalan media cetak akan mati.

  

Kita masih ingat, di tahun 1990 Bill Gates meramal bahwa, tahun 2000 riwayat koran akan berakhir. Koleganya, Stave Balmer mengamini dan ikut latah meramal: tahun 2020 koran dan majalah cetak akan tiada lagi di dunia. Kedua orang itu bukan pakar media terkemuka, tapi mereka berdua adalah tokoh pokok kelas berat di dunia pembentuk opini. Namun ramalan mereka tak terbukti. Alias meleset.

  

Di zaman ini, banyak yang tercetak digantikan dengan yang digital. Kita tatap layar kecil HP kita. Informasi berdatangan, rapat, cepat. Saling berlalu-lalang di media sosial (Twitter, Linkedln, YouTube, Google+, Facebook), balas membalas dari segala penjuru, tanpa moderator. Di sini, tiap kejadian hanya menjadi "kejadian" ketika ia dianggap sebagai berita. Namun dalam halaman surat kabar ditata sang editor. Di sini Berita sebenarnya adalah sebuah rekonstruksi dengan mempertimbangkan antara yang penting dan yang kurang penting. Juga ada tanggung jawab sosial, etika, dan moral.

  

Jadi saya kira, Dahlan Iskan bukan orang yang nekat. Ia seorang entrepreneur sejati yang sudah melakukan studi mendalam dengan tekun, dan ia tentu tahu bahwa tidaklah tepat mempertentangkan koran cetak dan internet. Keduanya punya kekuatan dan kelebihannya masing-masing, yang justru saling melengkapi. Kekuatan internet adalah kecepatannya, sedang koran adalah refleksinya. Dan Dahlan Iskan tahu bahwa zaman koran yang sekedar memberi informasi sudahlah lewat. Kini zamannya adalah zaman koran yang bisa mencari dan membeberkan kemungkinan akan solusi. Dahlan juga tak akan lupa, bahwa informasi bukan sekadar sesuatu yang datang masuk ke kesadaran kita. Informasi mendapatkan bentuknya dalam (dan dari) proses ketika ia diterima dan ditafsirkan. Ia tahu, bahwa tak ada informasi an sich, yang tak diterima dan tak diinterpretasikan.

  

Dengan kata lain, si penerima informasi (si pembaca koran) bukanlah sebuah tong kosong. Ia tak hanya menelan informasi (suara) dan memantulkan gema suara itu. Ia juga pembuat. Informasi adalah "eks-formasi". Ia tak pernah ada dalam dirinya sendiri.

  

Saya percaya, Dahlan Iskan sebagai mantan jurnalis senior majalah terkemuka TEMPO, tahu  dan paham semua itu.

  

Selamat datang koran harian nasional DI's Ways. Insya Allah, sukses