(Sumber : Pngtree)

Hukum Membaca Al-Qur'an Bagi Wanita Haid

Khazanah

Oleh: Addin Kholisin

  

Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah bagi setiap muslim, yang dengannya Allah ﷻ akan memberikan pahala yang besar. Setidaknya ada dua sebab mengapa Allah ﷻ mengganjar mereka dengan pahala yang besar: 1) membaca Al-Qur'an adalah sarana 'bercakap-cakap' dan 'berkomunikasi' kepada Allah ﷻ, sehingga hati menjadi tenang dengan membaca, dan 2) Al-Qur 'an yang diturunkan oleh Allah ﷻ sebagai petunjuk bagi manusia, di dalamnya terdapat dua tujuan mendasar dari kehidupan, yaitu: kebaikan dan kebenaran.

  

Oleh karenanya, seseorang yang menautkan dan menyibukkan dirinya dengan Al-Qur'an, baik dengan membaca atau mempelajarinya, akan dinaungi dengan kebaikan dan kebenaran serta menjadi orang yang mulia di sisi Allah ﷻ, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah ﷺ, "sebaik-baik -baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur'an dan melarangnya."

  

Selain hal di atas, wanita yang sedang haid tidak diperkenankan membaca Al-Qur'an sebagaimana yang tersurat di sebagian kitab-kitab Fiqh . Berbeda dengan wanita penghafal Al-Qur'an, yang wajib baginya untuk tetap membaca Al-Qur'an agar tidak lupa terhadap apa yang telah dihafalkannya. Lantas bagaimana hukum membaca Al-Qur'an bagi wanita yang sedang haid?

  

Mayoritas ulama dari empat madzhab kesulitan atas keharaman membaca Al-Qur'an bagi wanita yang sedang haid. Akan tetapi, keharaman tersebut tidaklah mutlak, sehingga ada beberapa keadaan yang membolehkan wanita yang sedang haid untuk membaca Al-Qur'an, yaitu:

  

Pertama, bisa diajarkan dengan hati atau dengan tanpa menggerakkan lisan. Boleh membaca ayat-ayat yang berisi pujian kepada Allah ﷻ, doa-doa, dan minta perlindungan; dengan syarat tidak bermaksud membaca Al-Qur'an.

  

Kalangan madzhab Hanbali membolehkan membaca beberapa ayat dari Al-Qur'an bagi orang yang sedang junub dan haid, dengan syarat ayat tersebut adalah ayat yang pendek, karena tidak ada i'jaz di dalamnya. Kalangan madzhab Maliki membolehkan bagi wanita yang haid untuk membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang berisi meminta perlindungan, seperti Ayat Kursi, Surat Al-Falaq, dan Surat Al-Nas.

  

Pandangan Mazhab-Mazhab Tentang Hukum Membaca Al-Qur'an Bagi Wanita Yang Sedang Haid


Baca Juga : Pemeliharaan Islam di Negara Kuat

  

Para ulama berbeda pendapat akan hukumnya, sehingga ada dua pendapat:

  

Pendapat Yang Mengharamkan

  

Ini adalah pendapat Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Jabir, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Al-Zuhri, dan Al-Nakha\'i. Pendapat inilah yang diikuti kalangan madzhab Hanbali, Qaul Jadid Syafi'i, dan satu Riwayat dari Ahmad.

  

Pendapat Yang Membolehkan

  

Ini adalah pendapat dari Abdullah bin Abbas dan Ibnul Musayyib, yang lantas dijadikan pegangan oleh kalangan madzhab Maliki, Zhahiri, Syafi'i (dalam satu riwayat), dan Hanbali (dalam satu riwayat).

  

Dalil-Dalil Kalangan yang Mengharamkan

  

Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Baihaqi, "Wanita-wanita yang sedang haid dan orang yang sedang junub tidak membaca sesuatu dari Al-Qur'an"; dan juga hadits riwayat Abdullah yang lebih terdapat di Sunan Al-Baihaqi yang menjelaskan akan keharaman membaca sesuatu dadi Al-Qur'an bagi orang-orang yang sedang junub, baik itu pria maupun wanita.

  


Baca Juga : Maqashid al-Suwar: al-Fatihah (Bagian Kedua)

Sanggahan : para ulama hadits menganggap hadits tersebut dhaif sebab adanya Ismail bin Ayash di dalam salah satu perawinya. Di dalam hadits ini, Ismail bin Ayash meriwayatkan dari Musa bin Uqbah. Periwayatan ini dikritik oleh beberapa ulama hadits seperti: Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Abdurrahman bin Al-Mahdi, Al-Baihaqi, dan Abu Hatim. Di dalam Sunan Daruquthni, disebutkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Mughirah bin Abdurrahman dari Musa bin Uqbah. Namun periwayatan hadits tersebut juga dhaif, dikarenakan adanya perawi yang mubham dan majhul, dia meriwayatkan dari Abu Ma'syur yang telah dinilai dhaif oleh para ulama hadits. 

  

Hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni, "wanita-wanita yang sedang haid dan nifas tidak membaca Al-Qur'an sedikitpun."

  

Sanggahan : hadits ini dhaif menurut ulama hadits. Jika hadits ini hadits marfu', maka terdapat perawi yang matruk, Muhammad bin Fadhl. Jika hadits ini hadits mauquf, maka terdapat perawi yang kadzab, Yahya bin Abi Unaisah. Dan menurut Al-Baihaqi, hadits ini tidak kuat.

  

Menganalogikan wanita haid dengan orang junub

  

Sanggahan : penganalogian tersebut tidaklah tepat, karena: 1) orang yang junub masih bisa mandi secara langsung, sedangkan wanita haid sebaliknya, 2) wanita haid masih bisa ihram dan wuquf di Arafah, sedangkan orang junub sebaliknya. Oleh karena itu, penganalogian tersebut tidaklah tepat.

  

Dalil-Dalil Kalangan Yang Membolehkan

  

Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim, yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan. Diketahui bahwa membaca Al-Qur'an juga termasuk dzikir. Dan dzikir dalam hadits tersebut bermakna umum, baik dzikir dengan membaca Al-Qur'an atau lainnya. Dan hukum asal dzikir adalah boleh.

  

Sanggahan :maksud dari dzikir di dalam hadits tersebut adalah dzikir membaca selain Al-Qur'an. Ini konsep yang dipahami secara mutlak.

  

Hadits yang menjelaskan bahwa Aisyah tetap membaca Al-Qur'an meskipun dalam keadaan haid. Dan karena panjangnya masa haid sehingga dikhawatirkan lupa terhadap hafalan Al-Qur'an.

  

Sanggahan : perbuatan Aisyah tersebut tidak memberikan hujjah akan keabsahan perbuatan tersebut, dikarenakan adanya kontradiksi dari sahabat-sahabat lainnya. Jika terdapat perbedaan di antara para sahabat, maka perselisihan dikembalikan kepada qiyas. Adapun takut lupa hafalan Al-Qur'an jarang, karena masa haid pada umumnya adalah enam atau tujuh hari, yang pada umumnya tidak akan lupa selama masa tersebut. Dan ketakutan lupanya akan hafalan bisa diatasi dengan senantiasa membaca Al-Qur'an dengan hati.

  

Wanita-wanita yang haid di zaman Rasulullah ﷺ, seandainya mereka diharamkan membaca Al-Qur'an sebagaimana diharamkannya shalat ketika sedang haid, maka tentu Rasulullah ﷺ akan menerangkannya kepada umatnya dan melarangnya kepada istri-istrinya; maka para sahabat akan meriwayatkan kepada orang lain. Dan ketika tidak ada sahabat pun yang meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ akan keharamannya, maka tidak boleh mengharamkannya, meski mengetahui jika Rasulullah ﷺ tidak melarang mereka.

  

Tarjih :

  

Dari pemaparan di atas, kami lebih condong kepada pendapat dari kalangan yang membolehkan membaca Al-Qur'an bagi wanita yang sedang haid, dan inilah pendapat yang rajih menurut kami. Dikarenakan hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh kalangan pertama adalah hadits-hadits yang dhaif. Karena tidak adanya dalil-dalil yang shahih, maka hukumnya diretur ke al-baraah al-ashliyyah, dan ini boleh. Dan di sisi lain, di zaman jni tidak sedikit wanita yang menjadi pengajar Al-Qur'an, penhafal Al-Qur'an, dan pelajar yang mengikuti ujian Al-Qur'an. Jika dengan kondisi tersebut mereka tetap diharamkan membaca Al-Qur'an, maka tentunya muncul pelbagai kesulitan dan masalah. Akan tetapi tetap ada syaratnya, yaitu: bagi orang yang menyibukkan diri dengan Al-Qur'an, dan berniat untuk berzikir bukan untuk membaca.