In Memoriam Prof. HM. Ridlwan Nasir: Guru dan Sahabat yang Iklas (Bagian Pertama)
KhazanahSama sekali di luar pikiran saya, bahwa Prof. Ridlwan Nasir akan meninggalkan kita semua, khususnya keluarga besar UINSA dan keluarga besarnya. Berita itu datang dengan mendadak. Saya memang terlambat mengetahuinya. Sesungguhnya pesan di dalam WAG UINSA Jaya dan UINSA Damai serta WAG lain sudah menyampaikan kabar duka tentang kewafatan Prof. Ridlwan Nasir, akan tetapi saya baru tahu jam 03.00 pagi.
Biasa memang saya tidur jam 21.00 WIB dan sebelum tidur tidak memeriksa pesan-pesan di WhatsApp. Ya tidur begitu saja. Padahal jam-jam segitu, informasi tentang wafatnya Prof. Ridlwan sudah menyebar. Baru di saat istri saya membuka pesan WAG pada pukul 03.00 WIB, kemudian disampaikan kepada saya tentang kabar duka tersebut. Tentu saja saya kaget, karena memang lama saya tidak berkomunikasi dengan Prof. Ridlwan. Beberapa hari terakhir memang saya ingin mengucapkan terima kasih karena putranya, Zakki, lulus CASN UINSA. Tidak kesampaian dan akhirnya berita duka itu datang.
Sekira jam 04.00 WIB saya kontak Prof. Masdar Hilmy dan memang membenarkan bahwa Prof. Ridlwan wafat dan jenazahnya masih di Rumah Sakit Batam. Karena faktor penerbangan, maka kira-kira jam 14.00 WIB akan diterbangkan ke Surabaya. Menurut Prof. Masdar, Bu Khofifah juga sudah melakukan intervensi agar jenazah bisa dipulangkan lebih cepat. Dan akhirnya jenazah bisa dipulangkan lebih cepat, dan sesuai dengan informasi akan datang pukul 15.30 WIB. Berdasar atas informasi Prof. Masdar, maka di kala saya jamaah Salat Shubuh, maka saya minta kepada Imam Salat Shubuh untuk membacakan Surat al Fatihah. Lahu al Fatihah.
Saya tentu sangat merasa kehilangan dengan wafatnya Prof. Ridlwan, sebagai tokoh yang tiada henti untuk melakukan pengabdian. Pasca pensiun dari UINSA, maka Beliau masih mengabdikan diri sebagai dosen di berbagai tempat, misalnya di Universitas Kiai Abdullah Faqih, Gresik dan Univeristas Abdul Chalim Pacet Mojokerto. Selain itu juga mengabdi di Masjid Al Akbar sebagai Imam Besar, Ketua Yayasan Pendidikan Islam Khadijah, Musytasyar PWNU Jatim, dan juga Dewan Pengawas Syariah Bank Jatim Syariah. Hal ini menunjukkan komitmennya di dalam dunia akademis dan sosial kemasyarakatan. Pengabdian tiada henti, sampai ajal menjemputnya. Beliau wafat dalam usia 75 tahun.
Saya bersahabat dengan Prof. Ridlwan semenjak lama. Persahabatan itu dimulai ketika kami bersama-sama menjadi tim pendamping Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) IAIN Sunan Ampel. Waktu itu ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) adalah Pak Syamsudduha, dan Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat, Pak Moh. Achyar. Maka saya dan Prof. Ridlwan menjadi tim pendamping LPM. Waktu itu banyak kegiatan pengabdian masyarakat di desa-desa di Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Bojonegoro. Selain ngurusi Kuliah Kerja Nyata (KKN) juga memberikan pendampingan untuk program bantuan desa, seperti bantuan sapi, kambing dan usaha-usaha ekonomi pedesaan. Pada saat Pak Basofi Sudirman menjadi Gubernur Jawa Timur, IAIN Juga dipercaya untuk melakukan pemetaan di Kabupaten Ngawi dan Bojonegoro untuk program One Village One Product dalam paket program Back to Village atau Kembali ke Desa. Dari sinilah pertemanan itu terbentuk sampai akhir hayatnya.
Sayangnya bahwa pada akhir-akhir ini, saya jarang komunikasi dengan Beliau. Jika saya cek kembali kapan beliau chatting dengan saya, rasanya akhir November 2024. Lebih dari dua bulan kami tidak saling berkabar. Padahal sebelumnya sering saya kontak atau sebaliknya, baik melalui sambungan telepon atau pesan di WA. Saya sering memantaunya melalui beberapa orang yang sering bertemu dengannya. Kami sama-sama mengajar di UNKAFA, hanya sayangnya saya mengajar hari Sabtu dan Beliau mengajar di Hari Ahad. Saya justru sering bertemu Prof. Arief Furqan, Prof. Mas’an Hamid dan Prof. Abd. Chaliq, yang juga mengajar di hari Sabtu.
Jika saya bertemu dengan Beliau dipastikan ada saja yang menjadi bahan guyonan. Mulai dari keinginan saya untuk menjodohkan dengan perempuan lain atau guyonan tentang masa lalu yang masih terkenang. Jika saya goda: “ayo Prof saya nikahkan”, maka jawabannya adalah: “sudah gak terpikirkan”. Lalu berikutnya meluncur pertanyaan saya: “yang bener”. Dijawabnya lagi: “bener”. Akhirnya terjawab bahwa ketidakinginannya untuk menikah lagi karena usianya sudah tidak panjang lagi.
Prof. Ridlwan itu sosok humoris yang tiada tanding. Di mana saja dan kapan saja jika ada Beliau dipastikan ada saja joke yang diungkapkannya. Bahkan joke-joke yang saya gunakan untuk bahan guyonan itu kebanyakan datang dari Beliau. Memang Prof. Ridlwan memiliki cadangan joke yang tak pernah habis. Bisa dinyatakan sebagai Kamus Joke Berjalan. Jika bersama beliau pasti terlewati dalam sekali forum 17 kali tertawa. Pasti sehat.
Pagi sebelum jenazah datang, saya menyempatkan datang ke rumah duka. Paling tidak bisa bertemu dengan putra-putrinya, yang rasanya seperti anak-anak saya sendiri. Akibat persahabatan saya dengan almarhum ayahnya yang sangat dekat, closed friend, maka relasi saya dengan anaknya juga sangat dekat. Dengan Iin, putri pertamanya juga sangat dekat. Selalu gojlogan jika ketemu. Dengan Zaki, Ana dan Lina juga dekat. Ketika saya ketemu di rumah duka dengan mereka, maka mereka meneteskan air mata dan saya juga meneteskan air mata, ada rasa kehilangan yang sangat mendalam.
Sesiapapun yang bertemu dengan Beliau, dipastikan Beliau dulu yang menyapa. Hal itu dilakukan kepada semua orang yang dikenalnya. Dengan karyawan UINSA yang di masa lalu pernah bersamanya dalam memanage IAINSA, maka dipastikan senyumannya selalu mengembang. Wajah yang teduh, bersahabat dan tidak jaga imej. Beliau orang yang apa adanya. Dan dengan sikap dan tindakan seperti itulah sehingga semua orang menghormati dan menghargainya.
Beliau adalah teladan sebagai seorang pemimpin yang ikhlas untuk berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang orang lain dengan status atasan dan bawahan. Kita bisa belajar banyak dari kehidupannya. Lahu al fatihah…
Wallahu a’lam bi al shawab.