Isra' dan Mi'raj: Perjalanan Spiritualitas Manusia
KhazanahSetiap Rasul tentu memiliki kekhususan yang dikaitkan dengan ajaran agama. Salah satu yang memiliki pengaruh besar bagi kehidupan manusia di dalam ajaran agama Islam adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Disebut memiliki pengaruh besar sebab di dalam Isra’ dan Mi’raj terdapat perintah langsung dari Allah SWT agar umat Nabi Muhammad SAW menjalankan ritual shalat, yang dikenal sebagai shalat lima waktu setiap hari.
Tentang bagaimana perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Masjidil Aqsha dan dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha dan terus untuk bertemu dengan Allah Azza Wajalla saya kira semua di antara kita sudah familiar. Setiap tahun kita dengarkan cerita teks tersebut dan juga bisa dibaca di berbagai media, termasuk media social tentang kisah isra’ dan mi’raj. Tetapi tulisan ini berusaha menggambarkan simbolisasi seperti apa yang terjadi pada ritual liminal isra’ dan mi’raj dimaksud.
Setiap peristiwa selalu memiliki simbolisasi yang dapat dijadikan sebagai ibrah bagi manusia untuk memahami dengan jiwanya tentang peristiwa itu. Isra’ dan Mi’raj memang sangat kental dengan dunia keyakinan. Dan di dalam agama keyakinan tersebut tidak dapat ditawar. Harus yakin peristiwa tersebut terjadi. Akal tidak mampu menjangkau. Akal sangat terbatas untuk memahami sesuatu yang bersifat non empiris. Agama dalam sebagian ajarannya memang bercorak non empiris. Agama memerlukan kepasrahan total. Tanpa pertanyaan dan keraguan. Jika manusia bertanya dan ragu-ragu tentang kebenaran agama, maka manusia akan menjadi atheis atau dahriyyun.
Manusia pertama yang meyakini akan kebenaran Isra’ dan Mi’raj adalah Sayyidina Abu Bakar. Ketika Nabi Muhammad SAW bercerita tentang perjalanannya untuk Isra’ dan Mi’raj, maka Sayyidina Abu Bakar langsung mempercayainya. Tanpa bertanya apapun. Pokoknya apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW pasti benar. Itulah sebabnya Sayyidina Abu Bakar disebut sebagai ash shiddiq, atau orang yang jujur. Sebuah penamaan yang sangat cocok dan memang begitulah adanya.
Terlepas dari perbedaan pandangan dari ahli ilmu kalam tentang perjalanan tersebut bercorak fisikal dan rohani atau rohani saja, tetapi yang jelas bahwa misi perjalanan Nabi Muhammad SAW adalah perjalanan spiritual. Perjalanan rohaniyah untuk bertemu dengan Yang Maha Gaib, Allah SWT. Allah SWT hanya akan bisa bertemu dengan manusia yang disucikannya. Itulah sebabnya di dalam keyakinan umat Islam, bahwa sebelum datang ke hadirat Allah SWT, maka Nabi Muhammad SAW dibersihkan dulu hatinya agar Yang Suci, Allah SWT dapat bertemu atau ditemui oleh Yang Suci, Nabi Muhammad SAW. Tentu saja dengan tingkat kesucian yang berbeda. Sama dengan kala orang akan membaca Mushaf al-Qur’an diharapkan berwudlu dulu agar manusia yang membaca kitab suci itu sama-sama dalam kesucian.
Semua perilaku Nabi Muhammad SAW tentu perilaku spiritualitas, namun demikian perjalanan Isra’ dan Mi’raj benar-benar merupakan peristiwa spiritual yang sangat khusus yang dialami oleh manusia yang sering dinyatakan sebagai manusia biasa tetapi mendapatkan wahyu Allah dan diberi tanggung jawab menyebarkan wahyu tersebut. Perjalanan Isra’ dan Mi’raj merupakan perjalanan yang tidak bisa dilakukan oleh manusia macam apapun. Hanya Nabi Muhammad SAW yang mengalaminya. Nabi Musa AS gagal kala Allah SWT akan menunjukkan dzatnya karena Gunung Thur tempat Nabi Musa berdiri tidak mampu menahan kekuatan dzat Allah SWT. Tetapi Nabi Muhammad SAW karena izin Allah SWT, maka bisa bertemu dalam beberapa kali dalam semalam.
Ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari perjalanan Nabi Muhammad SAW untuk Isra’ dan Mi’raj, yaitu: Pertama, Isra’ dan Mi’raj adalah perjalanan spiritual yang hanya bisa dilakukan atas seizin Allah SWT. Allah SWT yang Maha Suci hanya bisa ditemui oleh manusia yang suci. Nabi Muhammad SAW dikelilingi dengan cahaya yang bisa memperkuatnya. Kedua, Isra’ dan Mi’raj menjadi lambang bagaimana manusia akan dapat bertemu dengan Tuhannya. Ada tahapan proses yang dilampaui untuk bisa menembus Sidratil Muntaha lalu ke arasy lalu bertemu dengan Allah Azza wa Jalla. Untuk bisa berremu dengan Allah SWT diperlukan kesucian lahir dan batin, dan hanya orang yang suci lahir dan batin saja yang bisa melakukannya. Ketiga, peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah simbolisasi spiritualitas yang sedemikian penting di dalam Islam. Shalat yang diwajibkan oleh Allah SWT itu bukan sekedar perintah biasa yang untuk menyampaikan perintah cukup dengan Humasnya Allah SWT, Malaikat Jibril, akan tetapi harus diberikan perintah tersebut secara langsung. Hal ini menandakan bahwa shalat merupakan upaya spiritualitas yang sangat tinggi derajadnya. Pantaslah jika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa shalat adalah “ tiangnya agama, yang melakukannya adalah penegak agama dan yang melalaikannya adalah perusak agama”.
Keempat, Tuhan Yang Maha Esa adalah misteri spiritualitas, oleh karena itu manusia terus mencari dan berupaya untuk menemukan Tuhannya. Semenjak 4000 tahun sebelum masehi, manusia sudah mencari Tuhannya. Ada yang menemukan dan ada yang tidak. Yang menemukan karena bimbingan para Nabi yang diturunkan kepadanya, dan yang tidak karena menolak kebenaran keyakinan yang ditawarkannya.
Bersyukurlah kita semua yang bisa memperingati Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW, karena kita berkeyakinan bahwa dengan memperingati peristiwa liminal seperti ini, maka Allah SWT dan Rasulnya akan mencintai kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.