(Sumber : Republika )

Ketika Langit Bernuansa Kalimat Tauhid (Bagian 2)

Khazanah

Masih tentang WAG. Kami juga dikejutkan dengan meninggalnya Pak Dr. Affandi Muchtar, mantan Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam. Beliau pernah menjadi Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam (Pendis) pada waktu saya menjadi Dirjen Pendis. Meskipun sebelumnya tidak mengenal secara memadai, akan tetapi karena jabatan di Jakarta tersebut, maka saya menjadi mengenalnya. Saya mengetahui namanya ketika membaca  buku “70 Tahun Munawir Syadzali” yang ditulis oleh alumni-alumni luar negeri, maka saya membaca tulisan Pak Affandi Muchtar yang mengkaji mengenai Kitab Ta’limul Mutaallim. Saya lupa secara persis apa judulnya.

  

Pak Affandi termasuk lelaki yang pendiam. Sangat santun dan berbicara dengan pelan-pelan yang tertata bahasanya. Pilihan diksi-diksinya menggambarkan betapa apa yang dibicarakan tersebut dipikirkan lebih dahulu. Ada banyak acara yang melibatkan Beliau, dan selalu saya cermati pembicaraannya. Beliau bukan tipe pejabat yang jika berbicara meluap-luap dan humoris. Nyaris tidak saya jumpai Beliau ini “cengengesan” ketika berbicara di forum-forum resmi. Berbeda dengan saya, yang kalau bicara di forum justru mengedepankan gurauan untuk sekedar menyegarkan  semangat. 

  

Pak Affandi seangkatan dengan beberapa  tenaga pendidik yang dikirim ke luar negeri, khususnya di Mc-Gill, Canada, University of California at Los Angeles (UCLA), dan Chicago University. Bersama Beliau adalah Pak Abdurahman Mas’ud, Pak Abu Hafsin, Pak Yudian A. Wahyudi, Pak A. Navis, dan lain-lain. Pak Affandi masuk Mc-Gill University di Canada. Sebuah perguruan tinggi terkemuka di Canada, yang telah meluluskan Prof. Harun Nasution,  dan Prof. Bisri Afandi. Pak Affandi memperoleh beasiswa di Mc-Gill sampai mendapatkan gelar Master of Art (MA) dalam Islamic Studies. 

  

Beliau kembali menjadi dosen di IAIN Cirebon dan kemudian berlabuh di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, pada masa Pak M. Suparta menjadi Sesdirjen Pendidikan Islam. Jika tidak salah pada waktu itu yang menjadi Dirjen Kelembagaan Islam adalah Prof. Dr. Qodri Azizi. Beliau temasuk orang yang cukup lama menjadi pejabat di Kemenag Pusat. Dimulai dari pejabat eselon tiga sampai kemudian menjadi pejabat eselon dua, tepatnya sebagai Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam. Beliau kembali menjadi dosen, pada saat saya menjadi Dirjen Pendidikan Islam dan posisinya digantikan oleh Prof. Dr. Kamaruddin Amin, yang kemudian menjadi Dirjen Pendidikan Islam dan berlanjut menjadi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam. 

  

Menurut sahabat-sahabat karibnya, seperti Pak Imam Syafi’i, Pak Mastuki, Bu Sa’diyah, Bu Ida Nur Qasim dan lain-lain,  Pak Affandi, kata Pak Imam adalah seorang pejabat yang penuh dengan gagasan, misalnya keinginannya untuk menyekolahkan anak-anak pesantren ke Maroko agar belajar Bahasa Arab dan Ilmu Keislaman. Selain itu juga sosok yang mengkader yunior-yuniornya secara total. Pak Imam merasakan sebagai orang yang pernah dikadernya sewaktu membantu Pak Affandi dalam mengelola Ditjen Pendidikan Islam. Di antara yang juga sangat fenomenal adalah tentang basis elektronik untuk pendataan.  Electronic Management Information system (EMIS)  pernah menjadi instrumen yang sangat andal, pata tahun 2000-an. Sampai sekarang system ini masih digunakan untuk pendataan Pendidikan Islam di Indonesia. 

  

Untuk menandai ketokohan Pak Affandi,  pada tujuh hari wafatnya dilakukan acara tahlil dan doa bersama yang diikuti oleh tokoh-tokoh Islam Indonesia. Sayang  waktunya bersamaan dengan doa dan tahlil juga di zoom lain sehingga saya tidak bisa mengikuti acara ini. Tokoh-tokoh NU dan PMII hadir pada acara yang digagas Oleh Pak Prof. M. Suparta dan kawan-kawan yang dahulu pernah bersama  Pak Affandi dalam mengembangkan Ditjen Pendis. 

  

Tetapi sebelumnya, saya sempat mengikuti acara zoom pada doa bersama untuk Pak Sastra dan Pak Kidup dan juga do’a bersama untuk Pak Achjar dan Prof. Ma’shum Nuralim, dan juga terakhir Pak Rudy al Hana. Saya diminta untuk memberikan kesaksian atau testimoni tentang mereka yang wafat ini, maka saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, kematian adalah takdir Tuhan Yang Maha Kuasa, dan tidak ada satupun makhluk hidup yang bisa menghalanginya. Semua akan merasakan kematian sebagai ketentuan Tuhan yang azali sifatnya. Kita tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya, tetapi dipastikan semua memiliki sebab-sabab yang Allah sendiri yang mengetahuinya. Oleh karena itu kita semua berharap bahwa kita harus mengikhlaskan atas kewafatan keluarga kita dan pasrah kepada Allah atas kehendak-Nya. Doa kita adalah semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketegaran dalam menghadapi musibah ini. Kita meyakini banyaknya sahabat-sahabat kita yang wafat bukanlah adzab Tuhan akan tetapi semata-mata cobaan dari Allah kepada kita semua.

  

Kedua, kita harus meneladani sahabat-sahabat kita, keluarga kita dan orang-orang yang dipanggil Allah ke hadiratnya. Kita semua memiliki catatan-catatan prestasi, kebaikan dan kesalehannya sehingga semua ini akan dapat memacu kita semua untuk berbuat yang baik sebagaimana kebaikan yang telah dipertontonkan kepada kita semua. Ada kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh para almarhum atau almarhumah yang bisa dijadikan sebagai teladan di dalam menghadapi kehidupan.

  

Ketiga, hari-hari ini sungguh langit di atas kita penuh dengan untaian kalimat tauhid, la ilaha illallah. Yang dilantunkan bertalu-talu hingga suaranya dipastikan akan sampai ke arasy dan ke haribaan Allah SWT. Nuansa kalimat tauhid itu dilantunkan di mana-mana dalam jumlah jamaah yang sangat banyak. Bahkan melalui teknologi informasi (zoom), maka  jamaah tahlil dan doa bersama bisa terdiri dari ratusan orang dari seluruh pesolok negeri. Kita semua berharap semoga melalui lantunan kalimat Tauhid itu,  kemudian Allah SWT akan menghilangkan wabah penyakit Covid-19 dari seluruh Indonesia dan juga dari seluruh muka bumi. Ya Allah kabulkan doa hambamu ini. Amin.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.