(Sumber : NU Online Jabar)

KH. Abdul Wahid: Sosok Pembaharuan Pendidikan Islam di Pesantren (Bagian 1)

Khazanah

Dimas Setyawan 

Mahasiswa Magister KPI UINSA

  

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah salah satu ulama Indonesia yang hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang hingga di masa awal-awal Kemerdekaan Indonesia. Beliau lahir dari rahim Pondok Pesantren, Ayahnya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari adalah pendiri organisasi Islam terbesar di dunia saat ini, yakni Nahdlatul Ulama. Bila ditelusuri lebih dalam dari garis keturunan kedua orantuanya, baik dari ayahnya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan ibu nya yakni Bu Nyai Hj. Nafiqoh berakhir bertemu diketurunan pada Lembu Peteng (Brawijaya VI) dari pihak ayah melalui Joko Tingkir adapun dari pihak ibu melalui Kiai Ageng.

  

Beliau lahir pada Jum’at Legi 5 Rabi’ul  Awal 1333 H atau bertepatan dengan 1 Juni 1914 M di Desa Tebuireng, Jombang. Saat mengandung KH. Abdul Wahid Hasyim, Nyai Hj. Nafiqoh sering kali merasakan lemah serta gelisah sampai merasakan badanya tidak memiliki tenaga. Karena hal itulah, Nyai Hj. Nafiqoh mengeluarkan kata-kata Nazar, “bila bayi dalam kandungan ini lahir dengan selamat, dengan tiada kurang apapun, dan setelah badanku segar kuat kembali, maka akan kubawa ia menghadap ke salah satu guru ayahnya di Madura, yaitu Syaikhona M. Kholil Bangkalan”. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa Syaikhona M. Kholil Bangkalan adalah seorang ulama terkemuka yang sangat sholeh dan juga zahid. 

  

Pendidikan KH. Abdul Wahid Hasyim dimulai di Madrasah Tebuireng dan lulus pada usia yang belia, yakni 12 tahun. Semasa bersekolah beliau sangatlah bersemangat dan giat dalam mempelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara otodidak. Di satu sisi beliau memiliki kegemaran hobi membaca yang sangat kuat. Hal tersebut bisa dilihat dalam sehari saja, beliau mampu membaca buku mininal lima jam. Dan beliau juga hafal banyak sya’ir-sya’ir Aran yang dikemudian hari disusun menjadi sebuah buku. 

  

Memasuki usia 13 tahun, KH. Abdul Wahid Hasyim memulai pengembaran ilmu. Pondok Pesantren Siwalan, Panji Sidoarjo adalah tempat pertama yang beliau tuju untuk pengembaraan mencari keilmuan. Di pondok pesantren tersebut, beliau mulai nyantri pada awal bulan Ramadhan hingga tanggal 25 Ramdahan (hanya 25 hari). Setelah itu beliau melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Sebuah pondok yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, salah seorang teman dan juga murid dari ayahnya sendiri. Memasuki usia antar 13-15 tahun, KH. Abdul Wahid Hasyim menjadi seorang santri kelana, yakni berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Sehingga pada tahun 1929 beliau kembali lagi ke Pesantren Tebuireng. 

  

Memasuki usia 17 tahun, yang bertepatan dengan tahun 1932, KH. Abdul Wahid Hasyim berangkat ke Mekkah bersama sepupunya yakni KH. Muhammad Ilyas dan sempat menetap disana kurang lebih selama 2 tahun. Di Mekkah mereka bersama-sama memperdalan berbagai ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir dan hadis. Di sisi lain, beliau juga menguasai beberapa bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris dan juga Arab. 

  

Pada tahun 1947 saat ayahnya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari wafat, maka KH. Abdul Wahid Hasyim menggatikan sang ayah menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng. Terpilihnya beliau menjadi pengasuh  berdarsarkan kesepatan keluarga Bani Hasyim dan juga beberapa ulama NU yang berada di Kabupaten Jombang. Perpindahan estafet kepengasuhan dari ayahnya ke KH. Abdul Wahid Hasyim, sejatinya hanya sebuah “formalitas belaka” karena kenyataannya beliau sudah lama ikut membantu sang ayah mengelola Pesantren Tebuireng. 

  


Baca Juga : In Memoriam Prof. HM. Ridlwan Nasir: Guru dan Sahabat yang Iklas (Bagian Pertama)

Sebelum menjadi pimpinan tertinggi di Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Wahid Hasyi sudah melakukan banyak sekali gebrakan-gebrakan dalam dunia pendidikan di lingkup pondok pesantren. Pada tahun 1934 bersama sepupunya, KH. Muhammad Ilyas, KH. Abdul Wahid Hasyim melalukan terobosan inovasi pendidikan di Pesantren Tebuireng, dengan mendirikan Madrasah Nizhamiyah dengan 70% kurikulum pendidikan umum. Kurikulum tersebut memasukan mata pelajaran sepertu membaca dan menulis bahasa latin, ilmu bumi, sejarah Indonesia, matematika. Selain itu mereka berdua juga memasukan majalah-majalah dari luar, baik berbahasa Inggris dan Belanda. 

  

Pendirian Madrasah Nizhamiyah tidak luput dari protes dan krtitikan dari para banyak kalangan, khususnya dari kalangan ulama dan juga orang tua murid. Mereka beranggapan bahwa ilmu-ilmu itu tidaklah berguna bagi umat Islam yang mengejar kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Lebih-lebih, ilmu pengentahuan umum yang rata-rata dibawa oleh orang-orang Belanda, kaum penjajag yang memusuhi umat Islam Indonesia kala itu. Meskipun banyak sekalai penolakan tidak sedikitpu membuat surut langkah KH. Abdul Wahid Hasyim dan KH. Muhammad Ilyas untuk melanjutkan Madrasah Nizhamiyah di Pesantren Tebuireng. Bagi mereka selagi Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari  tidak melarangnya, mereka berdua akan tetap bersikeras untuk agenda-agenda pembaharuan pendidikan tersebut. 

  

Keinginan kuat pendirian Madrasah Nizhmiyah didasari oleh pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim yang mengatakan bahwa tidak semua lulusan santri harus menjadi seorang ulama di kampung halaman masing-masing, tetapi lebih baiknya mereka dibekali keterampilan praktis. 

  

Tidak berhenti dengan pendirian Madrasah Nizhimyah saja, KH. Abdul Wahid Hasyim juga mengajurkan santri-santrinya untuk belajar berorganisasi dan belajar membaca ilmu-ilmu pengetahuan. Baginya, membaca adalah syarat utama untuk kemajuan agama Islam. Membaca adalah syarat pokok kemajuan islam. “Bukankah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca dan menggunakan pena? Karena membaca dan mempergunakan pena itu, Allah mengajarkan kepada umat ilmu-ilmu pengetahuan baru yang belum dipelajari. Ya, membaca! Menulis dan membaca sebanyak-banyak. Itulah pokok kemajuan yang tak ada batasnya.”

  

Berangkat dari situlah pada tahun 1936 KH. Abdul Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar-Pelajar Islam (IKPI), yang dipimpin langsung oleh beliau. Dalam waktu yang tidak lama, ikatan pelajar tersebut telah beranggota lebih dari 300 orang. Tidak lama berselang, ikatan pelajar tersebut mendirikan taman bacaan atau bibliotik, yang menyediakan sekitar 500 buah buku bacaan untuk anak-anak dan pemuda. Buku-buku tersebut terdiri dari bahasa Indonesia, Arab, Madura, Jawa, Sunda, Belanda, dan Inggris. Hal tersebut menjadi sebuah kemajuan luar biasa tersendiri bagi pendidikan pondok pesantren.  

  

Selain menyediakan buku-buku bacaan, Ikatan-ikatan Pelajar tersebut juga berlangganan surat kabar dan majalah. Di antara surat kabar dan majalah yang masuk ke Pesantren Tebuireng pada masa itu yang harian adalah: Matahari, Suara Umum, Sin Tit Po, dan Pejuangan; dari mingguan: Pendoman Masyarakat, Panji Islam, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Adil, dan Pesat; dan dari tengah bulanan: Bergerak, Punjangga Baharu, Al-Falah, Kemudi, Seruan Pemuda, dan masih banyak lain-lainnya surat-surat kabar dan majalah tersebut dari berbagai bahasa.

  

Datar bacaan:

1. Alfahrizal (2022) Mengenal Lebih Dekat Sosok KH. Abdul Wahid Hasyim, Tebuireng Online. Diarsipkan pada tanggal 2022-04-09. Diakses pada 2024-09-08.

  

2. Rosyidin Abror (2020) Dua Pahlawan Nasional dari Tebuireng Lintas Generasi. Tebuireng Online. Diarsipkan pada tanggal 2020-11-13. Diakses pada 2024-09-07

  

3. Zamani Nahzatus (2014) Pengasuh Tebuireng Periode Kedua KH. Abdul Wahid Hasyim (1947 – 1950) Bagian 1. Tebuireng Online. Diarsipkan pada 2014-04-14. Diakses pada 2024-09-08.

  

4. Sugendel Zainuddin (2021) Tebuireng di Masa Kiai Wahid. Tebuireng Initiatives. Diarsipkan pada 4. 2021-12-27. Diakses pada 2024-09-08.

  

5. Umiarso & Asnawan (2018) KH. ABDUL WAHID HASYIM PEMBARU PESANTREN Dari Reformasi Kurikulum, Pengajaran hingga Pendidikan Islam Progresif. Jornal Iain Kudus. Vol. 13, No. 2, Agustus 2018.

  

6. Budairy Said & Zawawi Ali. (2009) Dari pesantren Untuk Bangsa. Biografi KH. Muhammad Ilyas. Penerbit : Yayasan Saifudin Zuhri. ISBN : 978-979-8719-05-9

  

7. Atjeh Aboebakar (2015) Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim. Pustaka Tebuireng. ISBN: 978-979-4336-212

  

8. Seri Buku Tempo (2018) Wahid Hasyim Untuk Republik Dari Tebuireng. Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN: 978-979-1231-6