(Sumber : Yayasan pendidikan cendekia muslim )

Menjaga Imanitas dan Imunitas di Era Disrupsi Perspektif QS. Al-Ikhlas Ayat 1

Khazanah

Oleh: M. Sa'ad Alfanny

  

Maha Suci Dzat yang senantiasa menjaga kedinamisan dunia. Di tengah arus perubahan yang sangat cepat dan meluas, era disrupsi telah menjadi sebuah keniscayaan yang mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan manusia baik sosial, ekonomi, budaya, maupun spiritual. Perkembangan teknologi digital yang sangat pesat, banjir yang tak terbendung, serta pengaruh globalisasi yang merambah hingga ke ranah personal telah menciptakan kondisi yang tidak hanya menantang secara intelektual, tetapi juga mengguncang stabilitas emosional dan spiritual. Manusia modern berada pada situasi yang membingungkan, di mana nilai-nilai lama ditanyakan dan digantikan oleh pola pikir baru yang belum tentu mengandung kebenaran universal. Fenomena seperti budaya instan, konsumsi informasi tanpa filter, dan relativisme moral kian memudarkan batas antara yang benar dan yang salah, yang hak dan yang batil. Akibatnya, banyak individu yang kehilangan arah hidup, mengalami krisis makna, dan merasa terasing dari diri mereka sendiri serta dari nilai-nilai Ilahi.

  

Dalam konteks ini, menjaga imanitas yakni kualitas, keteguhan, dan keutuhan keimanan seseorang menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak. Imanitas bukan hanya soal keyakinan dalam hati, tetapi juga tentang bagaimana keyakinan itu mampu memandu perilaku dan pilihan hidup di tengah arus zaman yang berputar. Bersamaan dengan itu, imunitas spiritual dan mental juga harus dibangun agar individu mampu bertahan dari gempuran pengaruh negatif yang menyerang dari segala arah baik yang tampak maupun yang tersembunyi.

  

Diperdalamnya relevansi Surat Al-Ikhlas menjadi sangat penting. Meski hanya terdiri dari empat ayat pendek, surah ini mengandung nilai-nilai teologis yang mendalam dan menjadi pilar utama dalam akidah Islam. Ia tidak hanya menjelaskan tentang siapa Allah itu secara esensial, tetapi juga memberikan orientasi dan keteguhan hati bagi orang-orang yang ingin bertahan dalam ketauhidan sejati. Surah ini bagaikan perisai spiritual yang mampu menjaga hati dari berbagai bentuk kesyirikan modern baik yang berbentuk ideologis, psikologis, maupun kultural. Dengan menjadikan kandungan Surat Al-Ikhlas sebagai landasan berpikir dan pemikiran, umat Islam dapat membangun ketahanan diri yang kokoh dalam menghadapi gangguan zaman yang kompleks dan diabaikan.

  

Surah Al-Ikhlas diawali dengan sebuah pernyataan yang sangat kuat dan tegas: “Qul huwa Allahu ahad” “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa.” Ayat ini tidak hanya mengandung deklarasi teologis semata, tetapi juga merupakan pengukuhan prinsip utama dalam akidah Islam, yakni tauhid, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang patut disembah, dijadikan sandaran, serta pusat dari seluruh orientasi kehidupan manusia. Dalam Struktur Akidah Islam, tauhid bukan sekedar konsep abstrak, melainkan fondasi utama yang menopang seluruh bangunan iman dan amal seseorang.

  

Di tengah realitas kehidupan modern yang sarat dengan gangguan (distraksi), godaan hedonistik, serta relativisme moral dan nilai, prinsip tauhid hadir sebagai kompas spiritual yang menjaga stabilitas keimanan dan arah hidup manusia. Era disrupsi tidak hanya mencakup sistem sosial dan ekonomi, tetapi juga memporakporandakan struktur batin manusia—menciptakan kekosongan makna, krisis identitas, dan keterasingan spiritual. Dalam kondisi seperti ini, keyakinan yang teguh terhadap keesaan Allah menjadi landasan utama untuk tetap berpijak secara utuh di tengah badai perubahan.

  

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam karya tafsir monumentalnya, Tafsir al-Kabir, menyebut bahwa Surah Al-Ikhlas merupakan ikhtisar dari seluruh ajaran tauhid. Ia mengandung inti dari pengenalan terhadap Allah dan penegasan keunikan-Nya yang tidak dapat disamakan dengan apa pun. Menurut beliau, ayat-ayat dalam surah ini bukan sekadar menginformasikan sifat-sifat Allah, melainkan juga membentuk kesadaran eksistensial manusia terhadap Tuhannya. Dengan memahami dan meyakini keesaan Allah secara mendalam, seorang hamba akan memiliki visi hidup yang jelas, stabil, dan tidak mudah terpengaruh oleh tren saat atau tekanan lingkungan yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan.

  

Oleh karena itu, imanitas sebagai kualitas keimanan yang hidup dan dampaknya tidak cukup jika hanya dimaknai sebagai sekumpulan doktrin atau konsep hafalan. Imanitas yang kuat lahir dari pemahaman tauhid yang aplikatif; yakni tauhid yang tidak hanya diyakini di dalam hati, tetapi juga menjiwai tindakan, keputusan, dan seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Tauhid seperti inilah yang akan melahirkan keteguhan sikap, kejernihan berpikir, dan ketahanan spiritual dalam menghadapi kompleksitas zaman disrupsi yang serba cepat dan membingungkan.


Baca Juga : Politik Berkeadaban, Mungkinkah?

  

Semoga kita senantiasa diberikan kewarasan nalar imanitas hingga imunitas yang mendorong ke arah yang lebih baik.

  

Daftar Pustaka 

  

Hidayat, Komaruddin. Psikologi Beragama. Jakarta: Paramadina, 2005.

  

Razi (al), Fakhruddin. Tafsīr al-Kabīr Mafātih al-Ghayb. Beirut: Dar Ihya\' al-Turath

al-\'Arabi, jilid