(Sumber : Umma)

Menjauh untuk Menjaga

Khazanah

Oleh: Iklil Nafisah

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

  

Jatuh cinta dalam posisi belum siap untuk berumah tangga? Melelahkan bukan? Menikah belum mampu, tetapi harus kuat menahan diri dari jeratan maksiat yang dapat menerjang syariat. Jatuh cinta merupakan fenomena lazim yang dialami umat manusia terhadap lawan jenisnya. Berawal dari kekaguman atas kelebihan yang dimiliki seseorang, kemudian timbul ketertarikan lalu muncul perasaan sayang, cinta serta ingin memiliki seutuhnya. Dalam perspektif agama islam, rasa cinta merupakan fitrah dan anugerah dari Allah. Orang yang sedang merasa jatuh cinta biasanya rela mengorbankan apapun demi orang yang dicintainya, bahkan tak sedikit orang rela menjadi budak cinta. Jatuh cinta juga dapat disebabkan karena seringnya interaksi antara satu orang dengan lawan jenisnya, yang kemudian mengakibatkan timbulnya perasaan nyaman dan candu untuk selalu bersama. Sehingga muncul rasa ingin memiliki. Sebagaimana dalam pepatah jawa yang mengatakan “Witing tresno jalaran soko kulino.”

  

Orang yang sedang jatuh cinta terkadang menjadi buta. Tidak peduli kesalahan atau kekurangan apapun yang dilakukan si doi dan selalu menganggap si doi memang orang yang paling baik dan sempurna. Padahal yang terbaik menurut kita belum tentu terbaik juga menurut Allah, karena yang paling mengetahui segala takdir hanyalah Allah. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216). Bisa jadi orang yang kita cintai tersebut datang hanya sebagai ujian cinta atau ujian keimanan, bukan sebagai jodoh. Terlebih jika rasa cinta itu datang saat dalam keadaan belum siap untuk menikah. 

  

Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dikatakan bahwa, “Tidak ada solusi untuk kedua insan yang saling mencintai selain pernikahan.” Hal ini berarti saat diri belum mampu terikat dalam sebuah ikatan suci atau pernikahan namun telah memiliki sebuah perasaan terhadap seseorang, maka sebaiknya pasrahkan semua rasa cinta itu pada Allah. Ini dimaksudkan agar dapat terhindar dari perbuatan yang melanggar syariat seperti maksiat. Titipkan perasaan itu pada Sang Pemilik Segalanya. Menjauh untuk menjaga akan lebih baik untuk perasaan yang belum saatnya, walaupun mungkin ini merupakan suatu keputusan yang sulit karena melibatkan orang yang sedang kita cintai, tetapi inilah solusi terbaik.  

  

Konsep menjauh untuk menjaga bertujuan agar kita dapat lebih mudah mengontrol gemuruh di hati dan agar perasaan kita tidak semakin bergejolak. Cinta yang sesungguhnya harus bisa menjadikan individu lebih taat, bukannya bermaksiat, apalagi yang belum tentu menjadi jodoh kita. Firman Allah dalam QS Qasas ayat 50 berbunyi, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsu mereka belaka dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” Dapat dipahami bahwa, orang yang mengikuti hawa nafsunya akan kehilangan petunjuk dari Allah. Untuk itu diperlukan konsep menjauh untuk menjaga agar kita lebih mudah mengontrol hawa nafsu dan hati.

  

Menjauh untuk menjaga sangat diperlukan agar perasaan tak mengambil alih kesadaran dan keimanan masing-masing individu. Walaupun gelora perasaan di hati sangat menggebu-gebu dan mungkin akan terasa sangat menyiksa, tak apa. Ini hanya sementara. Semakin berjarak, semakin mudah untuk mengontrol perasaan. Sejauh apapun jaraknya, jika berjodoh akan duduk di akad juga. Tetapi sedekat apapun jaraknya jika memang bukan jodohnya maka akan pergi juga. Tak perlu takut kehilangan seseorang yang belum halal. Tak perlu terlalu dekat agar tak maksiat, berinteraksi sewajarnya, insyaallah atas izin Allah akan terikat dalam ikatan suci. Selalu bawa dan libatkan Allah dalam segala fase kehidupan yang dilalui, termasuk fase mencintai Jangan sampai menggadaikan agama hanya karena cinta yang belum halal. Tak perlu menggadaikan keimanan dan kehormatan hanya untuk kesenangan sesaat. 

  

Tak menyapa demi menjaga, karena zina dapat berawal dari hal sederhana seperti chatting. Hal se-sepele chat yang mungkin berlindung pada kata “hanya sewajarnya saja”, tetapi tanpa sengaja ketikan oleh jari akan dirasakan pula oleh hati. Yang mengetik jari tetapi yang bergemuruh hawa nafsu. Apalagi jika tak sengaja membahas candaan yang tak penting. Firman Allah pada surat Al-Isra ayat 32 berbunyi, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Bila mendekatinya saja dilarang, apalagi melakukannya. Zina dapat menghilangkan keberkahan, mempersempit ketenangan dan rezeki.

  

Orang tidak akan mau berzina secara langsung, maka diciptakanlah sebuah tipu daya yang secara perlahan memunculkan rasa candu seperti dengan cara sering chatting. Setelah kecanduan, iman mulai melemah dan kesadaran telah dimenangkan hawa nafsu dan setan. Pada fase lemahnya iman ini, setan akan menghasut untuk berzina. Setelah berzina penyesalan baru akan datang bertubi-tubi, terlebih ketika tidak berjodoh. Maka sebelum kecewa tanpa batas, mari pandai-pandai mengontrol. Jika chat dirasa sudah cukup, maka berhentilah. Meski yang chat bersamamu ini adalah orang yang kau cinta, tetapi mencegah lebih baik daripada mengobati. Sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Ahmad nomor 20.739 berbunyi, “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaanmu kepada Allah SWT, kecuali Allah pasti akan memberikan sesuatu (sebagai pengganti) yang lebih baik darinya.” Dalam QS Al-Baqarah ayat 155 juga dijelaskan bahwa, “Dan berikanlah berita gembira kepada orang orang yang sabar”.

  

Selagi menunggu waktunya siap untuk menikah, tidak ada yang lebih baik dari terus berikhtiar memperbaiki dan memantaskan diri. Diiringi dengan panjatan doa yang tiada henti agar kelak dapat disatukan dengan orang yang paham agama sekaligus bisa mengamalkan ilmu yang dimilikinya, karena banyak orang yang hanya paham teori tanpa adanya penerapan dari ilmu yang telah dipahami. Selain paham agama, akhlak dan tanggung jawab juga menjadi kriteria penting dalam mencari partner melaksanakan ibadah terpanjang yang bernama pernikahan ini. Walaupun diri sendiri belum bisa menjadi pribadi yang baik, tetapi kita pantas untuk berharap bisa memiliki nahkoda terbaik yang dapat membersamai kita untuk mengarungi luasnya samudera kehidupan. “Berdoalah kepada ku pastilah aku kabulkan untukmu.” (QS Al-Mukmin : 16).

  

Kita tidak dapat memilih untuk tak jatuh cinta karena memang fitrahnya telah datang, meski di waktu yang belum tepat. Upgrade diri dalam proses penantian selagi menunggu waktu terbaik dari Allah. Tak lupa percaya pada takdir Allah dan berharap agar selalu dilindungi dari ketidakmampuan untuk menjaga diri. Ketika tak ada yang halal diantaramu dan dia yang kau cintai, biarlah Allah menukarkan kabar kalian melalui doa-doa yang senantiasa kalian langitkan. Menunggulah tanpa mengganggu. Semoga kelak penantian dan penjagaan dirimu dapat berlabuh pada orang yang tepat. Pada dia yang mampu mendekap segala kekuranganmu, siap bekerja sama dan siap membimbingmu menuju versi terbaik yang diridhoi Allah. Dia yang menjadikan surga terasa semakin mendekat. Walau mungkin tak secantik bidadari atau tak segagah pangeran berkuda putih, tetapi semua kekurangan pada fisiknya dapat membuatnya terkesan sempurna dimatamu karena cintanya tak lagi menyentuh matamu, tetapi hatimu.

  

Wallahu A’lam Bish-Shawaab.