(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Moderasi Beragama Vis a Vis Kebebasan Beragama

Khazanah

Oleh: Dr. Achmad Murtafi Haris, Lc, M.Fil.I.

(Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya)

  

Program utama kementerian agama, moderasi beragama, mendapat tanggapan beragam dari para akademisi. Ada pro dan kontra. Umumnya tanggapan miring berpusar pada anggapan bahwa ia adalah wujud intervensi negara dalam urusan agama yang seharusnya pemerintah tidak terlibat. Urusan agama adalah urusan kebebasan berkeyakinan yang dijamin oleh negara. Karenanya, negara tidak boleh melarang warga untuk bergabung ke agama tertentu atau aliran tertentu atau pindah ke yang lain (freedom to associate and to exit).  Terserah warga mau memeluk Islam atau keluar dari Islam; memeluk Kristen atau keluar dari Kristen dan begitu juga untuk agama lainnya. Warga juga bebas ikut dan keluar dari aliran dalam agama tertentu. Seperti bebas ikut atau keluar dari NU, Muhammadiyyah, Persis, LDII, MTA, Salafi, JIL,  Tarekat,  Jama’ah Tabligh, pengajian masjid, Majelis Ta’lim.  dan kelompok apa pun sejauh tidak terlarang atau bermasalah secara hukum, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau Front Pembela Islam (FPI). 

  

Warga Indonesia juga bebas berbusana dan berpenampilan sesuai pandangan aliran agama yang dianut. Seperti bercelana cingkrang bagi penganut salafi (meski sedang berjas dan berdasi sekalipun), dan bercadar dan berjubah hitam bagi wanitanya. Dan bebas menanggalkannya karena pindah ke aliran lain.

  

Sikap negara yang netral terhadap hal keberagamaan didasarkan pengalaman sejarah yang mendapati bahwa urusan agama adalah urusan keyakinan yang subyektif. Keyakinan adalah wilayah individu yang bersifat prerogatif atau yang oleh Nurcholis Madjid disebut dengan “anugerah primordial”. Ia berada dalam relung hati paling dalam yang tidak bisa dimasuki orang lain atau kelompok. Ia tidak tampak dan karenanya ia tidak bisa dinilai berdasarkan yang tampak. Orang lain yang ingin merubahnya, jika berhasil, ia hanya mendasarkan pada apa yang nampak. Padahal, yang tidak nampak yang ada dalam hatilah yang menentukan. Bisa saja orang beratribut muslim tapi ternyata bukan muslim. Atau beratribut agama lain tapi ternyata bukan penganut agama itu. Pernah penulis waktu makan di Geprek Bensu Sidoarjo mendapati perempuan berjilbab di meja sebelah. Ketika akan makan, dia berdoa dengan tanda Salib dengan menggerakkan ibu jari menyentuh dahi, bibir dan dada yang menunjukkan penganut kristiani. Artinya bahwa tampilan luar tidak sepenuhnya  menunjukkan identitas apalagi kualitas agama seseorang. Jika negara intervensi urusan agama, ia hanya mendapatkan tampilan luarnya. Ia akan tertipu karena dalam hatinya ternyata tidak begitu.

  

Selain tidak terdeteksi secara kasat mata, agama sarat dengan penafsiran bahkan dalam hal yang fundamental sekalipun (akidah). Tauhid adalah doktrin utama Islam lintas aliran. Artinya semua aliran besar dan kecil dalam Islam dan semua varian di dalamnya sepakat dengan Tauhid sebagai doktrin utama. Meski demikian, dalam detil konsep tauhid tidak persis sama. Seperti dalam sifat Tuhan yang tidak sama antar aliran Sunni (antara Asy’ariyah dan Taimiyah) dan dengan Mu’tazilah dan Syi’ah. Jika dalam akidah terdapat perbedaan, apalagi dalam syariah seperti tata cara ibadat, mu’amalat, munakahat, dan siyasat, banyak sekali perbedaan di dalamnya. Jika negara ikut campur urusan agama, maka akan masuk dalam belantara perbedaan pandangan intra dan antar agama yang rumit dan buang-buang energi.

  

Banyaknya agama dan aliran dalam suatu agama yang kesemuanya mendapatkan hak kebebasannya, meniscayakan berkembangnya dakwah agama dengan pelbagai alirannya yang berimplikasi pada perubahan demografi aliran. Di Indonesia, aktifnya dakwah salafi melalui media televisi, radio, dan media sosial, menjadikannya mampu merekrut anggota baru di Indonesia. Konsekuensinya, muncul saudara-saudara muslim bercelana cingkrang dan bercadar bagi wanitanya. Sebuah pemandangan baru yang selama ini hanya didominasi baju takwa, sarung dan kopiah dan menjadi budaya muslim Indonesia.

  

Bisakah perpindahan aliran yang berimplikasi pada perubahan ekspresi keagamaan dari yang “Indonesia” ke yang “Arab” itu dilarang? Tentu tidak bisa berdasarkan prinsip kebebasan beragama. Seorang teman yang dahulu berjilbab dan kini menanggalkannya dengan tegas menolak pandangan negatif wanita bercadar. Baginya, ini adalah pilihan individu yang harus dihargai. Sebagaimana dia bebas memutuskan melepas jilbab, maka wanita lain juga bebas memutuskan menggunakan cadar. Sebuah keadilan penyikapan yang patut diberlakukan meski berimplikasi pada pergeseran afiliasi faham mayoritas ke minoritas. 

  

Kelompok yang menolak program moderasi beragama menuduh program tersebut sebenarnya ingin menyasar kelompok yang penampilannya “tidak” Indonesia itu atau dalam bahasa akademisnya “tidak kontekstual”. Atau kalau mau lebih jelas, menteri agama yang NU yang mengusung Islam Nusantara ingin mengerem laju kaum cingkrang dan cadar lewat program moderasinya dengan menggunakan tangan pemerintah. Suatu hal yang melanggar prinsip Civil Society di mana pemerintah dilarang intervensi urusan agama.

  

Oleh narasumber moderasi beragama, baik dalam seminar mau pun lokakarya, tuduhan itu disangkal. Program ini tidak untuk mengurusi celana cingkrang dan cadar tapi lebih pada isu kohesifitas bangsa. Artinya bahwa telah ada  fenomena sosial keagamaan dan model keberagamaan yang ekslusif yang bisa merugikan kesatuan dan persatuan bangsa. Pandangan yang menciptakan sekat-sekat sosial yang tidak seharusnya ada dalam kehidupan Indonesia yang plural. Seperti munculnya Perumahan Syariah yang mengharuskan penghuninya adalah muslim dan Kampung Wanita Berhjjab yang melarang wanita tidak berhijab untuk tinggal di situ. Hal semacam inilah yang melatarbelakangi program moderasi beragama muncul. Fenomena keagamaan yang jika dibiarkan akan terus berkembang dan menggumpal menjadi tumor. Interaksi sosial yang seharusnya cair menjadi beku dan terhambat. Orang tidak bebas lalu lalang karena munculnya sekat-sekat atau ketidaknyamanan yang dibuat oleh faham keagamaan tertentu. Kebebasan beragama yang berlaku telah menimbulkan riak yang perlu kehadiran negara untuk membersihkannya.