Ngaji Bahagia: Perjalanan Spiritual Melalui Isra’ Dan Mi’raj
KhazanahOleh: Prof. Dr. Nur Syam, M.Si
Sungguh kenikmatan Allah SWT itu luar biasa besarnya. Di antara nikmat itu adalah pada malam Jumat atau Kamis, 23/02/2023. Jamaah masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency dapat menyelenggarajan acara memperingati Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dalam keadaan terang dan cuaca yang segar. Beberapa hari terakhir daerah Surabaya diguyur hujan, dan bahkan karena derasnya sehingga wilayah Wonokromo menuju jalan A. Yani macet nyaris 2,5 jam. Saya merasakan macet tersebut pada pukul 17.00 WIB. jalanan macet total dan terus sampai malam.
Oleh Panitia Isra’ dan Mi’raj saya diminta untuk menjadi penceramah dalam acara penting tersebut. Seperti biasa dalam peringatan hari-hari besar Islam, maka panitia mengundang jamaah dari Masjid-masjid sekitar dan juga para Ketua RT pada RW 08 Ketintang baru Selatan. Makanya hadir, Ketua RW 08, Pak Mulyanta, Ketua RT 05, Pak Yudi, dan Ketua RT lainnya. Hadir juga Ketua Takmir masjid, Pak Rusmin dan segenap jajarannya. Acara diakhiri dengan ramah tamah prasmanan hasil urunan ibu-ibu warga Lotus Regency. Tentu, makanannya bervariasi sesuai dengan bawaan ibu-ibu. Ada sate, rawon, bakso, capjay, ikan bakar, lele goreng, ayam kremes, telor balado, minuman es buah, minuman hangat wedang sereh, dan tidak lupa krupuk. Acara Isra’ dan Mi’raj ini didahului dengan khatmil Qur’an bil nadhor. Masing-masing jamaah membaca satu juz. Bacaan Qur’an dimulai ba’da shubuh sampai menjelang magrib. Bacaan doa setelah shalat magrib, lalu dilanjutkan dengan shalawatan dan ceramah agama.
Sebagai penceramah, maka saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, kita harus bersyukur kepada Allah SWT karena karunia dan kenikmatan yang luar biasa. Di antara nikmat itu adalah nikmat bisa menjadi orang Islam, menjadi muslim, dan bukan sekedar muslim tetapi muslim yang taat. Alhamdulillan kita bisa menjalankan rukun Islam secara kaffah dan dengan sepenuh keyakinan kita juga termasuk orang yang suka untuk menghidup-hidupkan ajaran Islam di antaranya adalah dengan memperingati hari-hari besar Islam, seperti malam hari ini.
Kita harus yakin jika kita mencintai Allah dan Rasulnya, maka Allah dan Rasulnya juga akan mencintai kita. Jika kita mencintai istri atau suami kita, maka istri atau suami kita juga akan menyayangi kita. Ada banyak orang di dunia ini yang ingin menemukan jalan yang benar, akan tetapi juga banyak yang tersesat. Manusia di dunia ini sudah selama ribuan tahun mencari Tuhan. Kira-kira semenjak 4000 tahun sebelum masehi. Jauh dari pencarian Tuhan oleh agama Buddha pada tahun 2500 tahun sebelum masehi. Dan kita yang datang terakhir ini, alhamdulillah kita menemukan jalan Islam, agama yang lurus, agama yang diridai oleh Allah SWT. Alhamdulillah wa syukrillah.
Baca Juga : Maqashid al-Suwar: al-Baqarah
Kedua, kita ini di dalam beragama, saya ibaratkan di dalam teori barter. Teori barter itu teorinya para pedagang. Ukurannya adalah kesetaraan antara yang dibeli dan dijual. Jadi kita beragama ini rasanya masih seperti “apa yang saya berikan kepada Allah, maka itulah yang nanti akan dibalas oleh Allah”. Jadi seperti barter. Kita menjadi muslim barter. Kita menganggap bahwa Allah itu seperti bukan dzat yang maha pengasih dan penyayang. Dipikirnya bahwa kita itu bisa masuk surga itu semata-mata karena amal perbuatan kita saja. Padahal untuk masuk surga itu perlu pertolongan Allah SWT. Yang sesungguhnya diperlukan adalah beribadahnya kaum Khawwas, yaitu orang yang beribadah kepada Allah tidak mengharapkan surga tetapi mengharapkan ridla Allah SWT. Ahli tasawuf perempuan yang hebat adalah Rabiah al Adawiyah, beliau itu hanya mengharap kecintaan Allah. Makanya ketika beliau itu dilamar oleh Syekh Hasan Basri, maka ditolaknya karena cintanya sudah dipasrahkan kepada Allah SWT saja. Jika beliau mencintai manusia, maka nanti akan menduakan Allah. Dan akhirnya dari cinta itu akan melahirkan ridlanya Allah SWT.
Kita semua tentu berharap bahwa pada ujung akhirnya kita bisa memperoleh ridha Allah SWT dimaksud. Dan Allah meridlai kita masuk di dalam surganya. Mudah-mudahan kita bisa masuk dalam barisan sepertiga yang awal atau sekurang-kurangnya masuk dalam seperti yang terakhir. Tsullatum minal awwalin wa tsullatum minal akhirin. Tetapi kita juga yakin bahwa kita sudah menjalankan shalat, sudah berzakat, sudah melakukan amal perbuatan yang baik, maka jika seandainya ada yang kurang-kurang dari ibadah kita itu, semoga Allah memberikan rahmatnya.
Ketiga, agama itu penuh dengan symbol atau lambang. Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj juga penuh dengan lambang. Digambarkan bahwa untuk sampai kepada Allah itu, maka Nabi Muhammad SAW diperjalankan dulu di dunia dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Lalu dari Masjidil Aqsha barulah Nabi Muhammad SAW diangkat ke Shidratul Muntaha terus sampai Arasy dan terus akhirnya bisa bertemu dengan Allah SWT. Kita tidak bisa menggambarkan bagaimana tatap muka antara keduanya. Kita harus yakin bahwa peristiwa tersebut terjadi. Sebagaimana Abu Bakar As Shddiq, ketika Nabi Muhammad bercerita tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj kepadanya, maka tidak ada basa basi, dan langsung percaya. Tidak mikir rasional atau tidak. Percaya saja. Itulah sebabnya Abu Bakar lalu diberikan gelar as shiddiq karena kejujurannya terhadap Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad diperjalankan di dunia dulu dan baru diangkat ke atas. Hal ini menggambarkan bahwa jika kita ingin mendaki kepada puncak keyakinan kepada Allah, maka jangan lupakan yang di dunia. Kita harus bertanggungjawab kepada keluarga, masyarakat dan juga bangsa. Dengan melakukan semua dan berupaya dengan melakukan amal shaleh, berdzikir, istigfar dan semua amalan yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW, baik sendirian atau berjamaah, insyaallah kita akan bisa menggapai derajat spiritulitas yang bagus. Semakin banyak dzikir tentu semakin dekat kepada yang memiliki dzikir, yaitu Allah SWT.
Sebagai penutup ceramah ini, maka saya ajak jamaah untuk membaca Shalawat kepada Nabiyullah Muhammad SAW:
“shalatullah salamullah ‘ala thoha rasulillah, shalatullah salamullah ‘ala yasin habibillah”. Dibaca berulang-ulang. Lalu saya bacakan puisi:
“ayo dulur moco shalawat,
kepada yang mulia Nabi Muhammad,
mari banyak baca shalawat
agar di akherat kita selamat”.
“Ayo sing akeh shalawate,
Nganti lambe rasane domble,
Maca shalawat sak akehe,
Biar selamat ing akherate”
“shalatullah salammullah ‘ala thoha rasulillah,
shalatullah salamullah ‘ala yasin habibillah”
Wallahu a’lam bi al shawab.