(Sumber : Victorynews)

Parrhesia Guru (Refleksi Hari Guru Nasional 25 November 2022)

Khazanah

Oleh: Ahmad Ubaidillah

(Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya)

  

Saya acapkali lupa bahwa setiap tanggal 25 November adalah peringatan Hari Guru Nasional. Tidak bertanggal merah dalam kalender sebagai tanda hari libur barangkali menjadi alasan utama mengapa saya melalaikan momen penting itu. Yang lebih saya lupakan lagi adalah fungsi guru sebagai sarjana, akademisi, intelektual, cendekiawan, dan sebutan apa pun yang melekat pada guru. Tulisan ini adalah pengingat akan kelupaan saya itu. Seandainya peringatan Hari Dosen Nasional itu ada, mungkin judul tulisan di atas akan berbeda.   

  

Tulisan ini tentu saja tidak mendedahkan fakta tentang masih banyaknya praktik jual-beli ijazah atau wisuda bodong yang dilakukan sebagian manusia terdidik yang enggan bersusah-payah. Juga tidak dibahas dalam tulisan ini praktik korupsi yang dilakukan oknum-oknum pendidik bermental nista sebagaimana gencar dikabarkan media massa akhir-akhir ini. Akan tetapi, esai singkat ini akan membabarkan peran guru sebagai sarjana, akademisi, intelektual, dan cendekiawan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang, saya kira, sudah mulai dilupakan, bahkan ditinggalkan.  

  

Perihal makna sarjana, akademisi, intelektual, dan cendekiawan yang saya anggap ada dalam jiwa guru, saya memanfaatkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sarjana, menurut KBBI, bermakna orang pandai atau ahli ilmu pengetahuan. Kata tersebut bersinonim dengan akademsi yang berarti orang yang berpendidikan tinggi. Akademisi juga tidak jauh berbeda dengan kata intelektual yang bermakna cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, mempunyai kecerdasan tinggi, dan totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Intelektual juga identik dengan cendekiawan, yaitu orang cerdik-pandai yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Beragam definisi kata yang saya lekatkan pada guru di atas saya ringkas sebagai berikut: orang yang berakal cerdas, dengan ilmu pengetahuannya, terus-menerus memahami segala sesuatu.     

  

Aneka definisi kata yang menempel pada sosok guru yang punya makna mirip versi KBBI tersebut tak membuat saya jelak. Saya baru merasa puas ketika membaca definisi intelektual yang dikemukkan Antonio Gramsci, filosof Italia, yang mengatakan bahwa semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual. Fungsi intelektual tidak hanya menafsirkan realitas di sekitarnya, tetapi juga berkeinginan kuat mengubah keadaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya, ketidakadilan, penindasan, kekuasaan korup, dan semacamanya akan menjadi perhatian serius seorang intelektual. 

  

Fungsi guru sebagai intelektual yang tak kalah mencerahkan diberikan oleh Noam Chomsky, linguis Amerika Serikat, yang mengatakan bahwa intelektual dengan status istimewanya berkewajiban memajukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Menurutnya, kaum intelektual tidak hanya bertugas membongkar kebohongan penguasa, tetapi juga menjelaskan sejauh apa kita terlibat dalam kejahatan itu dan bagaimana menghentikannya.

  

Dalam literatur filsafat, ada istilah parrhesia. Istilah tersebut saya temukan dalam buku “Parrhesia”, karya Michel Foucault, filsuf Prancis. Foucault menjelaskan bahwa parrhesia umumnya diterjemahkan sebagai “berbicara bebas” (dalam bahasa Inggris free speech, dalam bahasa Prancis franc-parler, dan dalam bahasa Jerman feimuthigkeit). Dan, parrhesiates adalah orang yang menggunakan parrhesia, yaitu seseorang yang membicarakan dan menyuarakan kebenaran. Kata perrhesia muncul pertama kali dalam kesusastraan Yunani pada karya-karya Euripides, sekitar tahun 484-407 SM. Kata ini selanjutnya berkembang luas di dunia kesusastraan Yunani antik sejak akhir abad kelima SM. 

  

Orang yang melakukan parrhesia, parrhesiates, adalah orang yang mengatakan segala sesuatu yang ia pikirkan. Ia tidak menyembunyikan apa pun, tetapi membuka hati dan pikirannya kepada orang lain melalui wacananya. Dalam parrhesia, pihak pembicara menyampaikan paparan lengkap dan tepat tentang apa yang ia pikirkan sehingga pihak pendengar mampu memahami secara utuh apa yang ia pikirkan oleh pihak pembicara. Orang dikatakan menerapkan parrhesia dan layak dianggap sebagai parrhesiates hanya jika terdapat risiko atau bahaya yang menimpanya dalam mengungkap kebenaran. 

  

Kita ambil contoh: seorang guru tata bahasa Indonesia mungkin menyampaikan kebenaran kepada anak didiknya dan tidak diragukan lagi bahwa apa yang ia sampaikan adalah benar. Akan tetapi, ia bukan seorang parrhesiates. Mengapa? Karena aktivitas pengungkapan kebenarannya tidak mengandung risiko dan bahaya.  Tetapi, ketika seorang guru menyampaikan bahasa eufemisme seorang penguasa yang tiranik, dan menegaskan kepadanya anak-anak didiknya bahwa bahasa halus sang penguasa bertujuan membohongi rakyat dan menutupi informasi yang sebenarnya, sang guru itu telah menjadi parrhesiates yang berani mengambil risiko, karena bisa saja sang tiran menjadi murka, yang boleh jadi menghukum, mengasingkan, bahkan membunuh sang guru. 

  

Parrhesia adalah sebentuk kritik, baik kepada pihak lain maupun kepada diri sendiri. Akan tetapi, kritik selalu dilakukan dalam situasi tatkala pihak pembicara berada pada posisi rendah di hadapan lawan bicara. Pihak parrhesiates selalu kurang berdaya dan bertenaga ketimbang pihak mitra wicara. Pihak parrhesia datang dari “bawah”, dan mengarah ke “atas”. 

  

Parrhesia merupakan sebentuk aktivitas lisan di mana seseorang pembicara memiliki hubungan khusus kepada kebenaran melalui keterusterangan, hubungan tertentu atas hidupnya sendiri melalui bahaya, jenis hubungan tertentu kepada dirinya atau orang lain melalui kritik (kritik diri dan orang lain), dan hubungan khusus dengan hukum moral melalui kebebasan dan kewajiban. Persisnya, parrhesia adalah aktivitas lisan di mana seorang pembicara mengungkapkan hubungan pribadinya dengan kebenaran, dan kesediaaan untuk menanggung risiko hidupnya sebab ia mengakui pengungkapan kebenaran adalah kewajiban untuk meningkatkan atau membantu orang lain.

  

Baiklah, saya akhiri tulisan pendek ini dengan berbicara dengan diri saya sendiri: Tidak cukup, guru sebagai sarjana, akademisi, intelektual, dan cendekiawan, hanya memiliki kepandaian dan kecerdasan dalam ilmu pengetahuan. Guru juga harus memiliki keberanian menyuarakan kebenaran dan keadilan atas nama kemanusiaan meskipun harus menghadapi risiko dan bahaya. Menunaikan parrhesia dan menciptakan parrhesiates-parrhesiates di kalangan anak-anak didiknya adalah fungsi guru yang terus-menerus perlu ditingkatkan. Saya yakin, Indonesia kini sedang hamil tua untuk melahirkan parrhesiates-parrhesiates baru.