(Sumber : Unida Gontor )

Penanaman Nalar Kritis dalam Pengajaran Aqidah: Langkah Awal Menuju Islam Wasathiyah

Khazanah

Oleh: Dzulfikar Akbar Romadlon 

(Mahasiswa Doktoral UIN Sunan Ampel Surabaya)

  

Tantangan Aqidah Islam di zaman ini sangatlah bermacam-macam. Ada tantangan dari kelompok yang secara ekstrim mudah sekali mengkafirkan kepada sesama muslim. Bahkan pengkafiran ini seringkali berujung pada kekerasan fisik bahkan sampai pada aksi-aksi terorisme. Belum lagi tantangan yang berasal dari luar Islam seperti Atheisme, Sekularisme, Komunisme, Liberalisme dan masih banyak ideologi lain di luar Islam yang saat ini para penganutnya mulai marak menyebarkan ideologinya melalui media massa maupun media sosial serta telah banyak mempengaruhi para pemikir muslim. Maka para Ulama\', Mubaligh, dan guru-guru muslim perlu menyuarakan dan menginternalisasikan Islam Wasatiyah di tengah-tengah masyarakat. Wasatiyah ini diartikan dengan kondisi pertengahan antara dua kubu ekstrim kiri dan kanan, atau dalam bahasa para Ulama\' bayna ifrath wa tafrith. Lebih jauh lagi Hasyim Muzadi mengartikan makna Wasatiyah sebagai \"keseimbangan antara keyakinan dan toleransi\", atau menjadi orang yang tetap teguh dalam Aqidah yang benar namun mampu bertoleransi kepada orang yang berbeda keyakinan.

  

Internalisasi Islam Wasatiyah perlu dimulai dalam pengajaran Aqidah Islam sejak anak duduk di bangku sekolah ataupun madrasah. Karena kesalahan pengajaran Aqidah Islam di masa lalu, dapat menyebabkan seseorang menjadi orang yang ekstrim atau liberal di masa sekarang. Maka pengajaran Aqidah di sekolah-sekolah Islam khususnya di tingkat SMP/MTS hingga perguruan tinggi sudah harus mampu memunculkan nalar kritis sehingga mereka dengan Aqidah Islam mampu kuat berkeyakinan dalam lingkungan masyarakat global yang plural. Mengapa harus dimulai dari anak SMP/MTS, karena anak usia 12 tahun keatas menurut Piaget, adalah masa awal tahap operasional formal ketika anak mulai mampu berfikir logis mengenai soal abstrak dan menguji hipotesis secara sistematis.

  

Berangkat dari dua artikel yang pernah ditulis oleh penulis pertama berjudul \"Implementasi Strategi REAP Pada Mata Kuliah Aqidah Akhlak Untuk Meningkatkan Kemampuan Literasi Mahasiswa\" diterbitkan di Jurnal Edukasi Islamia tahun 2020 dan kedua berjudul \"Desain Buku Ajar Aqidah Berbasis Strategi Reap Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Smp\" diterbitkan di Jurnal At-Tadzkiyyah tahun 2021. Pada tulisan ini penulis ingin menjelaskan pentingnya penanaman nalar kritis dalam pengajaran Aqidah Islam, serta bagaimana pengajarannya menggunakan strategi REAP atau reading, encoding, annotating dan pondering.

  

Perdebatan dalam Pengajaran Aqidah Islam

  

Tujuan pengajaran Aqidah bukan untuk memverifikasi apalagi memfalsifikasi kandungan Aqidah, namun lebih bersifat apologi yaitu untuk membuktikan dan menetapkan kebenaran Aqidah Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Imam Al-Ghazali ada tiga tahap dalam pengajaran Aqidah: Pertama, anak harus menghafalkan konten dari Aqidah. Kedua, memahami maksud kandungannya. Ketiga, setelah hafal dan paham akan meyakini dengan sebenarnya. Penting ditekankan disini, bahwa manusia baru akan meyakini Aqidah dengan sebenarnya ketika ia memahami konten dari Aqidah tersebut. Namun pemahaman terhadap sesuatu bertingkat-tingkat, ada yang memahami konten sebagaimana adanya, namun ada bentuk pemahaman yang berangkat dari sikap analitis dan kritis.

  

Kelompok Mu\'tazilah salah satunya diwakili oleh Qadi \'Abdul Jabbar, menyebutkan bahwa kewajiban pertama bagi seluruh manusia adalah mengetahui Allah. Pengetahuan ini tidak boleh diketahui saja dengan cara taqlid saja, namun manusia diwajibkan harus menggunakan fikirannya untuk mengetahui alasan-alasan dibalik pengetahuan itu. Bagi Imam Al-Ghazali sangat tidak realistis. Ia menyebutkan bahwa metode pengajaran bagi orang awam atau anak kecil adalah metode taqlid atau meniru. Imam Al-Ghazali menolak pendapat Mu’tazilah yang mewajibkan orang awam untuk mempelajari argumentasi ahli kalam karena secara psikologis mempelajari ilmu itu untuk orang awam bukan malah memperkuat keimanan mereka justru malah menyebabkan kebingungan. Pengungkapan argumentasi dalam pembelajaran Aqidah bagi Imam Al-Ghazali, bukan berarti dilarang sama sekali. Namun yang digunakan bukan argumentasi mutakallim, cukup mengikuti pembuktian yang sederhana dibarengi dengan dalil al-Qur’an. 

  


Baca Juga : Dari Tanggung Jawab Individual Ke Sosial: Makna Wisuda Sarjana UINSA

Berdasarkan pendapat Imam Al-Ghazali di atas, maka guru perlu menyusun bahan ajar Aqidah yang mengikuti konteks dan audiennya. Tidak diperbolehkan bagi guru untuk menggunakan buku-buku yang sulit untuk anak kecil ataupun orang awam. Namun jika anak-anak itu sudah beranjak remaja dan sudah memiliki pengetahuan dasar maka bisa dilakukan pengayaan Aqidah dengan logika-logika sederhana untuk menambah keimanan anak.

  

Konten Buku Ajar Aqidah Islam

  

Penyusunan buku ajar Aqidah menjadi penting karena melalui buku ajar ini guru akan mengajarkan materinya. Namun yang perlu dicermati adalah bagaimana penyusunan konten bahan ajar agar dapat menjadi guide guru dalam menumbuhkan nalar kritis siswa. Maka hal-hal berikut penting untuk diperhatikan dalam menyusun bahan ajar:

  

1. Buku ajar perlu dimulai dengan pertanyaan pembuka terkait konten bacaan. Pertanyaan awal ini penting untuk memberikan gambaran umum bagi siswa tentang isi dari materi,

2. Dari segi layout buku ajar perlu didisain lebih menarik, jika perlu ditambah gambar-gambar yang menarik siswa untuk membaca,

3. Konten materi Aqidah perlu disusun dengan memaparkan argumentasi yang menguatkan Aqidah Islam dengan tema apapun. Tujuan dari penyusunan konten ini untuk menumbuhkan kemampuan berfikir kritis siswa, sehingga perlu lebih ditekankan pada argumentasi logis yang ada dalam konten tersebut. Misalkan ketika menuliskan bahwa Allah itu esa atau konsep ketauhidan, maka perlu dijelaskan mengapa Allah harus esa? Dan apa yang terjadi jika Allah tidak esa? Dsbg.

4. Adanya pertanyaan-pertanyaan atau instruksi-intruksi tertentu yang mendorong siswa untuk mampu mengingat, memahami dan menjelaskan apa yang terkandung di dalam teks.

  

Strategi REAP untuk Meningkatkan Nalar Kritis

  

Untuk memunculkan critical thingking skill implementasi strategi REAP yang dirumuskan oleh Anthony Manzo sangat cocok digunakan dalam pembelajaran. Strategi ini dibagi kedalam 4 tahapan: Pertama, reading atau membaca teks untuk mengetahui pesan-pesan inti dari teks. Kedua, encoding atau teks yang sudah dibaca ditulis ulang menggunakan bahasanya sendiri. Ketiga, annotating atau memberi keterangan teks yang sudah ditulis dan mengaitkannya dengan sumber lainnya, atau dengan sudut pandang lainnya. Keempat, pondering atau mendiskusikan teks yang sudah dianalisa kepada orang lain dan meminta respon mereka, kemudian membaca respon tersebut. Berdasarkan 4 tahapan ini, guru akan mengembangkan kemampuan berfikir siswa dari proses berfikir pasif menjadi proses berfikir aktif.

  

Menurut Manzo bahwa tujuan dari REAP adalah untuk menciptakan pola pikir dari perspektif yang berbeda. Siswa seringkali tidak membaca teks dengan kritis. Dengan menggunakan REAP membuat mereka untuk kembali memeriksa informasi dan fakta-fakta yang ada dalam tulisan sebelum ia melangkah terlalu jauh yang mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman. Kemudian siswa diharuskan menulis sebagai respons dari membaca, hal ini menanamkan kepekaan yang lebih besar pada mereka, khususnya ketika mereka mendiskusikan pemikiran mereka dengan orang lain. Dengan adanya respons terhadap teks hal ini sangat kondusif untuk menciptakan pembelajaran yang lebih aktif. Dilihat dari strategi REAP ini maka penulisan buku ajar Aqidah harus mampu memaparkan argumentasi dari Aqidah yang diyakini, dan menyesuaikannya dengan tahap perkembangan kognisif siswa.

  

Pemikiran kritis ditumbuhkan khususnya pada tahap annotating dan pondering. Di tahap annotating siswa mengomentari teks tersebut dengan menguji berbagai argumentasi yang ada dalam teks dan memikirkan apakah yang ditulis itu masuk akal atau tidak. Untuk mengatakan masuk akal mereka dituntut untuk membandingkan dari teks yang dibaca dengan teks-teks lain, sehingga memacunya untuk menganalisa ide pokok teks sehingga mahasiswa akan terbuka terhadap berbagai spektrum pemikiran. Teks-teks lain dapat diambil melalui media internet atau buku-buku lain yang mendukung. Jika dikaitkan dengan pembelajaran Aqidah pada tahap ini guru perlu memberikan teks-teks yang bertentangan dengan keyakinan Aqidah yang diajarkan, mendampingi siswa untuk bagaimana menemukan argumentasi yang tepat dalam menolak pendapat yang bertentangan. Misalkan jika tema yang diajarkan adalah tentang kebangkitan di hari akhir maka guru perlu memperkaya siswa dengan teks-teks yang menolak konsep kebangkitan dan perhitungan amal baik.

  

Di tahap pondering siswa mendiskusikan hasil pembahasannya dengan orang lain agar ia mampu meluaskan lebih jauh lagi cara pandangnya dan pemikirannya. Selain itu tahap ini juga berfungsi untuk memfalsifikasi pendapat yang sudah diyakininya setelah melakukan penelusuran melalui berbagai sumber, apakah argumentasi dari pendapat yang mereka yakini mampu dipertahankan ataukah tidak? Dengan demikian, siswa mampu mempertimbangkan lebih jauh kekuatan dari argumentasi dan pendapatnya.

  

Epilog: Wasatiyah Islam Butuh Nalar Kritis?

  

Memulai epilog ini penulis ingin bertanya, bagaimanakah seseorang dapat menjadi radikal? Ali Imron seorang mantan teroris diwawancarai oleh Rosi menyampaikan bahwa butuh waktu dua jam saja baginya untuk menjadikan seseorang teroris. Caranya dengan mengiming-imingi orang dengan konsep jihad dan balasannya di surga. Biasanya yang dijadikan teroris adalah orang yang sudah memiliki pengetahuan tentang jihad, kemudian dikaburkan pemikirannya sehingga jihad disamakan terorisme. Dari fakta yang disampaikan oleh Ali Imron, dapat dilihat bahwa orang menjadi radikal karena memiliki pengetahuan yang dangkal tentang konsep jihad serta tidak memiliki kemampuan berfikir kritis sehingga seseorang mudah sekali menjadi radikal.

  

Oleh karenanya pembelajaran Agama Islam baik dari segi Aqidah, Fiqh, dan Akhlak perlu mengembangkan kemampuan berfikir kritis sehingga menjadi tameng bagi siswa di masa depan dari radikalisme dan ideologi-ideologi lain yang berbahaya di luar Islam. Jika seseorang memiliki nalar kritis, ketika ada orang yang mengajaknya pada jihad bom bunuh diri, ia akan mampu mempertanyakan hal tersebut sehingga ia tidak sampai terjerumus dalam lubang terorisme. Atau ketika ada orang yang mengajaknya untuk menjadi Atheis dengan berbagai argumentasinya, ia sudah memiliki senjata argumentatif untuk menolak berbagai pendapat kelompok Atheis. Sehingga seseorang muslim dapat menjadi muslim yang sesungguhnya tanpa terperangkap dalam ekstrimisme baik ekstrim kanan maupun kiri, atau dengan kata lain ia dapat menegakkan Islam Wasatiyah di muka bumi ini.