(Sumber : Balairung Press)

Kala Agama Dikaitkan dengan Korupsi

Opini

Sebagai orang yang memiliki seperangkat pemahaman dan pengamalan beragama, tentu saja dapat dirasakan betapa palu godam telah menghantam  jantung keberagamaan, yang selama ini menjadi pedoman berperilaku di dalam kehidupan. Bagi banyak orang,  agama merupakan pedoman dalam berhubungan dengan Tuhan, dengan manusia dan bahkan alam. 

  

Masyarakat Islam mempercayai keberadaan Tuhan meskipun Tuhan itu sebagai ghaibul ghuyub atau Yang Maha Gaib, dan Masyarakat Islam  juga melakukan ritual yang saya yakini kebenarannya dan saya juga melakukan relasi dengan sesama manusia dan bahkan alam sesuai dengan perintah ajaran agama. Tentu belum seluruh ajaran agama bisa  diamalkan. Belum secara optimal menjalankan Islam secara kaffah, menyeluruh atau sempurna. 

  

Bagi umat beragama,  agama itu something ultimate. Sesuatu yang tak terbatas, tak dapat dimaknai dengan akal semata, dan tidak dapat dipahami dengan rasa semata. Agama lebih dari itu, harus dipahami dengan seluruh kecerdasan yang dimiliki oleh manusia.  Akal yang selama ini  dianggap cenderung menolak kebenaran yang bersifat teologis dan bahkan metafisik, juga harus mengakui kehadiran Tuhan yang gaibul ghuyub. Juga dipastikan bahwa kecerdasan emosional dan social serta kecerdasan spiritual juga mengakui keberadaannya. 

  

Kegalauan itu  tentu terkait dengan adanya  survey yang sangat  menarik untuk dicermati. Survey tersebut mengangkat isu tentang negara-negara yang tingkat keberagamaannya sangat tinggi tetapi angka korupsinya juga tinggi. Sementara itu ada negara-negara yang tingkat keberagamaan masyarakatnya rendah justru menjadi negara yang bersih dari korupsi. Indonesia termasuk salah satu negara dari sebanyak 111 negara yang diamati.

  

Survey documenter yang dilakukan oleh Denny JA ini menggunakan metode penelitian kuantitatif yang canggih. Dengan menggunakan rumus statistic,   maka kesimpulannya sangat diyakini secara ilmiah benar, sebagai scientific truth. Oleh karena itu kesimpulannya menjadi semacam acuan akan kebenaran ilmiah yang dihasilkannya. Bagi para ahli ilmu social, tentu sudah sangat mengenal penggunaan rumus yang dipakai untuk menganalisis data terkait dengan variable korupsi dan variable agama. Tetapi secara sadar dinyatakan bahwa hubungan antara agama dan korupsi bukan relasi kausalitas, akan tetapi sekedar relasi saja. 

   

Penganalisisnya menyadari bahwa relasi antara agama dan korupsi tidak sebagaimana teori Weber tentang afinitas elektif. Yaitu agama memiliki relasi dengan ekonomi atau agama mendorong tumbuhnya semangat kapitalisme, melalui konsekuensi logis dan dorongan psikhologis. Di dalam ajaran agama terdapat teks yang berisi calling atau ajakan agar umatnya bekerja keras. Memang harus disadari  bahwa tidak ada ajaran agama sedikitpun yang memberikan peluang bagi penafsiran atas kebenaran tindakan koruptif. Jadi tidak ada kaitan antara teks ajaran agama dengan tindakan koruptif. Lalu bagaimana menjelaskan ada relasi antara keyakinan beragama dengan tindakan koruptif. Berdasarkan survey atas 111 negara yang dinyatakan sebagai negara yang paling religious, ternyata seluruhnya adalah negara dengan tata Kelola yang diwarnai dengan korupsi. Lalu disimpulkan bahwa semakin tinggi keyakinan beragama dalam suatu negara, maka semakin tinggi tindakan koruptif, dan semakin rendah keyakinan beragama semakin rendah korupsi. Seharusnya, semakin tinggi keberagamaan semakin rendah korupsi dan semakin rendah keberagamaan akan semakin tinggi korupsi. 

  

Inilah paradoks kala relasi penghargaan atas agama dikaitkan dengan korupsi. Tentu harus dibedakan antara agama sebagai pedoman atau pattern for behaviour dengan perilaku keberagamaan atau pattern of behaviour. Ada banyak orang yang memiliki pengetahuan beragama tetapi berhenti pada pemahaman saja dan tidak berimplikasi atas perilaku keberagamaannya. Ada kesenjangan antara pemahaman dan prilaku keberagamaannya. Seseorang bisa saja mengetahui ajaran tentang shalat tetapi tidak melakukan shalat. Bisa juga dinyatakan agama sebagai pengetahuan saja. 

  

Agama juga menjadi pengetahuan dan pengamalan, tetapi sejauh ritual-ritualnya, misalnya berdoa, melakukan ritual yang diwajibkan dan bahkan dianjurkan kepada orang lain, akan tetapi apa yang dipahami, dilakukan dan dianjurkan tersebut hanya sebatas ajaran formalnya tidak menyentuh dimensi substansi ajaran agama yang penuh dengan akhlak, atau moral dan etika. Agama kehilangan substansinya.

  

Pada waktu dirilis hasil penelitian tersebut, saya membacanya dari WAG Sahabat Harmoni, yang di dalamnya terdapat banyak mantan rector PTKIN dan juga Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama 2014-2019, sehingga terjadi pembahasan yang mendalam meskipun dalam ungkapan yang singkat. Saya kemudian memberikan respon atas data tersebut sebagai berikut: 

  

“Jangan dibaca tanpa kehati-hatian. Kesimpulannya memang dari hasil kajian statistik yang konon memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang terjaga tetapi jangan dilupakan mesti harus dilihat ada yang luput dari studi-studi seperti ini, yaitu siapa yang mempercayai Tuhan dan siapa yang melakukan korupsi. Yang mempercayai Tuhan itu bersifat komunal dan yang melakukan korupsi itu individual. Yang melakukan korupsi tidaklah merupakan representasi dari orang-orang yang menjadikan agama sebagai pegangan hidup. Menurut saya ini ada korelasi yang bercorak simetris. Korupsi berjalan sendiri dan keyakinan terhadap Tuhan itu variabel sendiri. Jadi tidak bisa dikorelasikan. Relasinya bukan asimetris yang memungkinkan keduanya bertemu. Variabel simetris itu seperti rel kereta api yang tidak bisa ketemu. Di dalam penelitian disebut dengan pseudo korelasional. Seakan-akan berkorelasi padahal tidak. Jadi, kenapa negara-negara dengan masyarakatnya yang berkeberagamaan tinggi justru terjadi korupsi,  hal itu  tidak bisa dikorelasikan dengan tindakan korupsi yang dilakukan oleh individu-individu yang melakukannya.\" (29/03/2024)

  

Selanjutnya juga saya sampaikan: “agama itu isinya adalah believe, ritual dan ekspresi. ada orang yang dimensi believenya bagus dan bahkan ritualnya bagus dan ekpresi keduanya baik, tetapi ada gap antara believe, ritual dan ekpresi keberagamannya., yaitu minus substansi agamanya.  Makanya konsep kesalehan ritual dan kesalehan sosial itu penting. Bisa jadi orang Swedia kesalehan sosialnya baik karena internalisasi humanisme yang sudah mendarah daging. Sementara itu, ada orang yang dimensi believe dan ritualnya baik, tetapi nir humanisme yang sesungguhnya juga inti atau substansi agama. Jadi  ada seseorang yang dimensi keyakinan dan ritualnya,  baik tetapi kehilangan makna humanismenya. Jadi sesungguhnya mereka beragama dalam kadar formalisme beragama dan bukan substansi beragama.”  

  

Akan tetapi hasil analisis ini dapat menjadi perhatian kaum agamawan, sebagai pesan yang saya sampaikan kepada Pak LHS sebagai berikut: “benar Pak. ini sebagai instrumen untuk introspeksi bagi para dosen, guru dan para pemerhati keberagamaan, bahwa pendidikan agama kita ini ada yang kurang tepat, karena lebih mengajarkan formalisme agama bukan substansi agama, misalnya prinsip humanisme yang berbasis pada keadilan, persamaan, anti kekerasan, anti tindakan menyimpang dan sebagainya. Pendidikan formalisme beragama bisa dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, tetapi institusi pendidikan harus mengelola nilai substansial agama.” 

  

Wallahu a’lam bi al shawab.