(Sumber : Klikwarta)

Abu Fida: Dari Teroris ke Moderasi Beragama

Opini

Nama Abu Fida tentu sangat dikenal oleh banyak orang terkait dengan tindakannya sebagai bagian dari teroris di masa lalu. Nama ini dikaitkan dengan sejumlah kaum teroris, misalnya Noordin M. Top dan juga Dr. Azahari. Bahkan Abu Fida ditangkap oleh Densus 88 Anti terror karena keterlibatannya dalam menyembunyikan Noordin M. Top pada waktu yang bersangkutan dalam pengejaran Densus 88 Anti terror. 

  

Pengalaman Abu Fida dalam jejaring kaum Teroris tentu tidak diragukan. Pernah menjadi santrinya Syekh Mohammad Azam, ideologi Islam ekstrim, dan juga Usamah bin Ladin pemimpin tertinggi Al Qaeda. Abu Fida telah tuntas membaca karya-karya Mohammad Azam, dan suatu kesempatan Abu Fida pernah menyatakan: “jika ada orang yang membaca bukunya Syekh Mohammad Azam lalu tidak tertarik dengan pemikirannya itu berarti orang hebat”. 

  

Semenjak berkenalan dalam salah satu acara bedah buku karya, Islah Bahrawi, maka pertemanan saya dengan Abu Fida makin dekat. Beberapa kali saya hadirkan dalam zoominar yang menjadikan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya sebagai sasarannya, dan kemudian juga memberikan rekomendasi di kala Abu Fida berkeinginan menjadi mahasiswa Program Doktor Islamic Studies pada UIN Sunan Ampel, dan terakhir 23 Desember 2022, saya undang Abu Fida untuk menjadi narasumber bersama saya dan Dr. Imron Rosyadi untuk memberikan pencerahan khususnya kepada mahasiswa Strata1 pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Tanpa saya duga bahwa yang hadir di dalam zoominar tersebut juga dari mahasiswa Strata2 dan strata3 serta masyarakat umum. 

  

Selain menceritakan pengalamannya tentang permulaan keterpaparannya sewaktu sekolah di Gontor, karena membaca buku-buku Islam ekstrim, juga pengalamannya di Ngruki dengan sesama kawan yang pernah terpapar dan masih terpapar dengan NII/TII dan juga kekagumannya pada Abdullah Sungkar pendiri Majelis Mujahidin Indonesia dan Ust. Abu Bakar Ba’asyir, maka keterpaparannya semakin mendalam. Makanya pasca pengabdiannya di Ngruki, maka Abu Fida sempat kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel meskipun hanya dijalani selama setahun. 

  

Syria menjadi tempat belajar terorisme semakin mendalam. Di sana banyak kawan dari Palestina, Mesir dan Pakistan. Setelah belajar di beberapa Lembaga Pendidikan, maka dia melanjutkan perjalanannya di Pakistan. Dunia terorisme semakin merasuki pikiran dan jiwanya. Berkah nyantri kepada Ideolog Islam garis keras dan pimpinan tertinggi Al Qaeda, maka sepenuhnya Abu Fida menjadi bagian dari kaum teroris global. Sampai pada suatu kesempatan dia mendapatkan surat dari orang tuanya yang dibawa oleh kawan-kawannya dari Palestina yang isinya orang tuanya memintanya untuk belajar ke Arab Saudi. Melalui shalat istikhoroh, maka Abu Fida akhirnya memilih kuliah di Ummul Qura. Selama 4 tahun belajar dan mendapatkan gelar Lc. 

  

Ketertarikannya dengan gerakan radikal tidak surut, sampai akhirnya terlibat di dalam deklarasi ISIS di Solo dan akhirnya ditangkap lagi oleh Densus 88 Anti teror dan dihukum selama 4 tahun.  Pada waktu dihukum itulah terjadi titik balik. Abu Fida membaca buku karya Dr. Fadhl Abdul Qadir Abdul Aziz dengan judul “Washiqatut Tarsyid”, seorang mentor Al Qaeda dan Buku “Pandangan 45 Ulama Internasional  Terhadap ISIS”. Dalam 2 tahun di LP Magelang inilah Abu Fida merenungi kehidupannya dan kemudian insaf untuk tidak lagi menjadi bagian dari kaum teroris. Tantangannya, Abu Fida dikucilkan oleh sesama kawannya di dalam penjara. Dinyatakannya sebagai kafir dan bahkan tidak lagi mau bersalaman dan tegur sapa. Berdasarkan pengalamannya bahwa orang ahli saintis itu mudah terpapar tetapi juga mudah keluar, tetapi orang ilmu social itu sulit terpapar dan ketika terpapar sulit keluar. 

  

Abu Fida telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Cobalah cek bagaimana paparannya di kala menjadi narasumber pada acara zoominar di NSC, beliau menyatakan bahwa penyebab orang menjadi teroris adalah: tidak menginginkan perubahan. Dianggapnya bahwa dunia selalu seperti masa lalu, juga adanya kerinduan masa lalu disertasi dengan keterikatan kuat pada tradisi yang diwarisi dan diterima apa adanya, serta bersikap tertutup, tidak toleran, menganut madzab kekerasan dan perlawanan. 

  

Radikalisme dimaknai sebagai ideologi (ide atau gagasan) dan paham ingin melakukan perubahan pada system social dan politik secara drastis dan menggunakan cara kekerasan. Terdapat sikap intoleran, anti-Pancasila, anti-NKRI dan anti-kebinekaan. Sedangkan terorisme dimaknainya  sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan (UU No 5 tahun 2018).

  

Moderasi beragama itu adalah sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstriman dalam praktik beragama. Istilah ini merujuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk  selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa Indonesia.

  

Menelisik atas pandangan Abu Fida ini maka ada satu hal yang menurut saya sangat menggembirakan bahwa ternyata orang dengan penganut paham terorismepun bisa berubah. Asalkan yang bersangkutan mau dan ingin berubah di dalam kehidupannya. Abu Fida yang pernah menjadi bagian dari terorisme global pun akhirnya menyadari kekeliruannya dengan terperosok pada jejaring terorisme. Pandangan Abu Fida tentang meoderasi beragama sebagai dipaparkan pada zoominar di NSC memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa perubahan itu bisa terjadi, syaratnya adalah ajaklah mereka yang terpapar itu untuk berkomunikasi dan bermujadalah dengan akal sehat dan hati Nurani agar mereka yang terpapar dapat Kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

  

Pesan Abu Fida yang tidak kalah penting adalah untuk menjaga Indonesia, maka al-Qur’an sudah menjelaskan agar menggunakan konsep ta’awun. Yaitu konsep saling menolong dengan kebaikan dan taqwa dan bukan dengan saling menolong dalam dosa dan kejahatan. Terorisme tentu bukan kebaikan dan tidak ada kebaikannya bagi siapapun. Maka sekali lagi jangan gunakan terorisme untuk menyelesaikan masalah bangsa.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.