(Sumber : Kompasiana.com)

Ada yang Akhirnya Sadar Kembali ke NKRI

Opini

Saya senang membaca postingan berita dari AKBP Dofir, Kanit Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme pada Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti teror tentang kembalinya ratusan orang yang selama ini terpapar oleh virus radikalisme, terutama Jamaah Islam (JI) dan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) untuk menjadi bagian dari warga negara Indonesia melalui baiat kesetiaan kepada negara dan bangsa. 

  

Tentu tidak hanya saya yang bergembira, akan tetapi juga bagi masyarakat Indonesia merasa senang membaca berita yang menyatakan bahwa ada sebanyak 107 orang eks jaringan Jamaah Islam (JI) dan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) mengucapkan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Banten,  sebagaimana dilansir oleh Antara Banten,  Rabu, 15/11/2023. 

  

Menurut Direktur Pencegahan Detasemen Khusus  (Densus) 88 Anti teror Polri Brigjen Pol. Tubagus Ami Prindani di Kota Serang Banten, dinyatakannya bahwa hal tersebut merupakan  salah satu upaya menyelesaikan pemidanaan tanpa penegakan hukum. Lebih lanjut dinyatakan bahwa “ada di antara mereka yang hanya ikut-ikutan, terpaksa atau tidak tahu.”

  

Detasemen Khusus Anti teror memang selama ini dikenal sebagai detasemen yang secara khusus berfungsi untuk menangkap  atas orang yang terkena virus radikalisme. Densus 88 Anti teror dikenal sebagai suatu lembaga pemerintah yang tugasnya adalah menangkap para pelaku radikalisme dan  ekstrimisme atau terorisme. Melalui seperangkat otoritasnya tersebut, maka Densus 88 Anti teror bisa melacak dan menemukan jaringan yang dikenal sebagai kaum radikal dan teroris. Pengintaian dan pelacakan dilakukan dengan sangat rapi dan terukur, sehingga ketepatan atas sasaran tersebut sangat jelas. 

  

Namun demikian Densus 88 Anti teror juga tidak sepi dari stereotipe yang dianggap sebagai salah sasaran, salah deteksi dan salah penangkapan. Ada orang yang terpapar radikalisme yang dinyatakan sebagai orang baik oleh masyarakat sekitar. Perilakunya tidak menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah terpapar ideologi radikal. Berdasarkan review atas penelitian tentang perubahan prilaku kaum radikalis dan teroris di Surabaya dan Sidoarjo yang dilakukan oleh Mevy Eka Nurhalizah (nursyamcentre.com 15/09/2023), bahwa terdapat perubahan mendasar dari prilaku keluarga kaum teroris, yaitu tidak lagi eksklusif. Mereka bergaul dengan masyarakat sebagaimana warga lainnya, bahkan misalnya ada yang pernah menjadi anggota PKK dan jamaah masjid di wilayahnya. Termasuk juga out word expression yang ditampilkannya juga tidak mengindikasikan sebagai kelompok teroris. Ternyata mereka adalah keluarga teroris yang melakukan peledakan atas gereja dan Rusun di Surabaya. 

  

Mereka eks radikalis ini memang sudah berbaiat untuk kembali ke NKRI. Artinya, mereka mengalami proses penyadaran secara internal. Mereka telah melakukan pilihan secara benar untuk kembali ke pangkuan NKRI. Mereka secara hukum administrasi telah kembali menjadi warga negara Indonesia dengan hak dan kewajiban yang melekat pada warga negara Indonesia pada umumnya. 

  

Saya tentu sangat apresiatif atas kembalinya ratusan kaum radikalis yang mengusung ideologi dalam JI dan JAD. Dan semua ini tentu merupakan hasil dari upaya Densus 88 Anti teror yang telah mengubah strateginya tidak harus dengan hard power tetapi juga dengan soft power. Selama ini labeling atas Densus 88 Anti teror sebagai pasukan yang mengedepankan atas kekuatan senjata dalam penangkapan jaringan teroris, akan tetapi seirama dengan perubahan strategi yang mengedepankan soft power, maka akhirnya terdapat sejumlah orang yang sadar dan melakukan baiat kesetiaan kepada bangsa dan negara.

  

Namun demikian, yang menjadi problem adalah untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana nasib diri dan keluarganya di dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan penuturan Hendro Fernando (eks Napiter), bahwa mereka yang terindikasi virus radikalisme tersebut memperoleh insentif biaya kehidupan, terutama yang tertangkap Densus 88 Anti teror. Makanya, yang menjadi pertanyaan mendasar, yaitu apakah mereka sudah siap secara ekonomis untuk menghadapi kehidupan yang berat. Bagaimanakah mereka menghidupi keluarganya, pendidikan anaknya dan masa depannya?

  

Bisa jadi mereka yang telah berbaiat juga akan kembali mendapatkan tawaran insentif biaya kehidupan selama yang bersangkutan mau kembali ke jaringan radikalisme. Berdasarkan pengakuan Hendro Fernando,  yang kini menjadi tim Densus 88 Anti teror untuk menyadarkan Napiter yang masih terpidana di Lapas dan belum mau kembali ke NKRI. Sesuai pengakuannya, bahwa ada di antara yang semula sudah berbaiat menjadi warga negara Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai dasar Yuridis dan NKRI sebagai bentuk negara, akhirnya harus kembali masuk ke dalam jaringan karena persoalan ekonomi keluarga. (nursyamcentre.com, 06/11/2023). 

  

Oleh karena itu, dirasakan pentingnya untuk memikirkan aspek ekonomi para mantan JI dan JAD ini agar mereka memiliki kesiapan dalam menghadapi tekanan ekonomi yang tidak mudah. Tentu harus ada skema bukan dalam bentuk pemberian donasi akan tetapi memberikan peluang usaha yang potensial untuk dikembangkannya. 

  

Dirasakan perlunya kehadiran  negara dalam menghadapi problem atas mereka yang sudah kembali kepada NKRI tersebut agar mereka tidak lagi terjerat pada jaringan radikalisme yang terus bergentayangan di negeri ini.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.