(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Agama dan Politik Kekuasaan: Pak Jokowi dan Doa Politik

Opini

Beredar di media sosial tentang doa yang dilantunkan di sekitar ka’bah di Makkah al Mukarramah,  bukan doa untuk kepentingan diri sendiri akan tetapi doa untuk kepentingan kelompok atau sejauh-jauhnya komunitas. Doa itu adalah agar Pak Jokowi, Presiden Republik Indonesia, agar segara turun dari jabatannya. Sebuah lantunan doa yang selalu disuarakan kepada Tuhan atas lawan politik Pak Jokowi sebagai presiden. Doa seperti ini sangat lazim dilantunkan oleh para politisi atau kaum ideolog yang menginginkan agar siapa yang memegang tampuk kepemimpinan nasional segera lengser. (jateng.suara.com.,  22/4/2022). 

    

Doa seperti ini  dilantukan pada maqam-maqam mustajabah terutama di sekitar Ka’bah oleh sekelompok orang yang “geram” terhadap kepemimpinan politik dalam suatu negara, dan biasanya juga melibatkan jamaah yang senafas dan seperjuangan dengan yang memimpin doa dimaksud atau inisiator doa tersebut. Dunia politik apalagi politik kekuasaan itu memang unik, dan terkadang juga mengatasnamakan Tuhan untuk membenarkan tindakannya. Alih-alih doa untuk keselamatan bangsa atau negara dan keselamatan kepemimpinan nasional, akan tetapi yang dimohonkan kepada Tuhan adalah kebalikannya agar pemimpin negara segera turun dan ada penggantinya.

  

Berita semacam ini tentu bergayung sambut dengan unggahan di media sosial tentang persepsi “kegagalan” Pak Jokowi dalam memimpin bangsa ini. Jika  sedikit saja dilakukan pelacakan atas  akun-akun media sosial maka dengan sangat mudah diidentifikasi tentang siapa sesungguhnya yang berada dibalik tindakan doa untuk penurunan presiden. Melalui postingan di media sosial, maka bisa diketahui unggahan yang “menghujat” presiden karena dianggap telah gagal dalam memajukan bangsa. Ada banyak tulisan tentang hutang luar negeri yang semakin menumpuk, kedekatan kepada China dalam kebijakan luar negeri, sampai kekhawatiran negeri ini akan dikuasai oleh China di masa mendatang. Bahkan juga diungkapkan tentang lahan tanah di sekitar Ibu kota Nusantara (IKN) yang sudah dikuasai oleh para konglomerat China, dan sebagainya.

  

Agama dalam sejarahnya memang sering dijadikan sebagai basis untuk melakukan tindakan melawan kekuasaan. Berdasarkan sejarah Nusantara bisa diketahui misalnya perlawanan Pangeran Diponegoro, Peperangan Aceh, Peperangan Paderi, dan pemberontakan Petani Banten 1888 serta Perlawanan Arek-Arek Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Perang yang dilakukan oleh masyarakat pribumi ini untuk menandai tentang bagaimana masyarakat harus melawan terhadap  kekuasaan pemerintah Belanda yang telah melakukan penguasaan terhadap masyarakat Nusantara. 

   

Semua peperangan yang dilakukan tersebut menjadikan agama sebagai basis untuk memperkuat mental masyarakat bahwa yang dilakukannya adalah perintah agama dan dipastikan sebagai “jihad fi sabilillah” atau “berperang di jalan Allah”. Hal ini dilakukan juga oleh Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari kala mendeklarasikan “Resolusi Jihad”, pada tanggal 22 Oktober 1945 dengan kewajiban untuk “berperang” kepada Sekutu yang ingin kembali menguasai Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa tanggal 22 Oktober kemudian diperingati sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Memang agama sangat potensial untuk basis perlawanan sebab di dalam agama terdapat konsep perang sebagaimana makna jihad jika memang perang sangat diperlukan terutama melawan terhadap musuh yang nyata. Makanya beberapa peperangan di Nusantara dapat dijadikan sebagai bukti empiris penggunaan penafsiran agama di dalam peperangan. Jadi, memang sangat erat hubungan antara agama dengan politik kekuasaan. 

  

Menyimak akhir-akhir ini, terutama kasus di Indonesia, maka juga didapati bagaimana produksi penafsiran terhadap teks suci yang dijadikan sebagai pembenar atas tindakan politik kekuasaan. Hiruk pikuk politik kekuasaan sudah menggema di berbagai kalangan terutama yang selama ini memang bergelimang dengan urusan kekuasaan ke kekuasaan. Memang masih kurang dua tahun untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, namun pembicaraan tentang perpolitikan sudah menghangat. 

  

Menurut konsepsi John D. McCarthy dan Mayer N. Zalt, dalam "The Enduring Vitality of Resources Mobilization Theory of Social Movement", bahwa partisipasi para pelaku dalam gerakan tidak bisa diprediksi dalam level waktu, energi dan uang. Lalu, para partisipan dalam gerakan sosial merupakan kelompok yang berperilaku irasional dan psikhologis pada level individu. Kemudian, gerakan sosial ini bisa menjadi lebih besar bila mendapat dukungan dari berbagai pihak  di mana  terdapat situasi yang menguntungkan dan didukung oleh institusi sosial termasuk agama. Gerakan sosial juga bisa meluas jika terdapat interaksi antara gerakan dan otoritas, yang menghadirkan semakin besar otoritas yang didapatkan oleh gerakan dimaksud.

  

Berbasis pada teori ini, maka dapat dinyatakan bahwa gerakan-gerakan untuk mendegradasi kepemimpinan nasional juga tidak akan meluas selama tidak mendapatkan dukungan massif dari berbagai institusi formal maupun non formal. Mengaca pada kejatuhan Pak Harto, 1998, maka gerakan sosial seperti itu hanya akan terjadi secara lebih massive jika memang terdapat partisipan yang memiliki kesamaan psikologis dan perasaan tertekan yang lebih besar. Realitas ini tidak terdapat pada era sekarang. Jadi, rasanya pemerintahan ini akan terus berlangsung sampai saat terjadinya pemerintahan baru, sebagaimana telah diatur di dalam regulasi tentang penyelenggaraan negara.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.