(Sumber : Kompasiana.com)

Antara Moralitas dan Profanitas Pesantren

Opini

Pesantren merupakan realitas sosial yang keberadaannya juga harus dilihat sebagai realitas sosial. Meskipun pesantren tersebut merupakan institusi sosial yang mengusung moralitas keberagamaan, akan tetapi tetaplah pesantren harus dilihat sebagai realitas sosial yang di dalamnya terdapat dunia profanitas yang selalu mengandung bias kemanusiaan. Semua institusi sosial di dunia ini tetaplah sebagai institusi yang tidak berada di langit suci murni dengan segala keagungannya.

  

Setiap institusi sosial dipastikan terdapat tiga aspek mendasar, yaitu norma sosial yang bersumber dari moralitas keagamaan atau moralitas sosial lainnya, pemimpin institusi yang berbasis pada pandangan moral yang dianutnya, dan masyarakat yang terlibat di dalamnya, apakah sebagai stakeholder atau penggunanya. Pesantren sebagai realitas sosial juga tidak terlepas dari kenyataan sebagaimana di atas. Ada norma agama di dalamnya yang menjadi pedoman, ada pemimpin dalam lingkungan pesantren, dan juga masyarakat sebagai penggunanya. 

  

Dengan menggunakan konsepsi Geertz, maka pesantren tentu memiliki pedoman atau aturan atau norma yang sudah lazim berada di dalam dunia pesantren atau pattern for behavior, dan di sisi lain juga terdapat kenyataan sosial yang dipraktekkan atau dilakukan oleh masyarakat pesantren atau pattern of behavior. Di sinilah problemnya, sebab terkadang bisa saja terjadi ada kesenjangan antara pola bagi tindakan dan pola dari tindakan. Tidak selalu terdapat keselarasan  antara norma yang dijadikan sebagai pedoman dengan realitas sosial yang dilakukan. Hal inilah yang sekarang sedang terjadi di beberapa pesantren dengan tindakan kekerasan seksualitas yang salah atau kekerasan seksual yang dilakukan oleh beberapa oknum dengan melakukan tindakan seksual yang memaksa pada santriwati di dalam pesantren.

  

Di dalam pekan-pekan terakhir terdapat pemberitaan di media sosial, media cetak dan media elektronik tentang beberapa tindakan kekerasan seksual dari dzurriyah kiai yang memegang tampuk kepemimpinan di pesantren. Yang sangat menghebohkan adalah kala putra Kiai Mukhtar Mu’thi, pengasuh Pondok Pesantren Shiddiqiyah dan mursyid tarekat Shiddiqiyah, yaitu Moch. Subchi Azal Tsani digerebek oleh polisi (Tribunnews, 07/07/2022). Bahkan beberapa stasiun televisi melakukan pemberitaan yang luar biasa terkait dengan penangkapan atas pelaku kekerasan seksual di pesantren. Kemudian juga disusul di pesantren di Banyuwangi, dan beberapa saat yang lalu juga pensantren di Jawa Barat. 

  

Penangkapan atas pelaku kekerasan sosial tersebut begitu dramatis, karena melibatkan sejumlah ratusan  polisi dengan persenjataan lengkap dengan melakukan penggerebegan  atas pesantren yang diduga menyembunyikan pelaku kekerasan. Peristiwa ini benar-benar mendapat pemberitaan yang luar biasa dari semua televisi dan juga media sosial. Baik pemberitaan berdasar laporan on the spot, maupun rekaman dan juga tagline di media televisi. 

  

Tak urung peristiwa ini juga memantik diskusi teologis. Di antara diskusi tersebut terkait dengan posisi tarekat Shiddiqiyah yang dianggap oleh ulama-ulama tarekat lain  sebagai tarekat yang ghoiru mu’tabaroh. Organisasi tarekat, Jam’iyah Ahlu Thoriqoh Mu’tabaroh Nahdhiyah (JATMAN) menganggap bahwa tarekat Shiddiqiyah adalah tarekat yang tidak sah karena terdapat  keterputusan sanad dari mursyid tarekatnya. Peristiwa ini dianggap sebagai “teguran” Tuhan atas keberadaan tarekat yang dianggapnya menyimpang tersebut. Memang pada tahun 1960-an keberadaan JATMAN merupakan gerakan ortodoksi tarekat, sebab pada masa tersebut terdapat banyak tarekat yang keabsahan tarekatnya dipertanyakan dan salah satu kuncinya adalah tentang ketersambungan sanad kemursyidan dan ajaran tarekat yang dilakukannya. Namun demikian, secara empiris bahwa tarekat Shiddiqiyah menjadi sebuah gerakan ketarekatan yang telah “menyejarah” di Indonesia dan bahkan telah memiliki beberapa cabang di luar negeri, misalnya Singapura, Malaysia dan bahkan beberapa negara di Eropa dan Amerika. Tarekat ini telah berkembang dengan program pendidikan, amal usaha, dan gerakan bela negara (Abd. Syakur, 2021). 

  

Dengan demikian harus diletakkan pesantren Shiddiqiyah dengan pelaku kejahatan seksual dalam posisi “integrated-partial” atau “menyatu-parsial”. Pelaku kekerasan seksual tentu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan dzurriyah kyai di satu sisi,  tetapi juga harus dibedakan atau parsial dalam keberadaan institusi pendidikan yang lebih luas. Dia harus tetap disebut sebagai individu yang melakukan tindakan kekerasan seksual sehingga posisinya tetap sama di hadapan hukum. Melihat kasusnya kiranya juga sangat pantas memeroleh hukuman maksimal.  Sebagai  bagian dari dunia pesantren,  yang bersangkutan telah merusak citra pesantren secara khusus atau umum yang selama ini menyandang garda depan moralitas di Indonesia.

  

Posisi pesantren harus tetap dilihat sebagai suatu entitas yang telah memberikan sumbangan yang signifikan bagi pengembangan SDM berbasis pendidikan umum atau keagamaan. Jadi, pesantren dalam relasi dengan tindakan kekerasan seksual tersebut tetap harus dipisahkan atau corak relasi yang parsial. Dengan menempatkan posisi pesantren seperti itu, maka keberadaan pesantren tetap sah sebagai lembaga pendidikan. Terkecuali yang melakukan tindakan kekerasan adalah kyainya, maka keberadaan pesantren tersebut pantas untuk dihentikan atau dicabut izinnya.

  

Tindakan cepat untuk mencabut izin tentu merupakan langkah antisipatif agar peristiwa seperti ini tidak terulang, sebagaimana dipahami di mana-mana bisa saja terjadi kesenjangan antara pattern for behavior dan pattern of behavior. Dan pesantren sebagai institusi sosial tentu juga tidak steril dari kekerasan yang dilakukan oleh pemangku pesantren.

   

Adapun bagaimana masa depan pesantren yang mengalami masalah seperti ini tentu sangat tergantung kepada para stakeholdernya. Tentu membutuhkan waktu lama untuk mengembalikan posisi pesantren dimaksud sebagai penyangga moralitas masyarakat, sebab pesantren tersebut sudah dinodai oleh orang dekat kiai.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.