Banjir: Takdir Tuhan dan Peran Manusia (Bagian Kedua)
OpiniBanjir besar di Jakarta dan Bekasi sungguh membuat kita semua prihatin. Tidak hanya skala cakupannya yang luar biasa tetapi juga ketinggiannya. Makanya tingkat kerugian atas banjir Jakarta dan Bekasi tentu sungguh besar. Asset-aset rumah tangga tentu semuanya hancur, sebab nyaris banyak rumah yang tergenang sampai genting. Bisa kita bayangkan betapa mereka harus menanggung penderitaan di dalam kehidupan.
Memang banjir nyaris terjadi di Jakarta dan Bekasi setiap tahun jika curah hujan tinggi di wilayah penyangganya. Terutama wilayah Bogor yang merupakan wilayah dengan topografi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Tetapi yang sungguh dampak terparah berada di Bekasi yang wilayahnya menjadi wilayah terendah dibandingkan wilayah sekitarnya.
Banjir kali ini yang terparah dalam tahun-tahun terakhir. Selain factor musim penghujan juga dipicu oleh terjadinya badai yang terjadi di negara-negara Australia dan kemudian berlanjut di Indonesia. Banjir terbesar tersebut mengundang banyak orang yang mempertanyakan tentang tata kota di daerah hulu, Bogor, yang banyak mengirimkan banjir di Jakarta dan Bekasi. Berdasarkan perkiraan, banjir di kedua tempat merupakan banjir kiriman dengan persentase kira-kira 60%.
Derasnya kiriman air dari wilayah Bogor membuat air meluap dan tidak mampu ditampung oleh sungai-sungai di dalam Bekasi dan Jakarta. Memang harus dipahami bahwa selain terjadi pendangkalan sungai juga terjadi penyempitan sungai-sungai di Jakarta dan Bekasi. Sungai menjadi dangkal karena banyaknya sampah yang menumpuk di sungai-sungai di Jakarta dan Bekasi. Kemudian juga penyempitan sungai akibat pemukiman liar yang dilakukan oleh penghuni bantaran sungai.
Kita menjadi teringat atas kebijakan Ahok pada waktu menjadi Gubernur DKI Jakarta. Di antara programnya adalah upaya melebarkan sungai-sungai yang tergerus oleh ulah manusia yang menggunakannya sebagai perumahan. Seharusnya bantaran sungai tidak boleh didirikan bangunan. Akan tetapi ulah manusia dan keterbatasan lahan perumahan di kota besar, khususnya di Jakarta, maka bantaran sungai dijadikan bangunan rumah permanen. Akibatnya badan sungai menjadi semakin sempit dan akibanya tidak dapat menampung air di kala terjadi kiriman banjir besar dari hulu, khususnya Bogor. Tetapi kebijakan ini ditolak dan dianggap sebagai kebijakan yang tidak popular. Di kala terjadi kiriman banjir dari Bogor yang besar sebagai akibat pembangunan wilayah hutan untuk perumahan, hotel, wisata dan sebagainya, maka terjadilah banjir besar dimaksud.
Setiap ada masalah besar, selalu memunculkan orang yang dianggap sebagai hero atau pahlawan. Kali ini yang menjadi pahlawannya adalah Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, yang kemudian melakukan tindakan melakukan penertiban atas bangunan-bangunan yang dianggap sebagai biang kerok banjir di Jakarta dan Bekasi. Pak Dedi sedemikian geram atas munculnya bangunan-bangunan yang melanggar tata kota, terutama di wilayah Bogor atas. Pak Dedi bertindak cepat. Dilakukannya pembongkaran dan penyegelan atas empat tempat wisata, yaitu Eiger Adventure Land, Pabrik The Ciliwung di Telaga Saat, Hibuisch Fantasy, PTPN I Regional 2 Agrowisata Gunung Mas. Dedi juga terjun langsung untuk membersihkan sungai yang mampet airnya karena sampah yang menyangkut. Dilakukan hal tersebut di sungai Cipalabuhan Labuanratu Sukabumi. Berita-berita ini tentu viral di media massa, terutama media sosial.
Secara teologis, Tuhan sudah memperingatkan bahwa kerusakan di daratan dan lautan merupakan ulah manusia. Alqur’an menjelaskan di dalam Surat Ar Rum, ayat 41 yang artinya: “telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Jelas sekali ayat ini memberikan informasi kepada manusia bahwa kerusakan alam itu disebabkan oleh ulah manusia. Betapa jelasnya kerusakan alam akibat illegal logging. Penggundulan hutan yang terjadi nyaris di seluruh dunia setiap hari akan menyebabkan terjadi masalah social dan ekonomi. Deforestasi tersebut terjadi di berbagai negara. Di Indonesia terdapat sebanyak 10 provinsi yang mengalami deforestasi, yang dapat mengakibatkan banjir, tanah longsor, kerusakan lingkungan atau kerusakan ekosistem lingkungan.
Sesungguhnya pemahaman tentang kerusakan yang diakibatkan oleh usaha terstruktur deforestasi sudah dipahami oleh sebagian masyarakat, terutama di kalangan birokrat dan pengusaha, akan tetapi kekuatan ekonomi yang hanya berbasis keuntungan semata dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran atau perusakan ekosistem lingkungan. Ekosistem lingkungan di Bogor sudah rusak dan tentu membutuhkan waktu lama untuk merekonstruksinya.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah adakah tekad Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor , Kabupaten Bekasi dan DKI Jakarta untuk menyelesaikan bersama. Di sini tidak boleh ada ego sectoral. Penyelesaian problem ini harus dilakukan secara sistemik, bersama-sama. Jika tidak maka penderitaan tersebut akan terus berlangsung setiap tahun. Kecuali memang sudah tidak ada lagi kepedulian.
Wallahu a’lam bi al shawab.