(Sumber : SuaraBaru.id)

Bid'ah Teologis dan Bid'ah Sosiologis

Opini

Rasanya kita tidak menemukan istilah ini di dalam khazanah sosiologis atau teologis, termasuk fikih tentang konsep-konsep bidh’ah teologis dan bidh’ah sosiologis. Konsep ini sengaja  dipilih sebagai khazanah baru dalam memahami tindakan empirik di dalam perilaku keagamaan masyarakat Islam Indonesia, yang sering dinyatakan sebagai Islam dalam tradisi kecil atau Islam in little tradition dalam konsepsi Geertz. 

  

Sesungguhnya Islam itu satu secara teologis, tetapi bervariasi di dalam memahami kesatuan teologis dimaksud. Artinya, bahwa teologi atau di dalam khazanah Islam disebut sebagai ilmu kalam, maka terdapat varian penafsiran atau lebih tepatnya pemahaman tentang Tuhan, misalnya terdapat pandangan sebagaimana dikonsepsikan oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi tentang teologi Ahli Sunnah wal jamaah, lalu ada teologi Mu’tazilah dan juga  teologi kaum Salafi. Ada banyak perbincangan tentang dimensi yang terkait dengan sifat, dzat dan af’al Tuhan, termasuk takdir dan perbuatan manusia. 

  

Islam juga bervariasi di dalam pemahaman mengenai ritual-ritualnya. Meskipun demikian di dalam prinsip ibadah tetap ada konsep umum yang berlaku mendasar. Misalnya tentang shalat dalam bilangan jumlah rakaat, waktu dan prinsip-prinsip umumnya terdapat kesamaan, namun di dalam doa dan ungkapannya bisa terjadi perbedaan antara satu dengan yang lain. Hal ini sama sekali tidak mengurangi tentang kemurnian agama dalam hal ritual. Harus diingat bahwa yang berbeda adalah dalam ekspressinya dan bukan substansinya. Substansi ibadah adalah doa, dan berbagai ekspresi keagamaan yang telah dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW dan diteruskan sesuai dengan pemahaman para ulama pelanjutnya. 

  

Bagi saya, Islam itu begitu indahnya karena memberikan peluang untuk berbeda dalam kesatuan substantif, dan berbeda dalam universalitas yang utuh. Agama yang sedemikian memberikan kebebasan untuk berekspresi sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang menjadi pedoman dan sebagaimana  yang dilihat, didengar dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi secara kontekstual terdapat  perkembangan sesuai dengan lokus  dan zamannya. Sebagai contoh, area Mina di zaman Nabi Muhammad hanya dibatasi dalam wilayah tertentu, akan tetapi seirama dengan perkembangan zaman dan jumlah jamaah haji, maka tanah Mina bisa diperluas atau Mina jadid. Di zaman Nabi tidak dikenal Bank Syariah akan tetapi di masa modern dan tuntutan untuk mengadakannya sangat mendasar maka Bank Syariah juga didirikan. Pada zaman Nabi, perjalanan dari Madinah ke Mekkah untuk haji menggunakan unta atau jalan kaki, maka sekarang bisa dengan mobil dan kereta cepat. 

  

Pada bidang ibadah misalnya orang Arab menggunakan pakaian jubah  khas Arab, sementara itu orang Indonesia bisa menggunakan sarung. Konon penggunaan sarung di dalam ritual shalat dan lainnya dimulai semenjak penyebaran Islam di Wilayah Giri Amparan melalui Syekh Nurjati guru Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Di Jawa orang melakukan shalat dengan blangkon dan beskap juga bukan sesuatu yang baru tetapi sudah merupakan kelaziman. Blangkon dan beskap adalah pakaian orang Jawa sebelum Islam datang di tlatah ini. Inilah yang menarik di dalam mengamati ekspresi Islam di dalam kehidupan masyarakat Nusantara yang sering disebut sebagai Islam lokal atau Islam dalam tradisi kecil. 

  

Islam sedemikan fleksibelnya di dalam menghadapi perubahan social pemeluknya. Islam tidak mengajarkan secara ketat dalam menghadapi perubahan social masyarakatnya. Hukum potong tangan oleh Khalifah Umar bin Khathab bisa diubah tergantung ilat atau alasannya. Jadi Islam sangat memperhatikan faktor lingkungan yang secara behavioral mempengaruhi perilaku masyarakatnya. Indah dan fleksibelnya Islam inilah yang menyebabkan masyarakat Nusantara yang semula sudah memiliki ajaran agama yang sedemikian mendalam akhirnya bisa berkonversi ke dalam ajaran Islam.  Melalui  dakwah yang dilakukan oleh para waliyullah, yang menjadi penerus dakwah Kanjeng Nabi Muhammad SAW, maka Islam disebarkan dengan cita rasa kebudayaan yang unik. Mereka adalah para ulama yang memahami budaya local dan kemudian meramunya secara kolaboratif dengan ajaran Islam yang bersumber dari Timur Tengah. 

  

Berdasarkan dimensi sosiologis dan historis seperti ini, maka saya memotret ada yang saya konsepsikan sebagai bidh’ah teologis dan bidh’ah sosiologis. Bidh’ah teologis dikonsepsikan sebagai keyakinan yang berimplikasi pada perilaku beragama yang menyebabkan terjadinya perubahan yang mendasar dan melenceng dari prinsip di dalam ajaran Islam. Misalnya meyakni bahwa ada Nabi penutup setelah kenabian Nabi Muhammad SAW.

  

Di dalam Islam diyakini bahwa Nabi Muhammad adalah khatamul anbiya’ wal mursalin, la nabiyya ba’dahu. Atau misalnya salat yang seharusnya menggunakan Bahasa Arab lalu diganti dengan Bahasa Indonesia. Dengan dalih apapun hal ini secara teologis dan ritual tidak dibenarkan. Dengan demikian, bidh’ah teologis itu terkait dengan penambahan di dalam prinsip ajaran Islam yang seharusnya memang tidak boleh ditambah-tambah pemahaman dan perilaku keagamaannya. Rukun iman dan  rukun Islam ditambahi juga termasuk bidh’ah teologis. Sedangkan bidh’ah sosiologis terkait dengan tambahan pemahaman dan perilaku keagamaan yang terkait dengan cabang-cabang atau furu’iyah yang secara mendasar tidak mengubah dimensi substansi ajaran Islam. Bidh’ah sosiologis tersebut terkait dengan relasi antara ajaran Islam dan masyarakat di dalam lokus tertentu dan bisa jadi tidak pernah dilakukan di masa lalu terutama di Arab Saudi tetapi telah dilakukan di area Islam bertradisi kecil, misalnya wilayah Nusantara. Misalnya tradisi membaca tahlil secara bersama-sama atau di dalam tradisi Nu disebut tahlilan atau membaca Surah Yasin secara bersama-sama atau disebut sebagai yasinan. Selain itu juga misalnya zikir atau wirid ba’da salat rawatib yang diselenggarakan di masjid atau mushallah. Di dalam konteks ini tidak ada sedikitpun dimensi teologis dan substansi ritual yang dilanggar. Kegiatan semacam ini justru akan memperkuat ikatan solidaritas atau ukhuwah Islamiyah yang juga menjadi prinsip di dalam ajaran Islam. 

  

Oleh karena itu, bidh’ah tidak hanya sebuah istilah yang mesti dikaitkan dengan kesesatan karena melanggar prinsip ajaran Islam akan tetapi juga bisa dikaitkan dengan kebaikan yang bermuara pada upaya memperbesar cakrawala Islam yang sesungguhnya menjadi agama yang memberi rahmat pada semua manusia. Islam yang kita tekuni merupakan Islam yang bisa berdialog secara kolaboratif dengan tradisi yang akhirnya bisa memiliki relevansi dengan Islam secara substantif.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.