(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Dakwah Islam Di Era Negara Bangsa

Opini

Berbicara tentang dakwah Islam tentu berbicara tentang proses penyampaian kebaikan. Dakwah harus menggunakan  metode, media dan pesan dakwah yang  berbasis pada kebenaran dan kebaikan sesuai dengan prinsip dakwah untuk menciptakan masyarakat yang Islami di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

  

Indonesia sudah menetapkan bahwa relasi antara agama dan negara bukan dalam coraknya yang secularistic dan juga bukan yang integrated. Apa yang sekular adalah corak hubungan antara agama dan negara yang terpisahkan atau yang sering disebut agama berada di ruang privat, sedangkan negara di ruang publik. Agama berada di ruang domestik atau mengalami proses domestifikasi atau privatisasi. Sedangkan yang bercorak integrated adalah hubungan antara agama dan negara yang menyatu,  agama dan negara tidak dipisahkan. Di dalam corak hubungan yang simbiosis mutualisme maka negara dan agama saling membutuhkan, yakni agama membutuhkan negara sebagai tempat untuk mengatur relasi antar umat beragama dan negara membutuhkan agama untuk basis moralitas penyelenggaraan negara. 

  

Indonesia telah menentukan bahwa pilihan menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara  tentu didasari oleh pertimbangan asasi bahwa Indonesia merupakan negara yang plural dalam keyakinan keberagamaanya dan multicultural dalam wajah dan substansi kebudayaannya. Itulah sebabnya pada saat menentukan apa yang menjadi dasar negara, maka pilihannya jatuh pada penetapan Pancasila sebagai dasar negara dan mengesampingkan keinginan untuk menjadikan agama sebagai dasar negara. Pada saat yang paling krusial tersebut, maka para tokoh Islam yang tergabung di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 bahwa dasar negara tersebut adalah Pancasila. Sebuah jawaban yang sangat melegakan semua pihak dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang menghargai dan menjadikan agama sebagai fondasi kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat,  tetapi pada saat yang bersamaan menjadikan  Pancasila sebagai dasar negara. Makanya relasi antara Pancasila dan Agama atau Agama dan negara adalah relasi sebagaimana koin mata uang, di satu sisinya adalah Pancasila dan di sisi lainnya adalah agama. Keduanya menyatu dalam wadah kenegaraan dan kebangsaan yang tidak bisa dipisahkan. Saling menerima dan memberi serta saling membutuhkan.

  

Lalu, bagaimana beragama yang relevan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasarnya. Maka beragama yang sesuai dengan hal tersebut adalah manakala penganut agama memahami bahwa antara Pancasila dan agama tidak saling bertentangan. Agama menjadi support terjadinya keselarasan antar masyarakat dan  bangunan kerukunan antar warga negara di dalam NKRI. 

  

Setiap bangsa memiliki sejarahnya sendiri. Arab Saudi yang menjadi negara kerajaan tentu terkait dengan perjuangan keluarga Bani Saud untuk melepaskan negara itu dari kekuasaan kerajaan Turki Utsmani. Lalu Malaysia yang juga memilih sistem monarki parlementer juga terkait dengan sejarah perjuangan kerajaan-kerajaan di Malaysia untuk menentukan nasib secara bersama di bawah kekuasaan sistem monarki parlementer. Mesir juga menjadi negara dengan sistem republik  tentu terkait dengan perjuangan para pemimpin bangsanya untuk menentukan sistem tersebut yang paling relevan. Demikian pula Indonesia yang kemudian berbentuk negara kesatuan dan berdasar pada Pancasila juga terkait dengan sejarah bangsa ini.

  

Sejarah memang peristiwa masa lalu dan  juga bukan segala-galanya. Sejarah juga terkadang berwajah bopeng dan tidak selalu mulus sebagaimana idealnya.  Makanya bagi penerus bangsa tentu harus bisa memilih dan memilah, mana sejarah yang berperan secara siginfikan bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara, dan mana yang akan membuyarkan negara bangsa. Sejarah bangsa yang positif bagi generasi  penerus merupakan kaca benggala perjuangan dari para pendahulu dan pendiri bangsa yang secara susah payah memperjuangkan bangsa ini dari penjajahan bangsa lain dalam ratusan tahun. Oleh karena itu, tugas penerus bangsa adalah untuk melanjutkan perjuangan para pendahulunya untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa dalam koridor NKRI. 

  

Jika kita menggunakan tolok ukur bagaimana sikap dan pandangan para ulama Indonesia di masa lalu dalam prinsip beragama dan bernegara  adalah Kyai Wahid Hasyim, Kyai Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan lainnya yang beragama Islam seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sajoeti Melik, Mohammad Hasan, AH. Hamidan, Mohammad Amir, dan Ki Hajar Dewantoro. Mereka mengedepankan prinsip kebangsaan dan kenegaraan di dalam terbentuknya Indonesia sebagai negara baru yang harus kokoh di atas semua golongan, suku, ras dan agama. Mereka tidak dengan keras mempertahankan Sila Pertama Pancasila sesuai dengan Piagam Jakarta, yaitu Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya. Piagam Jakarta dijadikan sebagai basis moralitas di dalam Pancasila dengan mengubah Sila Pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. 

  

Mereka bersikap moderat dan tidak menggunakan prinsip menang sendiri. Direvisinya tujuh kata di dalam Piagam Jakarta agar kesatuan dan persatuan bangsa tetap terjaga. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan agar Wilayah Indonesia Timur tidak melepaskan diri karena faktor tujuh kata tersebut.

  

Sejarah gemilang ini yang seharusnya dijadikan sebagai rujukan oleh para pendidik dan juga dai tentang bagaimana pemahaman, sikap dan perilaku para pendidik dan dai di dalam menyampaikan ajaran agama kepada umatnya. Agama tetap dipegang teguh kebenarannya dan disampaikan dengan sebenarnya, tetapi di saat itu pula haruslah diyakini bahwa mereka adalah warga negara yang harus menjunjung tinggi kebangsaan dan kenegaraan sebagai pengikat sebangsa dan setanah air. Jadi sama sekali tidak mempertentangkan Islam dan Pancasila, bentuk negara NKRI dan  Khilafah, atau UUD 1945 dan hukum Tuhan. Semua ditempatkan dalam pigura kebersamaan untuk kesatuan dan persatuan bangsa. 

  

Bagi seorang dai, pilihan sebagai warga negara sudahlah jelas. Para dai adalah warga negara Indonesia yang secara teritorial dan administratif sudah jelas, secara ideologi juga jelas, dan  bentuk negara juga sangat jelas. Inilah pilihannya dan bukan yang lain. Jadi Ketika seorang dai ingin menjadikan hal-hal yang bertentangan dengan Keindonesiaan, maka sudahlah jelas pilihannya dan yang bersangkutan sudah tidak pantas menjadi warga negara Indonesia. Sekali lagi bahwa semua di antara kita adalah orang Islam yang berkewarganegaraan   Indonesia dan bukan orang Islam yang menjadi warga negara   Afghanistan, Saudi Arabia, Irak, Syria, Libanon, Malaysia dan Mesir. Kepastian ini yang harus dijadikan sebagai modal dasar bagi para dai dalam menyebarkan ajaran agamanya, sehingga penyebaran agama tidak akan menabrak dengan kepentingan berbangsa dan bernegara.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.

  

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya