Danantara: Bayi Raksasa di Era Ketidakpercayaan Publik
OpiniArtikel ini terasa hadir dengan keterlambatannya. Sudah dalam bulan-bulan terakhir ini Danantara memperoleh perhatian public yang sangat tinggi, sebab di situ akan terdapat dana besar yang sesungguhnya akan dapat dijadikan sebagai dana investasi untuk pembangunan bangsa, terutama pembangunan fisik. Jumlahnya mencapai Rp14.710 triliun yang diperoleh dari berbagai macam skema termasuk skema efisiensi anggaran pemerintah.
Danantara sebagai akumulasi modal memang pemikiran yang cerdas. Artinya bahwa melalui skema dana investasi ini, maka akan didapatkan potensi untuk menggali dana dari berbagai skema, yang kemudian akan dapat digunakan keuntungannya untuk kepentingan pembangunan. Danantara Indonesia adalah kependekan dari Daya Anagata Nusantara, yang berarti energi atau kekuatan masa depan untuk tanah air Indonesia. Danantara merupakan Badan Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund, yang bertujuan untuk mengoptimalkan kekayaan negara melalui investasi strategis. Harapannya bahwa Danantara akan dapat menjadi kekuatan dana untuk Pembangunan Indonesia dalam kerangka meraih masa depan yang lebih baik. Dari aspek regulasi, Danantara hadir pasca Revisi ke tiga Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN yang disahkan oleh DPR pada 04/02/2025 dengan fungsi sebagai Badan Pengelola Investasi.
Danantara Indonesia diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 18 Pebruari 2025 dengan dihadiri oleh para mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, pimpinan DPR, serta sejumlah Menteri dan pimpinan partai politik. Semenjak awal didirikannya, badan ini telah menuai pro-kontra. Ada sejumlah pakar yang menyangsikannya dan lainnya mendukung atas pendirian badan baru tersebut. Sebagaimana biasa, bahwa para pendukungnya adalah mereka yang diidentifikasi sebagai orangnya presiden, dan yang kontra adalah sekelompok kritikus yang selama ini relative berseberangan dengan kebijakan presiden.
Hal yang menjadi persoalan mendasar adalah kelahiran bayi raksasa itu pada saat kepercayaan public atas berbagai lembaga pemerintah yang berkaitan dengan anggaran pemerintah sedang mengalami penurunan. Ada sejumlah kekhawatiran sebab di manapaun terdapat peluang dan pemanfaatan dana besar, maka di sana akan terdapat tindakan penyimpangan, salah satu di antaranya adalah korupsi. Besaran korupsi yang jumbo akhir-akhir ini tentu membuat kebanyakan orang pesimis akan masa depan apa saja yang terkait dengan anggaran negara.
Korupsi timah dengan besaran lebih dari Rp300 triliun, korupsi pertamina Rp120 triliun lebih, dan sejumlah korupsi yang dilakukan oleh pimpinan eksekutif dan legislatif serta pelaku usaha dengan besaran korupsi yang gigantic tentu membuat sejumlah orang merasa khawatir, bahwa dana yang diinvestasikan melalui Danantara juga akan mengalami nasib yang sama. Para pengelola Danantara juga tidak luput dari kritik dari akademisi maupun praktisi keuangan. Korupsi seakan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari para pengelola keuangan. Itulah sebabnya betapa besar “ketakutan” atas akumulasi dana di Danantara dimaksud. Ada sebuah proposisi bahwa di manapun terdapat anggaran besar, yang dibarengi dengan moral hazard, dan rendahnya integritas, tanggungjawab serta besarnya peluang melakukan penyelewengan, maka di situ pula akan terdapat praktik korupsi yang besar.
Apa yang dikritik oleh para pemerhati keuangan negara adalah rendahnya integritas dan tanggungjawab para pengelola keuangan, selain juga moral hazard. Ketiganya merupakan variable yang sangat disangsikan oleh para pengritik atas kebijakan Presiden Prabowo tentang Danantara. Dana besar ini sesuai dengan rencana akan digunakan untuk pembiayaan infrastructure strategis. Artinya bahwa yang dijadikan sebagai prioritas adalah infrastruktur kepentingan pembangunan jangka panjang yang akan dapat menjadi wahana dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Jika kemudian para pelaksana pembangunan infrastruktur tidak memiliki kejujuran, tanggungjawab dan moralitas berbasis humanitas kerakyatan, maka dipastikan bahwa dana tersebut akan menguap sia-sia.
Jika menggunakan positive thinking, maka kita dapat saja untuk berhusnudh dhon bahwa niat Presiden Prabowo ini baik, dengan niatan pembangunan insfratruktur strategis memang memerlukan dana besar, dan tentu harus terdapat sebuah lembaga yang kredibel untuk mengelolanya dengan tujuan dan target yang terukur untuk kepentingan rakyat. Ide Presiden Prabowo tentu sudah melalui pemikiran panjang dan disertai dengan penggunaan logika yang tepat.
Namun demikian ada variable yang tidak kalah pentingnya adalah agen yang mengeksekusinya. Agen yang memiliki “kewenangan” untuk melakukan investasi, pengembangan, dan pendayagunaan anggaran untuk pembangunan. Di sinilah sesungguhnya keraguan para kritikus, sebab nyaris semua institusi yang di dalamnya terdapat peluang pengelolaan anggaran, maka di sana terdapat tindakan fraud.
Agama sedang diragukan peranannya sebagai basis etika di dalam kehidupan, terutama untuk mengarahkan kepada integritas dan tanggungjawab, tetapi kita masih memiliki sejumlah harapan bahwa para pengelola Danantara harus menjadikan substansi agama untuk menjadi pedoman dalam pengelolaannya. Di dalam dunia keyakinan, yang mengantarkan seseorang akan mendapatkan balasan kebaikan dalam investasi, pengembangan dan pendayagunaan anggaran adalah integritas dan tanggung jawab. Agama berkomitmen dalam ajarannya seperti itu.
Terkecuali kita sudah tidak lagi meyakini bahwa ajaran agama itu benar dan sudah meyakini bahwa orang hanya hidup di dunia dan tidak ada lagi urusan dengan hidup sesudah mati. Jika begitu, maka semuanya menjadi permissiveness. Dan jika hal tersebut terjadi, maka habislah etika dan moralitas di dalam kehidupan.
Wallahu a’lam bi al shawab