(Sumber : BBC)

Dari Bedah Buku Islam Itu Indah: Konflik Beragama Di Timur Tengah (Bagian Kedua)

Opini

Pertanyaan pertama di dalam acara  Bedah Buku “Islam itu Indah” sudah saya tulis di artikel bagian pertama, maka sekarang saya akan mencoba memberikan penjelasan lebih lanjut atas pertanyaan mengapa di negeri-negeri yang menjadi sumber Islam pada tahap awal justru terjadi konflik social yang luar biasa. Seharusnya secara teologis dan syariah, maka negeri-negeri tersebut menggambarkan negeri yang aman dan damai, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

  

Islam memang lahir di Timur Tengah. Arab Saudi. Sebuah negeri yang menjadi tempat yang disakralkan karena keberadaan dua tempat yang disebut sebagai “Haramain”, dua tempat yang disucikan dan dilarang melakukan berbagai tindakan yang bertentangan dengan Islam. Makanya, para penguasa  di dalam system monarkhi di Arab Saudi disebut sebagai khadimul haramain. Penjaga dua tempat suci. 

  

Di Timur Tengah dan Afrika Utara memang terdapat negeri-negeri yang selama itu dikenal sebagai “penentang” terhadap kebijakan Amerika Serikat. Negeri-negeri tersebut adalah Iran, Irak dan Lybia. Tiga negara ini dianggap sebagai negara yang berani melakukan tindakan melawan atas kekuatan Barat yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat. Oleh karena itu negeri-negeri tersebut diperlakukan sebagai musuh politik Amerika. 

  

Sebagaimana diketahui bahwa Iraq akhirnya harus merelakan negerinya menjadi negeri yang hancur pasca perang antara Amerika Serikat melawan Iraq, 2003. Negeri ini berhasil dihancurkan oleh Amerika karena Presiden Saddam Hussein akhirnya harus menerima nasibnya wafat di tangan tentara Amerika. Demikian pula Lybia juga harus kalah karena Presiden Moammar Khadafi harus tewas mengenaskan di tangan pasukan Amerika, 1986. Sementara itu hanya Iran yang berhasil bertahan hingga sekarang dan akhirnya menjadi satu-satunya negeri yang berani untuk menentang kekuatan Amerika Serikat. 

  

Perihal Arab Saudi,  negeri ini mengambil posisi aman. Tidak terlibat di dalam pertarungan di Timur Tengah. Negeri ini bahkan juga melakukan kerja sama dengan Israel yang memiliki kemampuan dalam membangun radar untuk pertahanan negara. Arab Saudi memerlukan kerja sama dimaksud untuk menjaga kesatuan wilayahnya di Timur Tengah. Kerja sama atau perang sesungguhnya merupakan factor politik yang terjadi. Sebagai penjaga tanah Haram, Saudi harus hati-hati agar tidak terjebak pada konflik yang dapat menghancurkan kedua tempat dimaksud. 

  

Di dalam berbagai konflik di Timur Tengah sebenarnya difasilitasi oleh aspek ekonomi dan politik serta ekonomi-politik selain juga factor agama. Seperti contoh, munculnya Gerakan Jihad yang dilakukan oleh ISIS sebenarnya difasilitasi oleh factor ekonomi-politik dibandingkan factor agama. Abu Bakar Al Baghdadi yang  mengibarkan Bendara ISIS, 2013, sesungguhnya ingin meraih kekuasaan dalam rangka penguasaan Minyak dan Gas Bumi di kedua wilayah tersebut. Namun demikian, dia menggunakan agama sebagai factor pengungkit untuk memperjuangkannya. Di mana-mana diberitakan bahwa tujuannya adalah untuk mendirikan negara Islam yang sesuai dengan system kekhilafahan. Dia ingin mendirikan negara khilafah sebagaimana yang dicita-cita oleh ajaran Islam sesuai dengan penafsirannya. 

  

Banyak orang yang salah dalam memahami pesan keagamaan yang didasari oleh kekuasaan politik. Banyak orang yang mau dijemput untuk menjadi jihadis di sini. Padahal mereka dipanggil untuk perang dengan tujuan penguasaan ekonomi-politik. Banyak orang yang tergiur dengan pesan-pesan ISIS kemudian berangkat. Kala sampai di Irak dan Syria, akhirnya yang didapati bukanlah upaya mendirikan negara Islam, akan tetapi berperang melawan umat Islam lainnya. Banyak di antaranya, yang akhirnya merasakan betapa pedihnya kehidupan di sini, sementara itu, semua sudah ditinggalkannya di negeri sendiri. 

  

Di sinilah dunia paradoks yang terjadi. Ajaran Islam yang bermakna perdamaian, keselamatan dan keharmonisan justru menjadi arena untuk saling bertempur, menyerang, menihilkan dan mematikan. Banyak orang yang tertipu dalam dunia paradoks tersebut. Islam yang sebenarnya mengajarkan jihad damai menjadi jihad dalam arti perang. Apalagi di kalangan ini, tidak ada makna lain tentang jihad kecuali bermakna perang. 

  

Kala semuanya sudah dimaknai sebagai thaghut atau kekuasaan yang dianggap mengajarkan atau mengarahkan kepada kemungkaran, maka semuanya bisa diperangi. Negara atau pemerintah yang tidak menjadikan Islam sebagai dasarnya, dan berbagai regulasi yang dianggapnya tidak berdasar atas nama Allah, maka dianggapnya sebagai kafir dan wajib diperangi. Dan yang menentukan segala sesuatunya adalah kelompoknya. Tidak boleh ada penafsiran lain atas hukum kecuali yang dirumuskannya. 

  

Paradoks tersebut dimulai dari penafsiran atas tauhid, lagi-lagi hanya penafsiran atas tauhidnya saja yang benar, dan kemudian menjalar kepada syariah Islam, termasuk persoalan khalifah, dan merembet kepada persoalan akhlak yang di dalamnya terkait dengan relasi antar manusia. Yang bukan dari kelompoknya dianggap orang lain, dan jika berbeda dalam keyakinan beragama maka dapat diperangi. 

  

Oleh karena itu dunia akan menjadi penuh dengan ketegangan. Dunia penuh dengan konflik social. Dunia penuh dengan peperangan. Bukan nuansa damai yang dicari dan ingin ditemukan, akan tetapi kekacauan yang didapatkan. Meskipun tesis banyak yang menyatakan bahwa konflik social itu dipengaruhi oleh penafsiran agama, akan tetapi yang sebenar-benarnya terjadi adalah faktor keduniawaian yang berupa ekonomi-politik.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.