(Sumber : https://nursyamcentre.com/)

Doktor Moderasi Beragama: Legacy Lukman Hakim Saifuddin

Opini

Moderasi Beragama  akhir-akhir ini sudah menjadi program nasional di dalam RPJMN 2020-2024. Artinya, moderasi beragama  bukan lagi sebatas sebagai konsep yang mengawang di angkasa, akan tetapi sudah landing ke bumi. Moderasi beragama  merupakan satu di antara program penting dalam kerangka untuk menjawab tantangan masa depan bangsa di tengah berbagai tantangan beragama, berbangsa dan bernegara. Tantangan kanan (ekstrimisme beragama) dan tantangan kiri (ekstrimisme liberal)  sedang berupaya mencari panggung di dalam kehidupan sosial, politik, budaya dan keagamaan di Indonesia.

  

Selama ini ada tudingan bahwa program moderasi beragama merupakan upaya untuk mengerdilkan agama. Padahal yang dimoderatkan itu para penganut agama bukan agamanya. Agama itu di dalam dirinya sudah mengandung moderat. Jadi yang dimoderatkan adalah kaum beragama. Jangan beragama secara  berlebih-lebihan,  tetapi marilah beragama secara moderat, sebab agama mengajarkan pemahaman, sikap dan tindakan moderat. Janganlah beragama dengan ekstrim, baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri.

  

Demikianlah salah satu pernyataan Lukman Hakim Saifuddin, yang dikukuhkan oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa, 31 Mei 2022 di Aula Harun Nasution. Dr. Hc. Lukman Hakim Saifuddin dikukuhkan sebagai doctor kehormatan dengan  promotor Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Guru Besar Sejarah pada  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau menjadi doctor dalam bidang kajian Islam peminatan  moderasi beragama.

  

Dr. Hc. Lukman Hakim Saifuddin juga menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa dan negara dengan keragaman yang amat tinggi, tidak hanya ras, etnis, dan suku,  akan tetapi juga flora dan fauna. Indonesia juga sebagai masyarakat dan bangsa yang memiliki keragaman relijiositas yang unik. Meskipun Islam sebagai agama terbesar di Indonesia, akan tetapi Indonesia bukanlah negara agama. Indonesia menganut hubungan agama dan negara tidak dalam coraknya yang secular dan tidak menyatu,  tetapi symbiosis mutualisme. Indonesia memilih jalan ketiga, yaitu agama menjadi basis moralitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Indonesia, maka hubungan antara agama dan negara itu ibarat koin mata  uang, bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Hubungan agama dan negara itu saling mengimbangi dan mengawasi (check and balance).

  

Dewasa ini, Indonesia sedang menghadapi tantangan, di antaranya adalah kian munculnya corak beragama yang justru bertolak belakang dan mengingkari inti pokok ajaran agama. Inti ajaran agama itu adalah memanusiakan manusia dan membangun kemaslahatan bersama. Lalu, muncul fenomena tafsir keagamaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak berdasar atas kaidah keilmuan. Banyak yang menjadi penafsir teks agama dengan pandangan yang eksklusif, berlebihan dan melampaui batas, sehingga melahirkan kebenaran sepihak dan menafikan lainnya. Muncul juga paham keagamaan yang secara diametral merusak dan mengoyak ikatan kebangsaan. Jika yang dilakukan seperti ini, maka akan menghasilkan citra yang dapat merusak agama itu sendiri.

  

Ada beberapa tawaran solusi agar kehidupan beragama makin bermanfaat, konstruktif bukan destruktif, agregatif bukan segregatif, serta maslahah dan bukan mafsadah. Di antara tawaran solusi tersebut adalah membangun gerakan bersama yang dilakukan secara terencana, terpola, sistematis, dan serentak. Gerakan ini dapat melibatkan institusi pemerintah, institusi keagamaan, dan juga masyarakat. Moderasi beragama itu berusaha membentuk dan membangun cara pandang, sikap dan praktik beragama segenap umat beragama. Mementingkan  proses bukan semata-mata hasil, sehingga merupakan upaya terus menerus untuk mencapai hasil dan tak berkesudahan. Jadi yang dimoderasi bukan agamanya tetapi kehidupan beragamanya. Agama itu mengandung kebenaran mutlak, sedangkan beragama adalah melibatkan manusia dengan pemahaman, sikap dan tindakannya. Yang menjadi focus moderasi beragama adalah “dalam kehidupan bersama”.  Moderasi beragama tidak mengusik forum internum agama, seperti keyakinan beragama dan peribadahan yang diyakini kebenarannya. Moderasi beragama bertujuan  “mengejawantahkan esensi ajaran agama”, yaitu ajaran agama yang bersifat universal (inti, pokok dan esensial) dan yang bersifat particular (unik, spesifik, atau cabang). Moderasi beragama lebih menekankan pada upaya mewujudkan ajaran agama yang inti, pokok dan esensial dimaksud. Misalnya adalah untuk membangun kemaslahatan bersama dan melindungi martabat kemanusiaan. Yang juga tidak kalah penting adalah mengedepankan prinsip adil dan berimbang, di dalam konteks berada di tengah bukan berarti berada di antara yang batil dan haq, benar dan salah atau baik dan buruk. Moderasi beragama memihak pada yang haq, yang benar dan yang baik.

  

Namun demikian masih terdapat beberapa kekeliruan dalam memahami moderasi beragama, misalnya anggapan bahwa moderasi beragama adalah pesanan asing, moderasi beragama membuat penganut agama tidak mengakar dan fanatic atas agamanya sendiri. Yang jelas, bahwa moderasi beragama merupakan istilah khas keindonesiaan  agar tidak terjebak secara terus menerus dengan  konsep deradikalisasi. Moderasi beragama digunakan untuk menghindari cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang melampaui batas, berlebihan dan ekstrim. Moderasi beragama juga tidak identic dengan liberalisme dan sekularisme serta tidak merupakan upaya untuk mendukung LGBT.

  

Di dalam mengembangkan moderasi beragama, maka terdapat paradigma yang mendasari strategi dan implementasinya, yaitu Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama. Indonesia adalah negara berketuhanan. Negara  bertujuan untuk membangun kemaslahatan bersama agar tercapai kedamaian dan kebahagiaan. Di dalam implementasinya, maka diperlukan upaya menggerakkan moderasi beragama melalui  penyiaran agama, system pendidikan berbasis moderasi beragama dan pengelolaan rumah ibadah yang didasari oleh pemahaman, sikap dan tindakan moderat, pengelolaan ruang public, serta pesantren dan satuan pendidikan keagamaan lainnya. Secara institusional, moderasi beragama sudah digerakkan, misalnya melalui Rumah Moderasi, training moderasi beragama, dan juga keterlibatan masyarakat dalam penguatan moderasi beragama.

  

Sebagai promotor, Prof. Dr. Azyumardi Azra juga menyatakan bahwa moderasi beragama merupakan legacy Dr.Hc. Lukman Hakim Saifuddin dan karena usaha yang luar biasa akhirnya bisa masuk dalam RPJMN 2020-2024. Makanya, tema yang dipilih untuk mengantarkan penganugerahan Doctor Honoris Causa adalah “Moderasi Beragama, Wasathiyah Islam Merupakan Legacy Masa Silam untuk Kerukunan Relijio-sosial Hari ini dan ke Depan”. Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Amany Lubis, MA, menyatakan: “saya dilantik oleh Dr. Hc. Lukman Hakim Saifuddin, dan hari ini saya yang mengukuhkan Beliau menjadi Doktor Honoris Causa dalam bidang pengkajian Islam  peminatan  moderasi beragama”. Lebih lanjut dinyatakan: “Saya berharap gelarnya dipakai”.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.