Era Digital, Youtube dan Keterbukaan Akses Ekspresi
OpiniRiuh rendah dunia media sosial menjadi sarana yang tidak membedakan antara individu dengan individu lain dalam soal unggahan di kanal youtube. Dunia media sosial yang sedemikian dahsyat telah mengubah ekspresi perilaku nyaris semua segmen masyarakat. Tidak ada orang yang hidup di era digital ini, selama memiliki perangkat handphone yang memadai, lalu tidak kenal dengan unggahan di Youtube, atau unggahan di media online, baik yang berupa sport, musik, hiburan dan informasi lainnya.
Jika kita amati tayangan di media sosial, maka youtube itu seperti mall atau toko serba ada. Kanal Youtube sungguh memanjakan para penggemarnya. Nyaris semua yang dibutuhkan oleh para pengguna media sosial tersedia di situ. Mulai dari unggahan yang positif tentang pengajian sampai unggahan yang bernuansa seksualitas yang terdapat di dalamnya. Bahkan unggahan pengajianpun juga terpilah di dalam mazhab atau paradigma pemahaman yang bervariasi. Ada unggahan yang mencaci maki, menyalahkan keberagamaan yang lain, bahkan mengkafirkan dan membunuh karakter. Sementara itu juga dengan mudah diakses unggahan pengajian yang membela diri atas tuduhan kelompok lain, misalnya tentang Islam moderat atau Islam wasathiyah. Semua tersaji dan sangat mudah diakses oleh siapa saja.
Di Kanal Youtube banyak dijumpai konten yang tidak mendidik, misalnya unggahan hewan menyalurkan seksualitas, perempuan yang terbuka auratnya, dan lain-lain. Termasuk juga dunia hewan yang saling membunuh dan juga unggahan kehidupan sehari-hari yang alami maupun terdesain. Selain itu juga dijumpai konten hiburan seperti olahraga popular, seperti sepakbola, badminton, tinju, bola voli dan sebagainya. Juga dijumpai konten musik dengan berbagai genrenya, seperti music rock, musik pop, musik melayu dan sebagainya.
Masyarakat Indonesia yang sedang berada pada era transisi bermedia sosial, tampak sangat permisif dalam melakukan berbagai unggahan. Masyarakat juga memiliki sikap dan perilaku permisif dalam melihat, mendengar atau menyebarkan informasi yang diketahuinya. Kita sungguh miris melihat viewer konten Youtube yang tidak mendidik dengan ratusan bahkan jutaan viewer. Pilihan sikap dan tindakan permisif tentu dapat dikaitkan dengan pemahaman masyarakat kita yang cenderung melihat semua konten Youtube sebagai hiburan atau dunia entertainment.
Di masa lalu, ukuran normative seorang pejabat adalah dengan ukuran kewibawaan. Dan ukurannya adalah ucapan, sikap dan perilakunya yang menggambarkan sebagai seseorang yang berwibawa. Jika berbicara sangat berhati-hati, sikapnya sangat terjaga dari hal-hal yang mengurangi kewibawaan dan perilakunya juga disetting sedemikian rupa agar dianggap sebagai seorang yang berwibawa. Jarang kita jumpai seorang pejabat yang bercengkerama di sembarang tempat. Jika perlu tersenyum dan tertawa juga harus didesain secara khusus. Jalanpun harus tegap dan berwibawa.
Dalam pekan ini, kita melihat bagaimana Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil berjalan lenggak-lenggok seperti peragawan dalam acara Citayam Fashion Week, yang sekarang sedang ngetren. Ada banyak pesohor yang datang di acara ini untuk mengikuti fashion “dadakan” yang sedang memperoleh perhatian banyak pihak. Bisa dibayangkan bahwa di masa lalu tentu tidak ada pejabat yang mengikuti acara-acara seperti ini. Jika harus menghadiri acara fashion show tentu harus duduk manis di kursinya dan memberikan sambutan dengan bahasa seorang pejabat, yang biasanya sangat normative dan didesain secara structural.
Bahkan juga terdapat unggahan seorang professor atau guru besar yang menyanyikan lagu-lagu yang popular. Lagunya Bang Haji Rhoma Irama dengan irama dangdutnya, atau lagu-lagu pop yang pernah popular di masa lalu. Ada juga professor di PTKIN kita yang membuat lirik lagu khas Melayu dan menyanyikannya. Pejabat menyanyi dimulai secara clear di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lalu dilanjutkan oleh Presiden Jokowi. Dan akhirnya menyanyi menjadi medium untuk saling menyapa di dalam acara-acara nonformal di kalangan pemerintahan. Dan menyanyi dalam sebuah acara dianggap sebagai simbol kedekatan dengan rakyat.
Yang lebih menarik lagi adalah kyai menyanyi. Selama ini, dunia kyai merupakan dunia yang dikenal sebagai dunia serius kala berhadapan dengan masyarakat, meskipun bisa berubah menjadi dunia guruan dalam lingkaran sesama kiai. Tetapi kesan yang dapat dipahami bahwa kyai akan menjaga kewibawaan dengan tutur kata, sikap dan tindakan yang tidak merusak kewibawaan tersebut. Kalau dosen menyanyi, da’i menyanyi, dan birokrat menyanyi saya kira sudah lama menjadi kebiasaan. Tetapi kyai menyanyi tentu merupakan fenomena baru bagi kalangan pesantren dan masyarakat.
Dalam pekan ini, saya menerima kiriman video musik. Penyanyinya adalah Abah Ghafur Sumenep Madura. Lelaki yang usianya relative tua ini menyanyikan dua lagu, satu lagu “Jangan Ditanya Kemana Aku Pergi” dan satunya “Where Do I begin (Love Story)”. Abah Ghofur menggunakan pakaian sarung, baju koko, kopyah putih dan berjenggot putih. Suaranya memadai dengan penguasaan syair dan irama yang baik. Bahkan kala menyanyikan lagunya Andi William yang pernah popular tahun 1971 kelihatan sangat baik penguasaannya. Melalui iringan organ tunggal, maka nyaman juga mendengarkan nyanyiannya.
Fenomena kiai menyanyi tentu menarik. Melalui media sosial, khususnya Youtube, maka seseorang akan dapat mengunggah apa saja aktivitasnya agar bisa dilihat atau didengarkan oleh pengguna Youtube. Jika kita hobby menyanyi, maka tinggal panggil organ tunggal dan merekam nyanyian tersebut lalu mengunggahnya di media sosial. Jika beruntung, maka akan banyak yang menjadi viewer dan follower apalagi jika ada yang subscribe. Dan dari sinilah ke depan jika kita kreatif maka kita akan menjadi Youtuber. Raffi Ahmad, Atta Halilintar, dan Deddy Corbuzier tentu memulainya dari sini. Tidak perlu alat perekam canggih, karena HP atau mini camera sudah cukup untuk dimanfaatkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.