(Sumber : Bola.com)

Framing Kebenaran: Public Trust dan Pemerintah

Opini

Drama tentang kebenaran versus keculasan adalah tema-tema yang menarik di dalam media social yang berkembang dewasa ini. Semuanya yang berada di dalam posisi juxta posisi selalu merupakan konten menarik di dalam tayangan media sosial. Bahkan andaikan sesungguhnya bukan “pertarungan” juga harus dibahasakan dalam bahasa pertentangan yang hiruk pikuk.

  

Di dalam teori komunikasi agenda setting, maka segala yang diperlukan dan dipentingkan atau diprioritaskan untuk menjadi milik public maka harus diagendakan. Siapapun dapat melakukannya, baik organisasi sosial kemasyarakatan bahkan juga organisasi sosial keagamaan. Siapapun yang memiliki agenda untuk diutamakan, maka dapat membuat informasi yang akan menjadi milik masyarakat. Semakin banyak yang menyukai  tayangan atau informasi tersebut berarti banyak yang menyukai dan merespon. Dan semakin banyak yang merespon berarti semakin besar peluang untuk menjadi trend di kalangan masyarakat, khususnya para netizen di dalam media sosial.

  

Kebenaran bisa direkayasa, demikian pula kesalahan juga bisa direkayasa. Semua bisa didesain oleh pengagenda setting atau media framing. Bahkan juga ada institusi yang memproduksi kontens berbasis agenda setting. Di dalam kampenye legislative maupun eksekutif, maka ditemui bagaimana pabrik hoaks melakukan aksinya. Semua direkayasa sesuai dengan kepentingan orang yang terlibat di dalam kontestasi-kontestasi dimaksud. Begitu dahsyatnya, maka pabrik untuk membuat konten pembunuhan karakter juga terlibat. Semua itu tergantung pada berapa besaran anggaran yang disediakan. Anggaran untuk white champaign dan black champign akan sangat menentukan bagaimana persepsi social atas informasi yang disajikan. 

  

Di dalam dunia politik pemerintahan, agenda setting tentu sangat penting, baik dilakukan oleh para kritikus pemerintahan atau para oposisi dan juga loyalis pemerintah. Kasus ijazah Pak Jokowi, misalnya  adalah sebuah drama agenda setting dan framing yang melibatkan dua kelompok, kaum oposan dan pemerintah. Jika kita amati dalam realitas publik, maka kaum oposisi sesungguhnya leading. Sebab mereka telah membangun opini public melalui gencarnya tayangan-tayangan di media social maupun media televisi. Sementara pemerintah kelihatan “gamang” dalam menyajikan counter atas informasi para oposan. Upaya mencari kebenaran lewat jalur hukum juga menuai pro-kontra. Di kalangan oposan semakin keras berteriak, bahwa upaya melawan balik kepada para oposan melalui upaya hukum dianggap sebagai pengebirian atas kebebasan untuk berekspresi. Yang lebih menyedihkan justru dianggap sebagai upaya melawan kebenaran.

  

Di kalangan masyarakat yang melek media sosial sudah kadung terbangun opini bahwa kebenaran ada di pihak kritikus atau oposan. Sementara pemerintah dianggap melakukan pembelaan dengan cara yang tidak egaliter. Menggunakan hukum sebagai piranti menyelesaikan masalah dianggap oleh media sosial sebagai pemanfaatan kekuasaan atau abuse of the power. Inilah posisi simalakama pemerintah di dalam menghadapi social media exposure. Mendiamkan salah, melakukan tindakan juga salah.

  

Bagi pengguna media social, bahwa kebenaran itu dipastikan informasi yang datang awal. Siapa yang memframing “kebenaran” lebih dahulu, maka framing tersebut yang dinyatakan benar, sehingga framing kedua yang biasanya kontra framing kebenaran dipastikan dianggap sebagai rekayasa. Dianggapnya sebagai upaya untuk membersihkan informasi sebelumnya. Kebenaran lalu merupakan produk dari framing, siapapun yang mengungkapkannya untuk yang pertama kali. Berikutnya adalah rekayasa.

   

Akhirnya sungguh rumit untuk memahami kebenaran, sebab masing-masing akan mempertahankannya atas kebenaran tersebut. Kebenaran bukan fakta, bukan realitas akan tetapi framing. Kebenaran tergantung kepada seberapa banyak orang “terpengaruh” atas framing yang diungkapkan oleh produsen framing. Apalagi jika frame tersebut dibubuhi dengan data yang fakta dan realitas  socialnya   “seperti” yang sebenarnya terjadi. Di sini tentu diperlukan keahlian retoris dan provokatif untuk mempengaruhi subyek sasaran framing. Jadi betapa susahnya melawan framing sebab telah menyangkut dunia kebenaran public produk rekayasa.

  

Framing dapat membentuk persepsi audience terhadap informasi yang disampaikan. Di dalam framing maka ada proses seleksi dan proses penerima produk framing. Berdasarkan konsepsi Robert M Enmant, bahwa framing merupakan suatu proses yang terkait dengan pemilihan dan penekanan pada aspek tertentu dari suatu realitas sehingga akan membentuk realitas persepsi audience. Marilah diperhatikan tentang bagaimana framing diciptakan untuk memperoleh persepsi masyarakat tentang suatu kasus dengan berbagai perspektif, misalnya dengan menghadirkan pakar di bidang teknologi forensic, ahli telematika, politisi dan sebagainya yang berbasis pada bukti yang didapatkannya. Apa saja yang layak menjadi bukti diungkapkannya. Dan kemudian terbentuklah opini public dengan berbagai varian pendapatnya. Semua tergiring dalam persepsi dimaksud, sesuai dengan pro-kontranya. Siapa yang paling sering  berpendapat, terutama para ahli yang kontra pemerintah, akan dijadikan sebagai referensi, karena masyarakat mempercayainya. Inilah kebenaran yang berbasis pada framing. Jadi framing adalah kebenaran. 

  

Sedangkan perilaku  lawan politiknya, pemerintah, yang melakukan tindakan hukuman  dianggap sebagai kesalahan dan dipastikan akan menggunakan dalil kekuasaan untuk membenarkannya. Drama ini belum diketahui siapa pemenangnya, akan tetapi seandainya dilakukan survey oleh Lembaga yang benar-benar independent, maka hasilnya akan mengungkap siapa yang sesungguhnya benar, apakah framing kebenaran atau fakta dan realitas sosial. 

  

Sebaiknya memang ditunggu saja sebab rasanya belum elok menjustufikasi atas siapa yang benar dan siapa yang salah. Wait and see.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.