Ganja untuk Kesehatan: Maslahah atau Mafsadah
OpiniSelama sepekan terakhir, dunia media televisi diramaikan oleh pemberitaan mengenai masalah ganja atau mariyuana untuk kesehatan. Pro-kontra tentang ganja sebagai bagian dari kepentingan kesehatan merebak dengan kuat, sehingga Wakil Presiden, KH. Ma’ruf Amin, juga turun tangan untuk meminta kontribusi MUI dalam memberikan fatwa tentang ganja dijadikan sebagai piranti untuk kesehatan.
Ganja memang salah satu yang dilarang peredarannya di hampir seluruh dunia. Ganja sebagai bagian dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya (narkoba) memang sangat membahayakan manusia jika manusia mengonsumsi ganja di dalam kehidupannya. Ganja merupakan bagian dari masalah narkoba yang dapat merusak kesehatan alih-alih sebagai obat bagi manusia. Jika orang sudah ketagihan atas penggunaan ganja, maka kehidupannya akan mengalami kerusakan fisik dan psikis. Ganja dapat merusak kehidupan manusia secara berlipat-lipat.
Jika narkoba termasuk ganja masuk ke dalam tubuh melalui mulut, diisap, dihirup atau disuntikkan, maka akan dapat merusak pikiran, perasaan, suasana hati bahkan juga perilaku seseorang. Bahan ini juga bisa menyebabkan adiksi atau ketergantungn fisik dan nonfisik penggunanya. Efek ganja bagi tubuh adalah kerusakan pada otak, jantung, hati, paru-paru, system peredaran darah, system pencernaan, dan system kekebalan tubuh. Tetapi ganja juga memiliki efek positif bagi kesehatan, misalnya mencegah glaucoma (mata), meningkatkan kapasitas paru, mencegah kejang, terapi kanker, dan mengurangi nyeri kronis. Tetapi efek positif hanya dapat diperoleh melalui pengawasan dokter, tidak bisa dikonsumsi sendiri sesuai dengan kemauan.
Di seluruh dunia sudah dilakukan perang terhadap narkoba. Semua negara menyadari akan bahaya narkoba jika dibebaskan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Itulah sebabnya semua negara memiliki undang-undang narkoba, yang sesungguhnya menjadi norma untuk melarang penggunaan narkoba secara umum. Di beberapa negara, ganja sebagai bagian narkoba diperbolehkan untuk dijadikan sebagai bahan penelitian dan juga untuk kepentingan kesehatan. Penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan dan riset pun dikontrol dengan sangat ketat.
Berdasarkan data dari Laporan PBB UNDOC terdapat sebanyak 234 juta pemakai narkoba dan 200.000 orang yang meninggal karena narkoba. Sementara itu terdapat lima negara sebagai produk narkoba terbesar, yaitu Afghanistan, Kolombia, Maroko, Myanmar dan Meksiko. (Okezone.com diunggah 25 Maret 2022). Selain itu peredaran uang melalui perdagangan narkoba juga sangat besar. Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis transaksi Keuangan (PPATK), 21 Desember 2021, bahwa perdagangan narkoba di Indonesia mencapai angka 400 trilyun. Angka ini sangat besar, lima kali lipat dibandingkan dengan APBD DKI Jakarta, sebesar Rp79,89 Trilyun tahun 2021.
Berdasarkan atas besarnya uang dalam perdagangan narkoba, maka banyak orang yang tertarik untuk menjadi pedagang narkoba. Berdasarkan aspek ini, maka pantaslah jika pemerintah mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perdagangan narkoba di Indonesia. Berbagai informasi tentang penyelunduban narkoba di Indonesia dari negara-negara tetangga menggambarkan betapa menariknya perdagangan narkoba. Hal yang juga sering didengar adalah tentang penanaman ganja illegal di berbagai wilayah di Indonesia. Ganja sebagai salah satu bagian dalam perdagangan narkoba juga terus berkembang seirama dengan semakin tingginya permintaan dari konsumen produk narkoba.
Akhir-akhir ini terdapat pro-kontra terkait dengan bagaimana legalitas penggunaan ganja untuk kesehatan. Sesuai dengan regulasi, maka ganja memang bisa didayagunakan untuk kepentingan riset di bidang kesehatan tetapi masih terdapat pro-kontra. Guna kepentingan mendayagunakan ganja untuk kesehatan ternyata terdapat varian dalam respon masyarakat. Pertama, sekelompok orang yang merasakan butuh pengobatan dengan ganja sebagai elemennya. Ganja tentu tidak bisa menjadi obat untuk menyembuhkan, akan tetapi bisa menstimuli untuk menenangkan bagi orang yang memang kecanduan narkoba. Bagi kelompok ini, maka pelegalan ganja untuk kesehatan menjadi wajib. Di antara mereka adalah yang melakukan unjuk rasa di Jakarta dengan membawa spanduk, “anakku butuh ganja.” Hanya yang dikhawatirkan adakah unjuk rasa ini berbasis realitas atau motif tujuan atau in order to motive ataukah ada faktor eksternal atau bercause motive. Pantas jika dipertanyakan, sebab ada banyak desain yang dilakukan oleh sejumlah orang yang ingin pelegalan narkoba. Dikhawatirkan ada yang medompleng atas upaya untuk pelegalan ganja bagi kesehatan.
Kedua, kelompok yang menentang keras atas pelegalan ganja. Kelompok ini tentu berpikir realistis bahwa dengan tidak dilegalkan saja, peredaran narkoba sudah sangat mengkhawatirkan. Indonesia bisa menjadi ladang yang subur bagi pengembangan budi daya ganja dan kemudian juga menjadi pasar yang menggiurkan untuk perdagangan gelap narkoba. Keuntungan yang berlipat ganda di dalam perdagangan narkoba tentu menjadi pemicu keinginan yang kuat untuk melegalisasikan ganja dan sejenisnya bukan untuk kesehatan tetapi untuk diperdagangkan. Indonesia sudah darurat narkoba.
Ketiga, kelompok yang bersetuju dengan ganja untuk kesehatan. Kelompok ini tentu adalah mereka yang berprinsip bahwa ganja memang memiliki efek positif, akan tetapi tidak bisa digunakan secara sembarangan. Jika dipakai harus menggunakan petunjuk dokter, dan tidak bisa didayagunakan untuk kepentingan perdagangan atau digunakan secara illegal. Jadi memang benar-benar untuk kepentingan medis.
Sesungguhnya penggunaan ganja tetap harus mempertimbangkan dimensi positif dan negatifnya. Di dalam konteks ini, maka peran MUI menjadi penting. Fatwa MUI dapat menjadi rujukan apakah penggunaan mariyuana atau ganja akan memberikan manfaat atau mafsadah. Jika sekiranya ganja dapat diberikan fatwa halal untuk kesehatan, maka meski dipertimbangkan masyarakat Indonesia—terutama para pebisnis—agar tidak melakukan tindakan permisif, sehingga fatwa yang menghalalkan ganja untuk kesehatan tidak disalahgunakan untuk kepentingan lainnya.
Hal yang diperlukan tentu adalah siapa yang mengawasi, sebab jangan sampai pengawas peredaran ganja justru menjadi pagar makan tanaman. Yang dibutuhkan adalah integritas aparat hukum, dokter serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atas penggunaan ganja. Selain itu, yang tidak dilupakan adalah peran tokoh masyarakat dan masyarakat yang juga harus terlibat di dalam pengawasan atas ganja sebagai medium kesehatan, yang positif diambil dan yang negatif dibuang.
Wallahu a’lam bi al shawab.