(Sumber : Duta Damai Sumatera Barat)

Gerakan Moderasi Beragamapun Diuji

Opini

Oleh: Prof. Dr. Nur Syam., M.Si

(Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya)

  

Salah satu di antara watak kelompok moderat adalah selalu berada di jalan yang tidak menghendaki konfrontasi, menjaga kedamaian, menginspirasi kerukunan, dan membangun kebersamaan. Moderat itu tidak jatuh kepada simpati dan terperosok masuk ke dalam antipati. Moderat itu bersepaham tentang empati. Begitulah kira-kira gambaran moderat itu dalam sikap, dan tindakan orang-orang yang berada di dalamnya.

  

Selain itu, moderatisme juga memiliki ciri khas yang berupa tidak progresif dalam memperjuangkan keinginan. Wataknya yang landai dan pelan-pelan, sering kali menjadi hambatan untuk bergerak cepat dalam mencapai target dan tujuan yang dicanangkan. Karena wataknya yang seperti ini, maka kelompok ini sering kedodoran dalam menghadapi kelompok minoritas tetapi proaktif dan produktif. 

  

Basis keyakinan kelompok muslim wasathiyah adalah prinsip di dalam ajaran Islam. Islam wasathiyah sebenarnya memang menjadi ciri khas agama Islam,  semenjak awal diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. Islam memanggul tugas keselamatan sebagaimana nama agama ini, sehingga menjadi tidak elok ketika Islam hanya dipahami dari sisi jihad dalam konteks perang ofensif, ketimbang watak dasar Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh alam.

  

Para ahli bersepakat, bahwa Islam disebarkan dalam banyak hal melalui jalan diplomasi. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri mengajarkan kepada kita semua tentang proses penyebaran agama Islam ke negara lain melalui proses diplomasi. Semenjak awal, Islam tidak mengajak perang, tetapi mengajak dengan cara-cara yang santun: mengirim surat, mengirimkan tim diplomasi, mengajak dengan cara damai dan sebagainya. Semua sependapat bahwa Islam semenjak awal tidak disebarkan dengan perang. Jika kemudian, terjadi peperangan maka sesungguhnya disebabkan oleh pencederaan terhadap perjanjian atau memang mereka memulai dengan tantangan perang.

  

Bahkan di dalam perangpun Nabi Muhammad SAW., masih berpesan kepada pasukannya agar jangan merusak tempat ibadah, jangan membunuh perempuan dan orang yang tak berdaya, jangan merusak tanaman, apalagi kebun-kebun kurma dan sebagainya. Perangpun memiliki etika, dan bukan perang yang menghanguskan atau membumihanguskan seluruh kehidupan lawannnya. Beginilah akhlak Nabi Muhammad saw., yang merupakan manifestasi akhlak Islam. 

  

Dalam rentang sejarah panjang, Islam dan umat Islam mengalami proses penyejarahan, dengan hitam dan putih, dengan duka dan suka, dengan damai dan perang, dengan penguasaan atau dikuasai dan seterusnya. Makanya dikenal ada proses kegemilangan Islam dan kemunduran Islam. Abad pencerahan dan abad kegelapan. Sejarah manusia memang mengikuti proses up and down. Pasang dan surut, atau naik dan turun. Dikenal di dalam sejarah, 700 tahun Islam gemilang, lalu 700 tahun Islam redup. Masa-masa keemasan Islam terjadi selama 700 tahun sampai kehancuran Kerajaan Turki Islam atau Turki Utsmani, dan berganti dengan abad kegelapan, yang seharusnya berakhir tahun 1400 hijriyah yang lalu. Kita sekarang sesungguhnya memasuki era ketiga, 700 tahun kecemerlangan Islam. 

  


Baca Juga : Peran Pendakwah dalam Mempertahankan Eksistensi Tradisi Islam Lokal

Sayangnya di era yang seharusnya menjadi abad kegemilangan Islam ini kita masih belum bisa menyelesaikan masalah internal Islam, terutama antar negara. Banyak negara Islam yang masih tercabik-cabik dengan persoalan internal antar umat beragama. Di Irak, Iran, Yordania, Tunisia, Lybia, bahkan Mesir dan Arab Saudi masih berkutat dengan problem internal, baik  yang temporer maupun akut. Di beberapa negara Timur Tengah ini, problem utamanya adalah perebutan kekuasaan antara satu faksi dengan lainnya. Di Irak dan Syria, maka konflik antara Islam moderat dengan Islam garis keras juga terus berlangsung. Meskipun akhir-akhir ini kekuatan Islam radikal makin tergerus, akan tetapi minat untuk terus melawan tentunya masih eksis. Ideologi Islam radikal ini tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas. Meskipun ideologi radikal sudah tereliminasi, tetapi masih bisa membuat serangan sporadik dan mengagetkan pemerintah. Sungguh dunia Timur Tengah masih belum bisa menyelesaikan problemnya sendiri.

  

Dunia Islam sebenarnya mengharapkan Indonesia sebagai negara dengan umat Islam terbesar untuk menjadi contoh dalam kerangka pengembangan dan pelestarian Islam wasathiyah. Indonesia memang merupakan negara yang memiliki basis keberagamaan yang heterogeen dengan tingkat kerukunan dan toleransi yang tertata dengan baik. Bahkan di dalam beberapa event internasional, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan contoh kerukunan umat beragama. Jika ingin belajar tentang kerukunan umat beragama, maka Indonesia merupakan tempat yang cocok untuk belajar.

  

Namun demikian, seirama dengan perkembangan masyarakat yang semakin terbuka di era keterbukaan informasi, maka tidak ada suatu masyarakat pun yang tidak terimbas dengan perkembangan informasi tersebut. Di tengah melubernya informasi yang menggejala dewasa ini,  maka banyak orang yang terpapar informasi,  baik yang informatif atau yang disinformatif.  Di area inilah sesungguhnya kerawanan sosial itu akan terjadi, sebab masyarakat Indonesia yang sedang berada di dalam era transisi teknologi informasi akan mengalami lompatan perubahan yang luar biasa.

  

Di tengah suasana seperti ini, maka Islam moderat juga menghadapi tantangan, yaitu radikalisme, baik radikal-kiri maupun radikal-kanan.  Pemikiran radikal-kiri  itu, misalnya adalah upaya-upaya untuk mengganti dasar negara yang sudah dibakukan, dengan sara-cara yang sangat halus yaitu melalui undang-undang. Siapapun yang membaca draft RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP), pastilah akan merasakan betapa halusnya strategi untuk memasukkan ideologi kiri itu ke dalam RUU-HIP. Hebatnya lagi, RUU-HIP ini diluncurkan di saat bangsa ini menghadapi Pandemi COVID-19 yang sangat luar biasa. Para penggagasnya memahami betul timing, content, strategi dan teknik yang tepat untuk menggolkan tujuannya.

  

Di sisi lain, juga menghadapi radikal-kanan. Yaitu pemahaman agama yang berpikir l tektual tanpa berpikir konteks sosial kemasyarakatan. Kelompok ini hanya membenarkan tafsiran keagamaannya sendiri, tanpa berpikir bahwa ada dunia tafsir lain yang memberikan peluang untuk hidup dan berkembang. Tafsir tekstual ini sering menghakimi “Yang Berbeda” untuk dinihilkan. Tantangan ini bukan wacana tetapi sudah merupakan gerakan. Mereka selalu mengintip celah-celah untuk melakukan gerakan, termasuk juga upaya untuk menghadapi RUU-HIP, yang sekarang sedang semarak dibicarakan.

  

Saya kira bahwa pemerintah harus bijak menghadapi kenyataan empiris ini. Presiden harus memperoleh informasi yang benar agar bisa memutuskan dengan kapasitas dan kemampuannya, sehingga dapat memproduk tindakan yang tepat. Orang-orang di sekitar Beliau harus memilki telinga dan mata yang lebar agar bisa menyerap dengan baik semua informasi, baik yang benar ataupun hoaks. Saya kira, Presiden Jokowi memiliki kapasitas dan kemampuan yang sangat memadai untuk memutuskan sesuatu dengan cepat dan tepat,  asalkan Beliau memperoleh informasi yang benar.

  

Sekali lagi, masyarakat dunia mengharapkan Indonesia untuk menjadi lokomotif peradaban dunia yang rukun dan damai berbasis pada pluralitas dan multikulturalitas masyarakat. Dan hal ini sangat tergantung kepada kemampuan kita untuk memanej perbedaan, dan memperkuat persatuan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.