(Sumber : pixabay)

Guru Besar: Jabatan Akademik Berbasis Kolaborasi

Opini

Akhir-akhir ini, dunia pendidikan lagi ramai dengan perbincangan mengenai guru besar atau professor. Di antaranya mengenai proses untuk memperoleh guru besar, misalnya dipertanyakan tentang bagaimana seorang guru besar memperoleh jabatan akademisnya melalui artikel terindeks scopus, apakah diperoleh melalui usaha sendiri atau melalui perjokian. Kemudian, tudingan tentang kelayakan pejabat public memperoleh professor kehormatan  atau professor Honoris Causa (Prof. Hc), dan juga pandangan tentang kontribusi professor dalam pengembangan akademik dan juga karya-karya monumentalnya. 

  

Pandangan-pandangan pesimis seperti ini tentu memiliki pembenaran, jika misalnya terdapat seseorang yang memperoleh professor melalui jual beli karya ilmiah, atau professor kehormatan yang dinilai oleh public kurang layak, atau professor yang kemudian tidak memiliki karya akademis yang berkualitas, misalnya karya akademis dalam bentuk buku, atau artikel ilmiah baik jurnal nasional maupun jurnal internasional.

  

Saya tentu mengambil pandangan positif saja. Bahwa memang ada orang yang melakukan jual beli artikel terindeks di scopus, tetapi juga ada orang yang bekerja keras dengan cara-cara yang reasonable untuk memperoleh jabatan tertinggi dalam dunia akademis dimaksud. Optimis  saya bahwa memang secara empiris  untuk menulis di dalam jurnal terakreditasi atau terindeks scopus bukanlah sesuatu yang mudah. Ada upaya yang dilakukannya, misalnya dengan bekerja sama antar akademisi untuk melakukan kerja kolaboratif dalam menghadirkan karya tersebut. Dan yang seperti ini tentu bukanlah sesuatu yang salah di dalam dunia akademik, sebab dewasa ini sedang dikembangkan model integrasi ilmu, yang sangat memungkinkan kerja kolaboratif di antara para ilmuwan. 

  

Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dr. Nizam, Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, bahwa akhir-akhir ini proses untuk memperoleh jabatan guru besar sangat standardized. Dan melalui standarisasi seperti ini ternyata juga sangat memungkinkan perguruan tinggi bisa dengan cepat menambah guru besarnya. Misalnya UI dalam dua tahun menghasilkan 66 guru besar, dan bahkan ada PT yang dalam setahun menghasilkan 100 guru besar. Hal ini disampaikannya pada saat Sidang Gugatan atas UU No.14 tahun 2008 tentang Guru dan Dosen. Di Mahkamah Konstitusi tersebut ungkapan mengenai standarisasi perolehan guru besar disampaikan. Sidang ini berlangsung atas gugatan Dr. Sri Mardiyati, akademisi UI yang tidak bisa meraih guru besar karena factor usia. Berkasnya sudah masuk ke UI tahun 2016 tetapi baru masuk ke Dikbud pada saat usianya sudah mendekati batas usia pensiun PNS dosen. Akhirnya yang bersangkutan menggugat ke MK tentang UU No 14 Tahun 2008 tentang guru dan dosen, dan dipersangkakan bahwa ada kartel guru besar di Kemendikbud. Makanya Prof. Nizam menyatakan bahwa batas usulan seorang dosen untuk memperoleh guru besar adalah satu tahun sebelum batas usia pensiun. Hal ini diperlukan agar ada waktu untuk melakukan perbaikan atau menambah kekurangan KUM jika memang terdapat hal tersebut. (detiknews, 24/01/2022).

  

Di masa lalu, professor itu identic dengan senioritas dalam usia maupun kepangkatan. Akan tetapi sekarang sesungguhnya terdapat upaya untuk berkompetisi positif. Artinya, bahwa siapa saja yang memenuhi standart untuk memperoleh guru besar maka tidak akan dipertanyakan tentang senioritasnya. Banyak professor yang usianya sekitar 40-an tahun. Artinya bahwa era kompetisi untuk menjadi professor itu sangat tergantung dari upaya seseorang untuk memperolehnya. Ada yang cepat dan ada yang lambat. UIN Sunan Ampel, misalnya pada tahun 2021 bisa menghasilkan Sembilan professor dalam berbagai bidang keilmuan. Hal ini diperoleh karena kerjasama antar akademisi untuk meraih kehormatan tertinggi dalam kancah akademik dimaksud.

  

Memang harus dipahami bahwa menjadi professor bukan hal yang mudah. Apalagi dengan standarisasi menulis di jurnal terindeks di Scopus. Ada kendala mengekstrak hasil penelitian, kendala kebahasaan, kendala menemukan tema yang relevan dengan jabatan fungsional dosen, dan disertasi yang bersangkutan. Pengecekan atas karya akademik dosen oleh reviewer Penetapan Angka Kredit (PAK) tentu terkait dengan bagaimana sebuah karya artikel di jurnal  relevan dengan bidang keilmuan, jenis jurnal dan relevansi artikel dengan bidang sertifikasi dosen. Oleh karena itu,  banyak calon professor yang melakukan kerja kolaboratif dengan para akademisi baik dari satu institusi atau institusi lainnya. Hal ini tidak lepas dari riset kolaboratif dan juga program integrasi ilmu, baik yang interdisipliner, cross disipliner, multidisipliner atau transdisipliner.

  

Dalam pemikiran positive thinking, saya tetap beranggapan bahwa berbagai labelling terhadap para professor, misalnya professor perjokian, professor percepatan, professor pendampingan tentu bisa saja disematkan kepada professor. Hanya  saja, yang tentu harus ditolak adalah professor perjokian. Ini hukumnya larangan (haram), sedangkan dua lainnya tentu kebolehan (mubah) selama ada illat yang membolehkannya. Ada satu lagi labelling yang menurut saya juga mendasar adalah professor kolaboratif. Professor yang ditetapkan berdasar atas kerja sama untuk saling membantu dan menghasilkan karya ilmiah atau artikel yang berkualitas dan dilakukan dengan sangat procedural dan bertanggung jawab.

  

Saya kira kita tidak perlu mencela terhadap para professor yang memang telah bekerja keras untuk mendapatkan pengakuan karyanya di dalam jurnal terindeks scopus, apakah melalui program percepatan, pendampingan atau kolaborasi selama tidak terjadi upaya pembohongan public di dalamnya. Kita patut mengapresiasi atas capaian professor tersebut karena dengan cara ini kualitas pendidikan Indonesia akan semakin baik. 

  

Wallahu a’lam bi al shawab.