Gus Miftah dan Semangat Keberislaman Wasathiyah
OpiniSekhilaf-khilafnya Gus Miftah, bagi saya, Beliau adalah seorang da’i yang menjadi bagian dari Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah, khususnya NU, yang sangat bersemangat dalam menyebarkan paham keberagamaan yang moderat. Saya rasa banyak orang NU yang mengamini pandangan ini. Jadi meskipun juga ada sebagian kecil tokoh NU yang terlibat di dalam “mencemooh” Gus Miftah, akan tetapi saya yakin di dalam hati kecilnya akan menyatakan Gus Miftah itu bagian dari dirinya juga.
Jagad media social memang dapat menjadi medan “pertempuran” yang dahsyat tentang suatu konten yang dianggapnya sebagai “lawan” atau kontra pandangannya. Jika dicermati secara selintas, maka dapat dianalisis siapa sesungguhnya orang yang berada dibalik keruwetan di dalam media social. Tentu saya tidak berkehendak untuk menuding apalagi menunjuk dengan jari tentang siapa mereka. Saya kira tidak jauh-jauh dari apa yang saya konsepsikan sebagai pertarungan otoritas tafsir keagamaan.
Bukankah dewasa ini terjadi proses untuk memperebutkan otoritas tafsir keagamaan, yang berlangsung secara transparan di dalam media social. Banyak ungkapan yang diunggah melalui media social yang menggambarkan upaya perebutan otoritas tafsir keagamaan dimaksud. Tidak hanya di media social tetapi juga melalui komunitas-komunitas yang secara sengaja dibentuk dalam kerangka untuk menjadi agen di dalam perebutan otoritas tafsir keagamaan.
Selama ini, otoritas tafsir keagamaan dipegang oleh kalangan Islam ahlu sunnah wal jamaah. Seperti NU, Muhammadiyah, Jam’iyatul Washliyah, dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini secara diametral berlawanan dengan Islam Sunnah yang memiliki tafsir keagamaan yang berbeda. Kaum Salafi berkeinginan kuat agar bisa menjadi pesaing utama atas paham keagamaan yang telah ratusan tahun menjadi mainstream di dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Di kota-kota besar dapat dijumpai komunitas yang digerakkan oleh kalangan Salafi dengan menggunakan Café, Hotel dan Resto untuk membangun jaringan Salafisme. Bahkan mereka yang terlibat, kebanyakan generasi milenial, rela untuk merogoh kocek ratusan ribu rupiah. Demi menjadi bagian dari dakwah progresif kalangan tersebut, maka dana tidak menjadi halangan. Luar biasa. Kelak, mereka akan menjadi agen yang menyuarakan paham Salafisme di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Nyaris semua rekam jejak Gus Miftah diungkap kembali ke permukaan. Tiada hari rasanya tanpa media social yang menghujatnya. Sungguh media social menjadi ajang untuk merendahkan derajad seseorang dengan kualitas dan kuantittas yang tidak terhingga. Sekali seorang da’i melakukan tindakan yang dianggap “melawan” kepatutan, maka rasanya berjuta-juta hujatan dirasakannya. Ada kaidah kepatutan, kekhilafan dan kesalahan.
Ucapan “goblog” itu tidak patut diucapkan oleh seorang da’i yang dianggap mengemban amanah kesucian. Kekhilafan itu tindakan yang dilakukan dengan tidak sengaja atau dalam konteks Gus Miftah adalah kesengajaan membuat humor, tanpa maksud untuk menghina atau merendahkan. Berbeda dengan kesalahan yang memang tindakan yang disadari di kala melakukannya.
Respon netizen yang mengupas tuntas sampai ke akar-akarnya tentang Gus Miftah adalah contoh begitu dahsyatnya respon social atas kekhilafan atau ketidakpatutan ungkapan dimaksud. Dan yang memperkeruh situasi ini adalah jabatan Gus Miftah di dalam kepemimpinan Prabowo sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Umat Beragama. Di Indonesia itu seorang pejabat harus menampilkan diri dengan ungkapan dalam diksi yang penuh dengan retorika “kebaikan” meskipun yang sesungguhnya terjadi bukanlah hal seperti itu. Harus penuh dengan ungkapan normative dan penuh etika.
Artikel ini berusaha untuk membuat tipologi atas “serangan” informasi melalui berbagai kanal terkait dengan “guyonan” Gus Miftah. Jika ditipologikan, menurut saya ada tiga kategori, yaitu:
Pertama, tipologi ideologis. Kelompok ini memang memiliki tujuan untuk membunuh karakter Gus Miftah dalam kerangka untuk meminggirkan perannya dalam dakwah di Indonesia. Ada motif tujuan atau internal motif dari mereka yang melakukan tindakan character assassination itu. Yaitu dalam kerangka untuk menghancurkan reputasi Gus Miftah sebagai da’i yang dianggapnya “antipati” atas Gerakan Kaum Salafi di Indonesia, terutama yang mengusung tema-tema khilafah, radikalisme dan terorisme.
Kedua, tipologi romantik. Kelompok ini tidak bermuatan ideologi akan tetapi memberikan respon atas ungkapan yang memang dianggap sebagai “pencemaran” atas nama baik seseorang. Kelompok ini akan berlaku untuk melakukan respon apa saja yang dianggapnya tidak sesuai dengan hati nuraninya. Ungkapan yang disampaikan oleh Gus Miftah dianggapnya sebagai ungkapan yang tidak layak bagi seorang da’i apalagi seorang pejabat pemerintah. Andaikan Gus Miftah bukan seorang pejabat, mungkin tidak sehebat ini respon negative atas diksi di dalam ceramahnya tersebut. Tipologi ini sangat variative latar belakangnya. Ada akademisi, politisi, budayawan, bahkan juga tokoh-tokoh organisasi keagamaan.
Ketiga, tipologi follower. Tipologi ini berisi atas orang-orang yang penting koment. Yang terpenting memberikan respon tanpa ikatan ideologis dan romantic. Di Indonesia kelompok ini terdiri dari orang-orang yang belum memiliki literasi media social yang sangat memadai, dan mereka cenderung untuk memberikan respon secara asal-asalan. Yang penting bagi mereka meramaikan jagad media social agar bisa dianggap sebagai orang yang tidak ketinggalan informasi.
Sayangnya, saya tidak bisa memberikan yang lebih rinci terkait dengan tipologi ini. Untuk memahami secara lebih mendalam diperlukan studi netlitik dengan perangkat aplikasi yang sangat canggih. Sesungguhnya melalui kajian dengan basis metode netlitik yang menggunakan perangkat drone emprit, misalnya, akan dapat menguak dari siapa ke siapa informasi tersebut berkembang dan bagaimana relasi antar pelakunya.
Apakah Gus Miftah akan habis, rasanya tidak. Sebagai seorang da’i dengan talenta yang hebat tentu sudah belajar dari peristiwa ini dan kemudian akan dapat menyusun strategi seperti apa di masa mendatang.
Wallahu a’lam bi al shawab.