Hindari Konflik Sosial, Kembangkan Beragama yang Moderat
OpiniJika umat Islam Indonesia memilih Islam wasathiyah atau yang dikonsepsikan sebagai moderasi beragama, maka pilihan tersebut merupakan pilihan yang tepat. Bagi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka pilihan untuk menjadikan moderasi beragama sebagai wadah kebersamaan dalam relasi beragama di Indonesia merupakan pilihan yang sangat rasional dan dapat menjadi ukuran kedewasaan umat Islam Indonesia di tengah pergaulan dunia yang mengidamkan pengamalan beragama yang damai dan menyejukkan.
Kedewasaan beragama, tentu salah satunya diukur dari seberapa umat beragama tersebut saling menjaga kerukunan dan toleransi agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terselenggara dengan penuh makna dan berarti bagi kemanusiaan. Bahkan yang diinginkan bersama adalah bagaimana peradaban dunia berbasis perdamaian dapat disumbangkan oleh masyarakat Indonesia. Dari Indonesia untuk peradaban dunia berbasis kerukunan, keharmonisan dan keselamatan. Menurut Ronald Lukens-Bull disebut sebagai peacefull jihad atau jihad secara sungguh-sungguh untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Ada beberapa isu menarik yang didapati dari pemaparan para narasumber, baik dari dalam negeri yang mengungkap pengalaman Indonesia dalam mengelola moderasi beragama, dan juga pengalaman Malaysia dalam mengelola moderasi beragama. Sebagaimana kita pahami dari sesi webinar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, 16/09/2020, dengan tema “Moderasi Beragama: Pengalaman Indonesia dan Malaysia”. Saya akan menganalisis mengenai moderasi beragama di Indonesia dalam tiga hal, yaitu:
Pertama, Indonesia dewasa ini sedang menghadapi suatu kenyataan semakin menguatnya tantangan Gerakan Salafi yang memanfaatkan berbagai media, termasuk media sosial. Mereka ini memiliki media yang sangat baik dan menjadi penetrasi bagi pemahaman beragama dalam kaitannya dengan negara, interaksi antar umat beragama, memilih pemimpin dan perbedaan golongan beragama. Berdasarkan pemetaan potensi radikalisme di kalangan anak-anak muda, maka diketahui bahwa 35% tergolong berpotensi sangat radikal, 18% radikal, 22% netral, 10% moderat dan 15% sangat moderat. Survey PPIM (2018) ini memang hanya menggambarkan potensi radikalisme di kalangan siswa pendidikan menengah, namun tentunya bisa menjadi kekhawatiran bahkan sebagai wake up call bagi umat beragama di Indonesia.
Data tersebut memiliki relevansi dengan website yang sering dibaca oleh siswa pendidikan menengah, yang kebanyakan adalah website yang cenderung radikal. Data itu adalah 18,69% hidayatullah.com, 11,5% eramuslim.com, 8,10% ararhman.com, 2,49% nahi mungkar.com dan 0,0% panjimas.com. Sementara itu, media wasathiyah sebesar 33,02% NU.Online dan 9,35% suaramuhammadiyah.com. Bandingkan dengan data dari Indonesia Muslim Report, 2019 ternyata bahwa media online yang menjadi sumber pengetahuan keagamaan adalah Islam.co 31,1%, hidayatullah.com 22,2%, suara-islam.com 17.1%, NU.or-id 10,2%, VOA-Islam.com 8,9%, Eramuslim.com 6,8%, Alif-id 1,7%, Arrahman.com 1,7% dan nahimungkar.com 0,3%. Bandingkan lagi dengan sumber informasi dari televisi adalah MUI 24,8%, Rodja TV 21,6%, Aswaja TV 17,6%, MQTV 11,3%, TV9 8,8%, Ummat TV 6,6%, Yufid TV 4,1%, TV-Mu 1,6%, MTA TV 1,3%, Wesal TV 1,3% dan Insan TV 1,3%.
Kedua, di antara kelebihan yang dimiliki oleh Gerakan Salafi adalah keberaniannya untuk mengangkat isu-isu yang berbasis pada nilai Islam. Misalnya pembelaan terhadap Palestina, Rohingya, dan isu-isu penderitaan lain misalnya kaum Uighur di China. Di sinilah kata “jihad” lalu memperoleh momentumnya. Kata jihad dimaknai sebagai perang terhadap kelompok yang melakukan penguasaan dan membuat penderitaan bagi umat Islam.
Kata jihad digunakan untuk “memerangi” terhadap segala bentuk kekuasaan yang tidak menggunakan hukum Allah. Negara yang sistem pemerintahannya dihasilkan dari sistem pemerintahan yang demokrartis dianggap tidak sesuai dengan sistem pemerintahan yang diinginkannya, yaitu sistem khilafah. Hanya dengan sistem khilafah saja negara akan dapat menyejahterakan masyarakatnya, meskipun khilafah yang diidamkannya juga tidak jelas bentuknya. Di dalam sistem pemerintahan modern, ternyata juga mengandung variasi, misalnya sistem monarki sebagaimana di Arab Saudi, Sistem Jumhuriyah sebagaimana terjadi di Mesir, dan Indonesia menggunakan sistem republik atau sistem demokratis. Tawaran khilafah sebagai sistem dan bentuk pemerintahan tersebut sepertinya hal yang utopia. Jihad yang dimaknai sebagai bentuk perlawanan inilah yang menyebabkan kata ini menuai problematik di dalam implikasinya.
Hal yang tidak kalah menarik juga produk wacana hijrah yang dimaknai sebagai transformasi di dalam kehidupan. Hijrah bisa bermakna perubahan perilaku yang tidak atau kurang Islami menjadi Islami, misalnya fashion, dan penggunaan produk-produk Islami. Kemudian menjadi problem adalah di kala hijrah dimaknai sebagai peralihan pemerintahan, dari sistem pemerintahan berbasis Pancasila, NKRI ke sistem pemerintahan berbasis khilafah. Bahkan dianggapnya pemerintahan yang sekarang adalah pemerintahan sekuler yang tidak Islami. Pada saat makna hijrah bernuansa politik, maka lawannya adalah negara yang secara tegas sudah memantapkan dasar dan bentuk negara yang jelas.
Ketiga, masyarakat Indonesia sudah memantapkan pilihan bahwa Islam yang hidup dan berkembang di Indonesia adalah Islam wasathiyah sehingga gerakan yang ditetapkan dalam kerangka berbangsa dan bernegara adalah Gerakan Moderasi Beragama. Upaya untuk memoderasi beragama tersebut tentu tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja tetapi juga harus menjadi bagian dari program organisasi keagamaan dan seluruh komponen masyarakat. Pilihan untuk membangun moderasi beragama adalah melalui pintu pendidikan dan gerakan kultural.
Pendidikan sebagai upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan dan kemoderenan tentu saja harus menjadi pilihan di dalam pengembangan program moderasi beragama. Tanpa pendidikan yang berbasis pada tiga dimensi ini, maka dipastikan bahwa masyarakat Indonesia akan tertinggal di tengah percaturan dunia global yang semakin kompleks. Pendidikan keislaman atau bahkan pendidikan keagamaan harus bermuatan moderasi beragama atau di dalam Islam disebut sebagai Islam wasathiyah atau Islam rahmatan lil ‘alamin. Baik institusi pendidikan di bawah Kemendikbud maupun di Kemenag harus menjadikan basis nilai keagamaan yang bercorak moderat yang diajarkannya. Guru agama harus mengajarkan konten pendidikan yang membawa Islam damai bukan Islam perang. Di dalam pendidikan berbasis keindonesiaan, maka yang diajarkan adalah pendidikan multikultural atau pendidikan yang menghargai kebinekaan sebagai rahmat Tuhan dan bukan sebaliknya. Di sisi lain juga harus mengarahkan pendidikan untuk menyongsong Indonesia yang lebih baik dengan mengikuti perkembangan Revolusi Indistri 4.0 atau Revolusi Industri 5.0. Para peserta didik harus diajarkan bahwa bangsa Indonesia harus modern, tidak boleh tertinggal.
Gerakan kultural dilakukan melalui penyadaran terhadap masyarakat tentang keharusan untuk menjadikan Islam wasathiyah sebagai pilihan kultural bagi bangsa Indonesia. Gerakan kultural mengandaikan bahwa masyarakat memiliki kesadaran tentang arti dan makna perdamaian, kerukunan, keharmonisan dan keselamatan semua warga bangsa, bahkan juga masyarakat dunia. Konflik baik lokal maupun regional pasti tidak akan pernah menguntungkan. Konflik selalu membuat porak ponranda tidak hanya infrastruktur kehidupan tetapi juga sistem sosial dan keteraturan sosial. Kehancuran ada di mana-mana dan akan membuat kesedihan dan kesengsaraan. Sudah terlalu banyak contoh konflik atau perang yang justru menghancurkan dan bukan menyelamatkan. Negeri-negeri di Timur Tengah adalah contoh realistis bagaimana peperangan sungguh menghasilkan penderitaan jangka panjang, tidak hanya secara pisikal tetapi juga mental. Hal yang terlihat hanyalah kehancuran demi kehancuran.
Oleh karena itu, sungguh sangat beruntung bahwa pilihan bangsa Indonesia terhadap paham dan pengamalan beragamanya adalah dalam coraknya yang wasathiyah atau moderat. Kita semua pasti bisa melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.