(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Hiruk Pikuk MUI

Opini

Akhir-akhir ini suasana media sosial kita sedang ramai dengan pro-kontra tentang MUI. Ada yang ingin membubarkan MUI dan ada yang ingin mempertahankan MUI. Keduanya saling beradu argumen dan logika di dalam media sosial, kedua kelompok ini saling memperebutkan otoritasnya di tengah media sosial yang terus menggempur kehidupan masyarakat.

  

MUI sebagai organisasi yang menghimpun para aktivis organisasi sosial keislaman memang sedang berada di dalam tantangan yang tidak sedikit. Sebagai organisasi keagamaan yang di dalamnya merupakan representasi para pimpinan organisasi sosial keislaman, maka pantaslah jika organisasi ini merupakan representasi para wakil organisasi social keislaman yang bervariasi. Sebagaimana organisasi representasi umat beragama, maka status dan fungsi MUI tentu sama dengan KWI, PGI, Parisadha Hindu, Matakin, Walubi, Permabudhi, yang di dalamnya terdapat utusan masing-masing organisasi sosial keagamaan yang ada di dalamnya. 

  

MUI merupakan organisasi yang lahir dari rahim umat Islam, yang menginginkan satu wadah bagi para ulama untuk berkumpul dalam satu organisasi dengan tujuan untuk mengartikulasikan kepentingan umat Islam non politis. Jadi organisasi ini memang dibentuk untuk menyuarakan kepentingan umat Islam dan sekaligus sebagai institusi yang akan menjaga pemahaman dan pengamalan beragama sesuai dengan Islam yang hidup dan berkembang di Indonesia. 

  

MUI lahir pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta dengan tujuan sebagai wabah untuk kepentingan musyawarah bagi para ulama, zuama’,  dan cendekiwan Muslim di Indonesia. MUI didirikan dalam kerangka untuk membimbing, dan mengayomi umat Islam dalam relasinya dengan pemerintah dan masyarakat secara umum. Organisasi ini semula merupakan representasi dari NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti,  Al Washliyah, Mathla’ul Anwar, GUPPI, DMI dan Al Ittihadiyah. Ditambah dengan 4 orang perwakilan AD, AL, AU dan POLRI dan ditambah dengan 13 orang cendekiawan yang tidak merupakan representasi organisasi Islam. 

   

Di masa lalu tantangan MUI adalah bagaimana membangun relasi yang harmonis dengan pemerintah. Relasi antara umat Islam dengan pemerintah tersebut silih berganti, adakalanya antagonistis, dan konfliktual, dan ada kalanya relasi tersebut bercorak symbiosis. Namun seirama dengan perubahan zaman, maka relasi pemerintah dengan umat sangatlah baik dalam corak symbiosis mutualisme, sehingga MUI tentu bisa memainkan peranannya secara lebih optimal. MUI dapat menjadi organisasi yang dapat melakukan kegiatan yang berselaras dengan pemerintah dan masyarakat. MUI dapat menjadi organisasi yang mewadahi semua kepentingan umat Islam, baik keagamaan, social,  budaya tetapi non politis. 

  

Sebagai organisasi yang mewadahi terhadap para ulama, maka tidak ayal bahwa MUI akhirnya juga harus menerima kenyataan semakin bervariasinya keanggotaan MUI di dalamnya. Jika di masa lalu terdiri dari organisasi yang berkecenderungan wasathiyah, maka seirama dengan tuntutan mengakomodasikan atas organisasi keislaman, maka juga ada eksponen organisasi yang memiliki kecenderungan berbeda, misalnya ada yang mengusung pemahaman Islam ala  salafi. Tentu bukan salafi takfiri dan jihadi. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa Gerakan salafi ini memang telah memasuki banyak organisasi Islam di Indonesia. Mereka secara sengaja masuk di dalam organisasi social keislaman yang sudah mapan dan berpengaruh ke dalam. 

   

Hiruk pikuk tersebut terjadi pada saat ada eksponen MUI yang ditangkap Densus 88. Orang ini ternyata adalah organisasi Islam terkemuka di Indonesia, yang tentu saja kehadirannya di MUI adalah representasi organisasi dimaksud. Itulah sebabnya di kala yang bersangkutan ditangkap oleh Densus 88, maka yang banyak berkomentar adalah tokoh organisasi Islam dimaksud. Organisasi ini  sudah mendeklarasikan gerakan moderasi beragama, maka tentu tidak mungkin bahwa ada penganut organisasinya yang menyimpang dari rel organisasi. Makanya kemudian muncul pernyataan: kriminalisasi ulama, penangkapan ulama, dan politisasi ulama. Ungkapan ini yang menghiasai media social dan kemudian menjadi viral. 

  

Dari peristiwa ini, maka kemudian bermunculan di media social agar MUI dibubarkan, sebab MUI telah menjadi wadah bagi intoleransi beragama bahkan MUI sudah menjadi tempat persemaian kekerasan agama. MUI yang selama ini menjadi wadah bagi pengembangan Islam wasathiyah, akhirnya harus menelan pil pahit, dituduh sebagai organisasi yang sudah mengarah kepada kekerasan agama. MUI tidak lagi sebagai organisasi yang menyuarakan moderasi beragama di tengah semakin menguatnya perilaku beragama yang lebih konservatif atau ultra konservatif. 

  

Sebagai respon atas unggahan-unggahan tersebut maka juga muncul psywar, yang dilakukan secara massive. Di media social dipenuhi dengan unggahan misalnya: Surabaya Bergerak untuk membela MUI, dan juga di beberapa tempat yang lain. Narasi kontra narasi tersebut berseliweran di media sosial, sehingga memenuhi cyber space atau jagad maya. Pro-kontra ini membawa masyarakat menjadi terbelah antara pembubaran MUI dan pertahankan MUI. Pro-kontra ini telah dipolitisi oleh sejumlah actor yang berkepentingan seakan-akan membela Islam atau memusuhi Islam. 

   

MUI memang memiliki otoritas yang sangat besar dalam kehidupan umat Islam. Maka pantaslah jika MUI kemudian juga menjadi incaran berbagai kalangan untuk masuk ke dalamnya. MUI menjadi Lembaga yang sangat strategis dalam kaitannya dengan fatwa-fatwa agama, sehingga menarik minat para “ulama” dari berbagai kalangan untuk masuk di dalamnya. Sebagai representasi dan wadah bagi para ulama yang berafiliasi kepada organisasi islam, maka MUI sangat layak untuk diperebutkan dan dijadikan sebagai wadah untuk aktualisasi gagasan-gagasan keislaman dalam berbagai variannya. 

  

Namun demikian, saya tetap sampai kepada kesimpulan bahwa MUI tidak akan dibubarkan oleh siapapun termasuk oleh pemerintah. Jika kemudian di dalam MUI terdapat segelintir orang yang memiliki paham agama mulai dari kritis terhadap pemerintah maupun yang berseberangan terhadap pemerintah atau bahkan yang memiliki paham agama yang cenderung ke kanan (baca radikal), maka semestinya individu tersebut yang harus “dijinakkan” dan bukan Lembaganya yang dianulir. 

  

Jangan sampai kita akan menangkap tikus di dalam gudang dengan cara membakar gudangnya. Tikusnya memang mati, tetapi gudangnya juga ludes. Kita boleh menghilangkan pikiran radikal di dalam MUI tetapi jangan sampai menghilangkan MUI. Bagaimanapun MUI dibutuhkan oleh pemerintah maupun masyarakat dalam kerangka artikulasi kepentingan non-politik.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.