(Sumber : merdeka.com)

Idul Fitri, Safari Politik dan Pencitraan

Opini

Hari raya adalah momentum penting untuk bersilaturahmi. Mestinya silaturahmi itu tidak hanya bisa dilakukan pada hari raya saja, sebab perintah silaturrahmi di dalam Islam tidak dibatasi oleh hari raya, akan tetapi sepanjang kebutuhan. Silaturrahmi termasuk salah satu di antara kunci surga. Selain itu adalah salat malam, memberikan sedekah dan menyebarkan salam. 

  

Islam sebagai agama yang penuh rahmatan lil ‘alamin, tentu sangat menghargai atas silaturrahmi sebagai bagian dari upaya untuk menjaga kerukunan dan harmoni sosial. Silaturrahmi tidak dibatasi oleh sesama penganut  agama Islam saja tetapi juga lintas agama. Sebagai konsekuensi dari ungkapan rahmatan lil ‘alamin dan bukan rahmatan lil muslimin, maka kerahmatan itu harus terjadi pada seluruh alam, baik alam manusia, alam binatang dan juga alam tetumbuhan.  

  

Di Indonesia, silaturrahmi telah mentradisi. Dibanding dengan negara-negara Timur Tengah yang terlebih dahulu bersentuhan dengan Islam, maka tradisi silaturrahmi tidak terlembagakan sebagaimana di Indonesia. Islam di Indonesia memiliki tradisi halal bil halal, yang khas Islam keindonesiaan. Tradisi ini sudah terjadi jauh sebelum Indonesia menjadi negara modern, akan tetapi sudah terjadi di masa awal-awal penyebaran Islam di Nusantara. Tradisi ini dikembangkan oleh walisanga sebagai penyebar Islam dan kemudian diperkuat oleh organisasi-organisasi Islam di Indonesia, misalnya NU dan Muhammadiyah serta organisasi Islam lainnya.

  

Jadilah silaturrahmi menjadi ajang untuk saling bertemu, baik dalam urusan keduniaan maupun keagamaan. Bukankah tradisi yasinan, tahlilan, dzibaan, barjanjenan dan slametan adalah perluasan makna silaturrahmi? Di dalam acara-acara ini, maka semua anggota masyarakat berkumpul untuk melantunkan puja dan puji kepada Allah dan juga kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Di sini ada kebersamaan niat untuk melestarikan warisan para waliyullah dalam menjalankan ajaran Islam di Indonesia. 

  

Tradisi unik silaturrahmi di Indonesia yang sangat fenomenal adalah tradisi halal bi halal. Tradisi ini merupakan tradisi yang dikembangkan oleh masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan keislamannya. Mereka melakukan pertemuan antar keluarga, antar komunitas dan bahkan antar anggota masyarakat. Tradisi ini dikemas dengan berbagai ragam acara, misalnya dengan menggelar pertemuan di rumah makan, hotel, balai-balai pertemuan dan juga rumah. Hal ini dilakukan dalam kerangka efektivitas waktu, sebab terbatasnya waktu untuk saling berkunjung dari rumah ke rumah. Bahkan juga muncul Halal bi halal bani atau keturunan. Biasanya diselenggarakan dengan mendasarkan pada yang dianggap leluhur paling kharismatis di kalangan keluarga-keluarga.

  

Seirama dengan perkembangan politik, maka dewasa ini juga dilakukan acara safari politik yang dikemas dalam halal bi halal. Para petinggi birokrasi atau partai politik lalu membuka rumahnya atau kediamannya untuk open house dengan cara membuka lebar-lebar pintu rumahnya untuk dijadikan sebagai ajang bertemu dengan masyarakat. Presiden dan Wakil Presiden biasanya juga melakukan open house untuk warga masyarakat yang ingin bersilaturahmi dengan para pimpinannya. Para Menteri, pimpinan lembaga-lembaga negara, pimpinan organisasi dan para politisi tentu hadir di dalam acara yang hanya terjadi setahun sekali ini. Bagi masyarakat yang hadir juga biasanya memperoleh bingkisan yang memang disediakan untuk masyarakat dalam acara tersebut.

  

Pada tahun 2024 Indonesia akan mempunyai gawe besar, yaitu Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah. Dua tahun menjelang “pesta demokrasi lima tahunan” ini, maka nuansanya sudah mulai terasa. Survey-survey sudah dilakukan untuk menjaring siapa capres dan cawapres yang akseptabel di mata masyarakat. Maka sudah ketemulah siapa-siapa yang memiliki potensi untuk menjadi capres dan cawapres 2024. Kebanyakan adalah para pejabat politik, baik di pusat maupun di daerah. Bahkan juga sudah digeber hasil survey tersebut untuk disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat. Sungguh sudah mulai menarik untuk membicarakan pencapresan tersebut di media sosial.

  

Para capres dan cawapres ini tentu tidak akan meninggalkan begitu saja peristiwa penting di dalam kehidupan masyarakat, yaitu momentum hari raya Idul Fitri. Selain gambarnya yang menghiasi sudut-sudut jalan atau  jalanan umum, juga memanfaatkan momentum hari raya untuk menyapa masyarakat. Ada yang dengan open house dan ada yang dengan kunjungan ke masyarakat. Pada zaman Presiden Suharto disebut sebagai “turun ke bawah” (turba) dan di era Presiden  Jokowi disebut sebagai blusukan. Momen hari raya tentu sangat menarik untuk dijadikan program   pencitraan sebagai pejabat atau pimpinan negara dan daerah yang memiliki  kedekatan dan peduli  pada  masyarakat.

  

Di televisi dan media sosial bisa dibaca dan didengar para capres dan cawapres untuk berunjuk badan agar memperoleh citra yang baik di mata masyarakat. Ada yang berbagi beras, minyak goreng, gula atau paket sembako dan ada juga yang mengelus-elus kepala  dan bahkan juga menggendong anak-anak. Semua dilakukan di dalam konteks agar dicitrakan sebagai “kepedulian” dan “kedekatan” dengan masyarakat. 

  

Apapun yang dilakukan oleh capres dan cawapres tentu memiliki maksud dan tujuan politis, yang nanti akan menentukan kepada siapa masyarakat menjatuhkan pilihannya. Tetapi yang terpenting adalah masyarakat seharusnya semakin rasional untuk memilih pimpinan negaranya karena hal ini sangat menentukan lima tahun mendatang bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.