(Sumber : Nur Syam Centre)

Islam Wasathiyah dalam Pusaran Gerakan Radikal-Kiri Baru

Opini

Oleh: Prof. Dr. Nur Syam, Msi

(Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya) 

  

Tantangan bagi Islam Wasathiyah dengan gerakan moderasi beragama tidak hanya datang dari kelompok radikal-kanan tetapi juga kelompok radikal-kiri. Keduanya, memiliki kesamaan dalam keinginan untuk mewujudkan formalitas ideologinya di dalam kehidupan bernegara. Kaum radikal-kanan adalah mereka yang berkeinginan untuk mewujudkan formalisme agama sebagai dasar negara, sedangkan kelompok radikal-kiri adalah mereka yang berkeinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan basis dasar negaranya adalah New-Communism, atau sekurang-kurangnya adalah New-Left.

  

Pemberitaan di media sosial tentu ramai dengan informasi mengenai gerakan kiri baru atau komunisme baru. Berita-berita seperti ini viral di media, terutama akhir-akhir ini dengan munculnya keinginan DPR RI untuk merumuskan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila  (RUU-HIP). Apalagi di dalam RUU-HIP ini secara tegas menyatakan akan memeras Pancasila menjadi Trisila dan selanjutnya adalah Ekasila, yang intinya adalah gotong royong.

   

Keinginan untuk merealisasikan gagasan politik di era tahun 60-an inilah yang kemudian dijadikan sebagai alasan oleh kelompok penentangnya untuk memperkuat dalil bahwa gerakan komunisme baru itu sedang tumbuh dan hebatnya melalui para wakil rakyat atau DPR RI. Gagasan menjadikan gotong royong sebagai inti dari dasar negara inilah yang secara tersirat menggambarkan tentang falsafah dasar dan prinsip yang di masa lalu memang menjadi cita-cita sosialisme yang pernah subur di era Orde Lama.

   

Upaya untuk memeras Pancasila menjadi Trisila lalu Ekasila adalah tafsir tentang Pancasila di masa lalu, sehingga perlu untuk dikaji sebagai bahan kajian tentang sejarah perkembangan Pancasila. Tentu saja bisa  didiskusikan dan dinilai apakah masih ada relevansinya dengan situasi kenegaraan dan kebangsaan dewasa ini. Mesti dibedakan antara mendiskusikan dan upaya menerapkan Pancasila di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

   

Pada saat Orde Baru tumbang seirama dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka penafsiran Pancasila yang pernah dilakukannya dan menjadi program nasional Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pun dicaci maki karena tingkat relevansi antara produk Penataran P4 dengan kenyataan empirik yang tidak sama. P4 yang merupakan pedoman moral dengan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak sama. Di sana-sini terdapat banyak korupsi, yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah mengikuti penataran P4. Makanya, salah satu yang dilupakan oleh para pemimpin bangsa ini pasca Orde Baru adalah membicarakan Pancasila. Bahkan Pancasilapun tidak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan.

  

Sampai akhirnya kesadaran itu muncul kembali. Pada saat penataran P4 tidak dilakukan, dan upaya untuk menjadikan basis etika di dalam Pancasila tidak dihiraukan, ternyata korupsi dan nepotisme juga semakin meraksasa. Ragam korupsi menjadi semakin variatif. Di saat seperti itu, maka muncullah gagasan kembali mengajarkan Pancasila, sebagai dasar negara dan basis moralitas kebangsaan dan kemasyarakatan.

  

Di saat kesadaran baru ini muncul, lalu masyarakat dikejutkan lagi dengan upaya untuk memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila melalui RUU-HIP yang ramai diperbincangkan di media sosial. Tantangan terhadap upaya ini tentu luar biasa, dan disuarakan oleh segenap organisasi keagamaan maupun organisasi sosial lainnya. Kali ini, organisasi keagamaan yang selama ini “nyaris” berbeda visi dalam memandang relasi agama dan negara menyatu, misalnya NU, Muhammadiyah MUI dan sebagainya  dengan FPI, Alumni 212  dan lain-lain. Semua serempak untuk menolak terhadap hadirnya RUU-HIP yang dianggapnya akan mengembalikan ajaran Komunisme di Indonesia. Tidak hanya ini, organisasi sosial keagamaan lainnya juga menyuarakan hal yang sama. Termasuk juga organisasi-organisasi kepemudaan, seperti Pemuda Pancasila, Ansor, dan sebagainya.

  

Gerakan New-Left atau Sosialisme Kiri mulai hadir di saat masa transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Dengan dalih keterbukaan dan demokratisasi, maka organisasi dan paham-paham yang di masa Orde Baru diberangus memperoleh momentum untuk tumbuh dan berkembang. Salah satunya adalah dengan munculnya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang di masa lalu memiliki kecenderungan kepada gerakan kiri baru. PRD memiliki asas Pancasila Reformisme, dan keinginan untuk menerapkan sekurang-kurangnya New-Socialism sebagai basis kehidupan bernegara dan berbangsa.

  

Sebagai partai kader, partai ini didukung oleh generasi muda bertalenta politik yang hebat dan  sosok yang  pantang menyerah. Keberanian kelompok ini untuk mengusung pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah bukti betapa organisasi ini  punya nyali yang sangat besar, dan kemampuan yang hebat untuk meyakinkan para pesaingnya.

  

Pemikiran seperti ini muncul pada saat bangsa ini sedang menghadapi banyak tantangan, dan semestinya  jangan lagi menambah beban berat dengan hal-hal yang kontraprodutif. Dengan hadirnya RUU-HIP yang bersamaan dengan masa Pandemi Covid-19 dan problem ekonomi yang terpuruk, maka tentu menambah beban berat bagi para pemimpin bangsa untuk menghadapinya. Tuntutan yang demikian keras atas rencana DPR untuk menggolkan RUU-HIP tentu bisa menjadi masalah tersendiri.

  

Di tengah kenyataan seperti ini, maka organisasi Islam yang mengusung konsep Islam Wasathiyah, seperti MUI, NU, Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya yang senafas menyatakan keberatannya dan bahkan mengusulkan agar RUU-HIP dicabut dari prolegnas. Pilihan pencabutan ini menandakan bahwa kelompok Islam Wasathiyah merasa gerah juga dengan upaya untuk menafsirkan Pancasila dengan cara-cara seperti itu. Jadi, memang diperlukan ketegasan untuk menyikapi tantangan yang luar biasa berbasis regulasi ini. Dan ini bukanlah main-main.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.