(Sumber : Dokumentasi Penulis )

Jadikan Agama Lebih Fungsional: Prof. Nasaruddin Umar (Bagian Satu)

Opini

Saya tiba-tiba diundang oleh Kepala Biro Umum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Agama (Kemenag), untuk menghadiri undangan acara Halal Bi Halal yang dilaksanakan serentak oleh Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA., pada hari Rabu, 09/04/2025, jam 10.00 WIB sampai selesai. Sebagai orang yang pernah mengabdi sebagai birokrat pada Kemenag Pusat, maka tentu saja saya menyatakan siap. Padahal pada jam tersebut seharusnya saya mengajar pada mahasiswa Strata II, Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Untunglah para mahasiswa bisa diubah jam kuliahnya. Kuliah yang seharusnya jam 10.00 WIB diubah pada jam 13.00 WIB.

   

Acara ini dihadiri oleh Menteri Agama , Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA dan Wakil Menteri Agama, Dr. Romo Muhammad Syafi’i  dan diikuti oleh para pejabat eselon I, II dan III Kemenag dan juga para staf pada semua Ditjen di Kemenag. Bahkan juga hadir para Menteri Agama dan Wakil Menteri Agama, di antaranya adalah Dr. HC. Lukman Hakim Saifuddin, dan para Wakil Menteri pada zamannya. Ada yang mengikuti acara secara luring dan ada yang menghadirinya secara daring. Di antara yang hadir secara daring adalah para Rektor PTKIN hingga kepala Madrasah Aliyah Negeri dan Madrasah Tsanawiyah Negeri serta Kepala Madrasah Ibtidaiyah Negeri se Indonesia. 

   

Ada tiga hal yang disampaikan oleh Menag, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, yaitu: Pertama,  acara Halal bi Halal itu acara keagamaan khas Indonesia. Orang Arab tidak paham apa artinya halal bi halal. Dari sisi ilmu Bahasa Arab tidak dikenal istilah seperti ini. Orang Arab menjadi bingung karena ada Bahasa Arab yang khas tersebut. Makanya jangan bertanya kepada orang Arab tentang arti Halal bi Halal. 

  

Halal bi Halal pertama kali dilaksanakan di Masjid Kauman Yogyakarta. Ada sejumlah seniman di Yogyakarta yang membicarakan perlunya untuk melaksanakan acara yang bisa diikuti oleh segenap warga masyarakat. Baik orang Islam yang pernah memberontak terhadap pemerintah Indonesia maupun yang tidak pernah melakukannya. Juga bisa hadir para seniman, pedagang, pejabat dan masyarakat umum. Mereka bisa hadir dalam acara kebersamaan, yang tidak membedakan satu dengan lainnya. Acara tersebut dimaksudkan untuk merajut kebersamaan dan melupakan beban masa lalu.

  

Pada saat acara sudah akan dilaksanakan, maka ada usulan agar acara itu diberikan nama. Oleh para seniman itu lalu diberi nama Halal bi Halal. Maka di dalam  back drop acara itu terdapat tulisan “Acara Halal Bi Halal.” Pada waktu itu untuk membuat back drop harus menggunting kertas sebagai huruf, mengelem dan menempelkan pada kain back dropnya.  Kemudian disusun urutan hurufnya agar bisa dibaca. Tidak seperti sekarang yang sudah modern. Semenjak itulah maka acara yang dilaksanakan sesudah hari raya Idul Fitri disebut sebagai acara Halal bi Halal, napak tilas sebagaimana yang dilakukan di Masjid Kauman Yogyakarta. 

  

Kedua, agama memiliki fungsi yang sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa  dan bernegara. Kemenag tidak hanya berkeinginan menjadi Kementerian yang memperoleh status pengelolaan keuangan  Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) saja, akan tetapi juga berkeinginan untuk memperkuat kehidupan beragama dan menjadikan agama sebagai pedoman kehidupan secara menyeluruh. Kemenag ingin agar masyarakat semakin dekat dengan agamanya dan menjadikan agama sebagai pedoman di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

  

Kemenag harus dapat mengupgrade pemahaman dan pengamalan beragama supaya lebih fungsional di dalam kehidupan masyarakat. Jika pengamalan beragamanya semakin tinggi, berarti bahwa Kemenag memiliki peran yang baik dalam kehidupan. Masyarakat harus lebih dekat dengan Tuhan  dari pada lebih dekat kepada Iblis. Sebagai bangsa yang religious tentu harapan kita bahwa masyarakat Indonesia akan menjadikan agama sebagai pedoman di dalam kehidupannya.

  

Ketiga, halal bi halal merupakan suatu momentum untuk membangun kebersamaan. Di dalam halal bi halal ada dua hal yang mendasar, yaitu: 1) Sinergi dan energi. Sinergi  akan menghasilkan energi. Sinergi terkait dengan jamaah dan energi terkait dengan berkah. Jika jamaahnya kuat, maka berkahnya akan bertambah-tambah. Berkah adalah ziyadah tentang kebaikan. Jadi jika jamaahnya kuat, maka akan bertambah-tambah kebaikan di dalam kehidupan masyarakat. 

  

2) Ada  process of spiritualilization. Di dalam sinergi menuju energi tersebut terdapat proses the spiritualization. Artinya bahwa energi tersebut harus berbasis pada spiritualitas. Tanpa spiritualitas, maka energi tersebut akan mengarah kepada ketidakmanfaatan untuk umat manusia. Oleh karena itu, janganlah kita melakukan sinergi yang tidak berbasis pada spiritualitas, sebab akan menghasilkan energi yang tidak bermanfaat, yaitu  energi yang   tidak menghasilkan berkah dalam kehidupan.  

  

Di sinilah arti pentingnya Kemenag. Diharapkan bahwa aparat Kemenag akan dapat membawa sinergi tersebut menuju energi yang positif. Jika bisa seperti ini, maka visi Kemenag sebagai institusi yang akan membawa gerbong untuk  perilaku kebaikan dipastikan akan dapat dicapai.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.