(Sumber : Nur Syam Centre)

Jangan Mengabaikan Institusi Pendidikan NU dan Muhammadiyah

Opini

Tidak ada yang meragukan keberadaan program pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan NU, yang memang telaah sangat lama berkhidmat di dalam pencerdasan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat pokok pikiran yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945. Bukankah salah satu amanat  Pembukaan UUD 1945, bahwa kemerdekaan diharuskan menjadi wahana dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan hal ini sudah diusung oleh lembaga-lembaga sosial keagamaan, terutama yang dapat dilabel sebagai organisasi Islam Wasathiyah.

  

Muhammadiyah dikenal dengan lembaga pendidikan umumnya mulai dari Bustanul Athfal sampai Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan NU  dikenal sebagai lembaga sosial keagamaan yang memiliki program pendidikan pesantren, madrasah, perguruan tinggi  dan lembaga pendidikan informal lainnya.  Usia lembaga pendidikan ini sudah ratusan tahun. Misalnya, pesantren sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka, demikian pula sekolah-sekolah di bawah Muhammadiyah dan NU juga sudah berusia sangat panjang. Semua dilakukan dalam kerangka mencerdaskan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan UUD 1945. 

  

Pendidikan yang dikelola oleh lembaga-lembaga pendidikan di bawah NU dan Muhammadiyah adalah lembaga pendidikan yang orientasinya kerakyatan. Institusi pendidikan ini mengusung kebutuhan rakyat yang didirikan bukan dengan modal besar dan dukungan konglomerat, akan tetapi benar-benar didasari oleh niat pengabdian kepada agama, nusa dan bangsa. Program pendidikan ini didirikan dengan konsep nirlaba, bukan berpikiran untung. Apalagi untuk kepentingan pendirinya atau para gurunya. Banyak di antaranya yang didirikan benar-benar atas keinginan untuk mencari keridlaan Tuhan yang Maha Esa. Bisa dibayangkan bagaimana sebuah institusi pesantren dengan lembaga pendidikannya dapat menggratiskan seluruh santrinya, mulai dari SPP, sampai konsumsi dan akomodasinya. Bahkan nyaris seluruh pesantren memiliki program bebas biaya ini. Jika ada orang bertanya manakah pendidikan kerakyatan itu, maka pastilah jawabannya adalah institusi pendidikan di bawah NU dan Muhammadiyah. 

  

Disebabkan oleh lembaga pendidikan ini didirikan oleh semangat nirmodal, maka kualitas lembaga pendidikannya juga bervariasi. Kebanyakan adalah institusi pendidikan yang belum berkualitas dilihat dari sisi akreditasi Badan Akreditasi Nasional (BAN), karena rendahnya pemenuhan standar kualifikasi sebagai lembaga pendidikan. Jika standar kurikulum, standar tenaga Pendidik dan kependikan, standar isi dan sebagainya cukup baik, maka yang terpuruk adalah standar sarana dan prasarana, serta standar pembiayaan dan kualitas program pembelajarannya. 

  

Sejarah dan realitas empiris seperti ini penting untuk dipahami agar para pengambil kebijakan dapat memahami tentang bagaimana seharusnya mengambil kebijakan di tengah nuansa disruptif dan kekuatan media sosial yang sedemikian perkasa. Sebagai bangsa yang menghargai terhadap upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka sudah selayaknya apresiasi itu disematkan kepada institusi Pendidikan yang hebat ini.  

  

Di antara yang mengedepan dan menjadi pembicaraan viral di akhir-akhir ini adalah tentang mundurnya Muhammadiyah dan NU dari Program Organisasi Penggerak (POP)  Kemendikbud, sebagai protes  yang salah satunya dipicu oleh kenyataan hibah Kemendikbud yang dirasakan tidak memihak kepada keduanya, misalnya NU dan Muhammadiyah tidak mendapatkan alokasi anggaran yang memadai sedangkan Tanoto Foundation dan Sampurna Foundation justru mendapatkan alokasi sebesar Rp20 milyar. Tentu saja di dalam pandangan NU dan Muhammadiyah, bahwa dua organisasi ini yang seharusnya mendapatkan alokasi anggaran yang memadai, karena lembaga pendidikannya banyak dan telah mengelola pendidikan dalam kurun waktu yang sangat lama. Memang secara historis Muhammadiyah dan NU telah melaksanakan amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Betapa banyak anak bangsa yang terdidik karena peran dua organisasi besar ini. 

  

Memang proses menentukan siapa yang memperoleh bantuan dilakukan secara obyektif, sebab telah menggunakan suatu lembaga independen dengan system blind process, tidak diketahui siapa yang mengusulkan proposal. Namun, juga terdapat informasi bahwa alokasi waktu yang disediakan oleh penyelenggara sangat terbatas, sehingga lembaga pendidikan NU dan Muhammadiyah yang tidak memiliki tim kuat untuk memperoleh grant tersebut menjadi keteteran. Artinya, proposalnya bisa saja tidak standart sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan. Sedangkan, Yayasan dengan lembaga pendidikan seperti Sampurna Foundation dan Tanoto Foundation bisa memenuhi syarat karena memiliki tim manajemen yang baik. Akibatnya dengan prosedur obyektif tersebut proposal dari NU dan Muhammadiyah bisa saja terpental. Dan loloslah proposal dari yang lain.

  

Jadi artinya kita harus belajar, bahwa obyektif saja tidak cukup. Tim independen saja juga tidak cukup, sebab mesti harus melihat variabel lainnya. Misalnya, peran dan aktivitasnya selama ini terkait dengan program pendidikan nasional. Di sinilah peran memahami “sejarah” pendidikan tersebut bermakna. Jadi mestinya harus dilakukan seeded untuk membuat klaster, mana lembaga yang sangat membutuhkan bantuan dana Pendidikan dan mana yang tidak terlalu membutuhkannya, bahkan seharusnya memberikan alokasi dana perusahaannya untuk pengembangan Pendidikan. Bukankah perusahaan-perusahaan besar mesti mengeluarkan CSR untuk membantu pemerintah lewat jalur pengembangan pendidikan. 

  

Jika seandainya tim  POP sedikit saja berpikir tentang “peran” dua organisasi yang memiliki sejara panjang pendidikan di Indonesia, maka tentu harus dirancang, bagaimana melibatkan mereka itu dalam kerangka pengembangan pendidikan yang lebih luas. Jadi tidak sepadan membandingkan proposal dari lembaga yang baru saja menapaki dunia pendidikan tetapi memiliki tim manajemen yang bagus dengan lembaga pendidikan di bawah NU dan Muhammadiyah yang belum tentu memiliki tim manajemen yang sangat baik. Jadi obyektif dan prosedural terasa  tidak cukup, sebab harus juga dipikirkan tentang keberpihakan pada keadilan berbasis kearifan untuk menjadi “pengukuran” di dalam program pengembangan pendidikan.

  

Berdasarkan atas masukan-masukan masyarakat,  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem A. Makarim, menyatakan akan melakukan evaluasi dalam waktu 3-4 pekan untuk menilai ulang program POP. Program ini menggelontorkan anggaran sebesar Rp595 milyar dengan pengusul proposal sebanyak 4.464 organisasi dan yang lolos sebanyak  184 proposal dari 156 lembaga. Bantuan tersebut akan digunakan untuk  pelatihan dengan besaran anggaran  Rp20 milyar untuk pelatihan 1000 lembaga, Rp5 milyar untuk 21-100 lembaga Pendidikan dan Rp1 milyar untuk 20 sekolah.(Media Indonesia, 26/07/20). 

  

Anggaran tersebut memang rawan masalah jika organisasi penyelenggaranya tidak diketahui tingkat kredibilitasnya. Apalagi jika hanya didasarkan atas penilaian proposal belaka. Mestinya harus dilihat juga rekam jejak dan sejarah panjangnya dalam penyelenggaraan Pendidikan. Dengan demikian diperlukan perangkat lain, yang dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas anggaran dimaksud.

  

Agar secara hukum tidak bermasalah, maka KPK atau Kejaksaan perlu dilibatkan  sedari awal untuk mendampingi program ini, sehingga mengetahui secara mendasar beberapa pertimbangan yang diperlukan dengan harapan  tidak menjadi masalah di kemudian hari. Jadi, obyektif  saja tidak cukup sebab masih ada pertimbangan lain yang mendasar yaitu keadilan berbasis kearifan, etika dan sejarah bangsa. 

  

Wallahu a’lam bi al shawab.