(Sumber : Nur Syam Centre)

Jangan Mengoyak Moderasi Beragama

Opini

Moderasi beragama merupakan pilihan yang terbaik bagi semua bangsa dan masyarakat beragama di dunia. Moderasi beragama yang di dalam sikap keberagamaannya mengedepankan terhadap jalan tengah dalam beragama tentu menjadi pilihan yang tepat bagi masyarakat dan bangsa yang di dalamnya terdapat kehidupan yang multikultural. Sesuai  dengan kodrat dan iradat Tuhan yang Maha Kuasa, bahwa manusia dan masyarakat memang diciptakan dalam realitas bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.

  

Suatu masyarakat atau bangsa yang tidak mengedepankan moderasi beragama  dipastikan akan mengalami berbagai masalah dalam relasi sosial dan kebangsaannya. Lihatlah di beberapa belahan negara lain, misalnya di Timur Tengah, di beberapa bagian di Afrika, dan Amerika Latin, di mana moderasi beragama itu tidak dilakukan,  maka terjadi konflik berkepanjangan. Di Irak, Syria, dan juga Afghanistan yang di antara suku bangsanya saling menyatakan hanya kelompoknya saja yang benar, maka dipastikan terjadi konflik sosial bernuansa agama atau politik. 

  

Di Afghanistan, misalnya hanya terdiri dari tujuh suku bangsa saja ternyata konfliknya tidak selesai karena masing-masing ingin menjadi penguasa atas lainnya. Dan yang paling menyesakkan bahwa penguasaan itu dinyatakan berbasis pada ajaran agama. Padahal yang sebenarnya adalah keinginan berkuasa secara politik hanya dibingkai dengan ajaran agama. Terdapat tafsir tunggal atas nama kepentingan poltik yang terdapat di dalamnya.

  

Di Iraq dan Syria juga nyaris sama. Meskipun ISIS sudah bisa dilemahkan, akan tetapi bukan berarti tidak ada perlawanan terhadap penguasa negara. ISIS dalam waktu tertentu masih bisa membuat kejutan dengan melakukan penyerangan sporadis  yang bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan bersama di antara masyarakat. Dan sebagaimana diketahui bahwa kedua negeri ini mengalami kehancuran yang luar biasa karena peperangan yang terjadi akhir-akhir ini.

  

Mereka ini mengalami disintegrasi bangsa yang sangat mendalam karena tidak memiliki common platform yang bisa dijadikan sebagai pattern for behavior di antara mereka. Mereka menyatakan bahwa kelompoknya saja yang memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahan, sehingga yang lain harus dinihilkan. Mereka menganggap bahwa hanya kelompoknya saja yang benar dan yang lain salah. Di dalam konteks ini yang memprihatinkan lagi-lagi adalah tafsir tunggal atas nama agama. Tidak ada tafsir lain yang benar dan sahih. Makanya, semua harus mengikuti tafsirnya dan bertindak sesuai dengan tafsirnya tersebut.

  

Masyarakat Indonesia tentu masih beruntung. Realitas empiris di Indonesia tidak sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah. Mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki sikap dan tindakan yang mengedepankan moderasi beragama sebagai filsafat kehidupan beragama yang adiluhung. Masyarakat Indonesia masih memiliki prinsip kehidupan yang rukun, harmoni dan selamat. Tiga filsafat kehidupan inilah yang menuntun masyarakat Indonesia untuk terus membina dan merawat kerukunan dan harmoni untuk menggapai keselamatan.

  

Namun di Indonesia, sesungguhnya juga sedang terjadi perebutan ruang publik untuk menyatakan bahwa hanya tafsir agamanya sendiri yang benar dan yang lain salah. Ada banyak tindakan untuk merongrong sikap kebersamaan masyarakat. Ada banyak tindakan yang secara sengaja mengobok-obok keharmonisan dan kerukunan di dalam masyarakat. Ruang publik itulah yang sekarang sedang dipertaruhkan, siapa yang akan menjadi penguasanya. Apakah kelompok minoritas progresif atau kelompok mayoritas moderat yang akan menguasai panggung publik. 

  

Media sosial merupakan salah satu instrumen aktualisasi panggung publik yang menjadi rebutan berkuasa. Di ruang publik maya ini sedang terjadi pertarungan antara kelompok established  dengan kelompok baru yang berusaha secara kuat untuk menjadi penguasa baru. Di sini terjadi pertarungan antara kelompok salafi dan NU khususnya sebagai pengusung gerakan moderasi beragama. Yang diketahui, kelompok Salafi sebagai penyerang dan kelompok NU sebagai bertahan. Serangan tersebut dilakukan bertubi-tubi oleh juru bicara kelompok Salafi yang di dalam banyak hal mengkaitkannya dengan amalan agama.


Baca Juga : Perlukah Pencantuman Kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk?

  

Di media sosial terdapat serangan demi serangan yang dilakukan oleh kelompok salafi terhadap amalan-amalan orang NU dengan label Takhayul, Bidh’ah dan Churafat (TBC). Misalnya amalan mencium Mushaf al-Qur\'an ba’da membacanya, atau kegiatan tahlilan, yasinan, atau membaca wirid secara jamaah ba’da shalat rawatib. Oleh kelompok Salafi hal ini dianggap sebagai bidh’ah karena tidak dilakukan di zaman Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mencium Mushaf al-Qur\'an, tidak pernah tahlilan dan yasinan atau membaca wirid sesudah shalat jamaah rawatib. Bahkan shalat tarawih 20 rakaat atau bahkan 36 rakaat juga dianggap sebagai bidh’ah karena itu bukan praktik amalan ibadah Nabi Muhammad SAW. Shalat tarawih 20 rakaat dilakukan  pada zaman Khulafaur Rasyidin, sehingga juga dianggap bidh’ah. Selalu dinyatakan oleh kelompok Salafi, mana yang benar mengikuti Nabi Muhammad SAW atau mengikuti sahabat Nabi Muhammad SAW. Maka umat Islam harus mengikuti Nabi Muhammad SAW dan selain itu tertolak. Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah tahlilan dan yasinan secara berjamaah, maka siapapun yang melakukannya tentu termasuk tidak mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.

   

Cara penafsiran terhadap fikih yang hitam putih dengan label bidh’ah yang pasti dhalalah (sesat) itu menjadi senjata andalan kaum Salafi untuk menyerang orang NU. Padahal di dalam prinsip dasar hukum Islam, maka dikenal beberapa  hal, yaitu:  halal, haram, makruh dan mubah. Para kyai NU menafsirkan bahwa yang tidak jelas-jelas dilarang oleh Nabi Muhammad SAW tentu bisa memiliki konotasi bahwa hal tersebut merupakan kebolehan dilakukan. Hukum asal di dalam setiap hal adalah kebolehan selain terdapat larangan atau kewajiban yang melekat kepadanya. Jika ada larangan yang melekat padanya maka menjadi haram dan jika terdapat kewajiban melakukannya maka masuk dalam prinsip halal. 

  

Bahkan yang menyesakkan adalah penghinaan, pelecehan  dan penistaan terhadap kyai-kyai NU yang selama ini dihormati di kalangan Nahdhiyin.  Bahkan Kyai Habib Luthfi, seorang kyai ahli tarekat yang sangat masyhur kealimannya pun tidak luput dari sasaran penghinaan. Tindakan yang dilakukan oleh Banser Pasuruan untuk melakukan klarifikasi terhadap content kebencian di media sosial baru-baru ini merupakan contoh bagaimana praktik kontra narasi kebencian, pelecehan dan penistaan yang dilakukan oleh kelompok Salafi ini. Berdasarkan kenyataan bahwa mereka yang melakukannya adalah kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selama ini dikenal sebagai eksponen yang sangat anti terhadap kelompok Islam moderat dan juga anti Pancasila dan NKRI. 

  

Selama ini Islam moderat yang diwakili oleh  NU memang selalu menjadi bulan-bulanan kelompok Salafi. Kaum Salafi  terus menyerang amalan NU dengan pedasnya, dengan ungkapan yang membuat orang NU meradang. Bahkan ada di antara kyai NU yang menyatakan bahwa jika NU terus menerus diserang, maka suatu ketika akan melakukan serangan balik, dan NU bisa bersatu ketika diserang. 

  

Saya kira, Indonesia  sudah menjadi negara dan bangsa yang selama ini dikenal sebagai negara dan bangsa yang mengagungkan kerukunan dan keharmonisan. Oleh karena itu, sudah  selayaknya jika semua komponen bangsa Indonesia  juga menjaga kerukunan dan keharmonisan. Jangan sampai ada pelecehan, penghinaan dan penistaan terhadap siapapun, sebab semua manusia saya kira tidak suka dengan tindakan tersebut. 

  

Janganlah kita melakukan tindakan memecah belah negeri ini dengan tindakan yang sia-saia. Semua di antara kita tetap menginginkan bahwa negeri ini menjadi negeri yang aman dan damai, jauh dari konflik sebagaimana terjadi di Timur Tengah dan belahan dunia lainnya.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.