Jokowi, Organisasi Keagamaan dan Pertambangan
OpiniHarus diakui bahwa upaya Presiden Joko Widodo untuk memberikan peluang mengelola pertambangan atau pemberian izin tambang bagi organisasi keagamaan merupakan upaya inovatif bagi organisasi kemayarakatan (ormas) keagamaan di dalam dinamika perekonomian yang semakin kompetitif dewasa ini. Upaya ini tentu bukanlah sesuatu yang berlebihan dalam kapasitas kebijakan pemerintah untuk memberikan program insentif bagi ormas keagamaan.
Di berbagai media social tentu saja ramai tentang informasi mengenai pemberian peluang bagi institusi keagamaan untuk mengelola tambang melalui pemberian izin tambang. Saya tentu tetap mengapresiasi program ini dalam kerangka untuk memberikan peluang bagi institusi keagamaan agar lebih “berdaya” dalam pengembangan program ormas keagamaan ke depan.
Ada bermacam-macam upaya yang dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam memberikan insentif bagi ormas keagamaan. Ada yang memberikan asset berupa tanah, bangunan atau tanah dan bangunan, bantuan finansial dan pengelolaan asset negara untuk kepentingan pengembangan program institusi keagamaan. Di masa lalu, misalnya pesantren pernah diberikan peluang untuk mengelola kehutanan rakyat meskipun kemudian upayanya nyaris tidak lagi terdengar. Bisa berhenti, bisa juga gagal.
Salah satu tugas negara adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana mandate Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam konteks yang lebih luas tentu adalah pemberdayaan institusi social, termasuk lembaga keagamaan. Institusi keagamaan harus diakui sebagai lembaga yang memiliki kontribusi penting atas keterlibatannya di dalam pembangunan masyarakat. Memperkuat institusi social, politik, ekonomi dan keagamaan merupakan upaya untuk memperkuat korporasi social yang sungguh penting di dalam proses demokrasi. Semakin menguatnya institusi social tentu menjadi penanda bagi semakin majunya demokrasi pada suatu negara. Jika yang kuat hanya state corporation, dan civil corporation melemah, maka berarti bahwa demokrasi tidaklah berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Di sinilah letak strategisnya program inovatif yang disampaikan oleh Presiden Jokowi di dalam pengembangan institusi keagamaan di dalam konteks community organization. Harus diingat bahwa penguatan institusi keagamaan merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat organisasi social kemasyarakatan. Di dalam community organization tentu harus ada sejumlah agen yang berperan partisipatif di dalam pengelolaan organisasi social keagamaan dimaksud. Jadi di dalam penguatan organisasi tentu yang didahulukan adalah penguatan agen perubahan untuk melakukan peran social agency sehingga roda program apapun yang diancangkan akan dapat berjalan sebagaimana harapannya.
Benarkah bahwa program pemberian izin tambang bagi organisasi keagamaan akan bermakna fungsional bagi organisasi tersebut, atau akan memasung organisasi social keagamaan yang semula memiliki “kemerdekaan” untuk semakin “seiya sekata” dengan kebijakan apapun dari negara atau program ini benar-benar akan memberikan peluang bagi organisasi social keagamaan untuk mandiri dalam penganggaran organisasinya?
Saya mencoba untuk membuat tipologi atas social response pada masalah dimaksud. Ada tiga tipologi yang menggambarkan respon social atas pernyataan Presiden Jokowi dimaksud. Pertama, pandangan optimistik. Pandangan ini berbasis pada kenyataan bahwa organisasi keagamaan merupakan organisasi yang pantas diberikan peluang untuk terlibat di dalam pengelolaan asset negara yang di dalam hal ini adalah izin pertambangan. Bahan tambang adalah asset negara yang tidak bisa diperbaharui tetapi dapat dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat termasuk institusi social. Pandangan ini diwakili oleh tokoh organisasi seperti KH. Yahya Cholil Tsaquf (NU). Gus Yahya di NU Online menyatakan bahwa: “pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan merupakan tanggungjawab yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya agar tujuan mulia dari kebijakan itu sungguh-sungguh tercapai.” Lebih lanjut dinyatakan bahwa: “Nahdlatul Ulama telah siap dengan sumber daya manusia yang mumpuni, perangkat organisasi yang lengkap dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab tersebut.” (3/5/2024).
Kedua, respon pessimistic atau pandangan yang menyatakan bahwa pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan di dalam mengelola pertambangan merupakan upaya untuk memasukkan organisasi ke dalam jaringan pemerintah, sehingga akan mudah dikendalikan. Jebakan batman. Pandangan ini didasari oleh realitas empiris tentang betapa banyaknya masalah yang dihadapi di dalam dunia pertambangan.
Ada banyak kasus korupsi yang terjadi yang melibatkan berbagai actor di dalam dunia pertambangan. Padahal pertambangan tersebut dikelola oleh professional di dalam dunia ekonomi dan bisnis serta professional dalam dunia ekploitasi pertambangan. Organisasi social keagamaan nyaris tidak terdapat ahli yang bisa berkecimpung all out untuk eksploitasi pertambangan dimaksud. Ketidaksiapan actor yang secara professional dalam mengelola tambang dikhawatirkan akan memasukkan organisasi keagamaan dalam jurang masalah. “Berbagai masalah tersebut menimbulkan prasangka bahwa konsesi tersebut akan menjerat terhadap organisasi keagamaan, bahkan dikhawatirkan ada maksud politik yang terselubung” (Duta.co 5 Juni 2024).
Ketiga, pandangan situasional. Pandangan ini berbasis bahwa ada aspek positif dan negative di dalam keterlibatan organisasi keagamaan untuk mengelola atau pemberian izin tambang. Pemberian izin tambang itu laksana buah simalakama bagi ormas keagamaan. Aspek positifnya memang bisa lebih banyak dibandingkan aspek negatifnya, dengan catatan bahwa pengelolaannya harus hati-hati. Jadi yang terpenting adalah tindakan kehati-hatian. Sebagaimana diungkapkan oleh Lukman Hakim Saifuddin (mantan Menteri Agama) dalam cnbc.indonesia, 05/06/2024, bahwa: “pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan jika tak berbasis pada penerapan nilai keadilan, keterbukaan, profesionalitas, dan tanggung jawab, maka alih-alih tebarkan kesejahteraan, yang muncul justru fitnah dan musibah.”
Peran yang harus dimainkan oleh institusi keagamaan sesungguhnya adalah bagaimana menjadikan nilai agama sebagai ruh dalam segala aktivitas kehidupan, termasuk kehidupan social ekonomi. Tidak hanya aspek social keagamaan saja tetapi juga sosial politik dan peradaban. Mengelola pertambangan tentu melibatkan dimensi profesionalitas berbasis nilai spiritual di dalam ekonomi pertambangan. Maknanya adalah bagaimana menempatkan nilai agama di dalam kegiatan ekonomi. Jangan sampai atas nama ekonomi lantas tidak menempatkan nilai-nilai keagamaan di dalam aktivitas pertambangan. Dunia ekonomi yang sarat dengan moral hazard tentu harus dihindari.
Semua itu akan dapat dieliminasi jika para pengelola pertambangan dapat menjadi agen bukan sekedar actor yang professional dan berkarakter. Makanya, sebelum terlibat di dalam mengelola pertambangan diperlukan pembahasan yang sangat mendalam melibatkan para pakar di bidang ekonomi makro, ekonomi pertambangan, para ulama dan para ahli pengambil kebijakan public untuk merumuskan secara mendalam tentang tata kelola pertambangan yang berbasis nilai keagamaan. Tidak hanya perspektif fiqih pertambangan tetapi lebih luas terkait dengan social, politics and economics analysis atas ekonomi pertambangan.
Tetapi di atas itu semua yang terpenting sesungguhnya adalah siapa yang akan mengelola, sebab sebagai aktivitas ekonomi juga dipastikan akan terlibat di dalam ekonomi politik dengan dalilnya: “who gets what, by what means and how much”. Mau begini?
Wallahu a’lam bi al shawab.