(Sumber : Suara Dewata.com)

Kala Anak Belasan Tahun Terpapar Radikalisme

Opini

Sungguh kita tidak habis pikir mendengarkan pernyataan anak belasan tahun yang menyatakan bahwa dia siap untuk melakukan bom bunuh diri. Baginya bahwa mati bom bunuh diri tersebut merupakan mati syahid yang diidamkan oleh banyak orang. Dengan wajah yang polos dan tanpa ekspresi ketakutan dan penekanan pada bagian penting pembicaraannya memberikan indikasi bahwa anak belasan tahun tersebut memahami apa yang dibicarakan. Bukan diintimidasi atau dipaksa tetapi benar-benar pemikirannya sendiri.

  

Secara agak lengkap beginilah rekamannya. Di dalam unggahan wawancara tersebut dinyatakan: “…. Kalau ini matinya senyum, “bahagia maksudnya”. “Semua orang kalau disuruh mati syahid langsung pada seneng. Kalau mati syahid itu meledak pakai  bom.  Kalau  orang mati itu  kesakitan, kalau mati syahid tidak ada rasa-rasapun, malahan ada yang badannya  sudah kebeler gede,  masih bisa ngomong bahkan tersenyum. Tulisan  ada di Youtube”. “Kamu mau mati syahid”, dia menjawab: “aku maulah. Bom ini di mobil di dalamnya ada bom nanti dia jalan ke tempat kompi orang kafir nah  nanti di depan kompi orang kafir dipencet bomnya, terus bomnya meledak kayak bom nuklir.” (nursyam.uinsby.ac.id 27/02/2024).

  

Radikalisme itu bisa menyasar siapa saja. Bisa menyasar orang dewasa, anak muda dan juga anak-anak usia belasan tahun. Di dalam tayangan Youtube ini bahkan bukan sekedar radikalisme tetapi terorisme. Anak usia belasan tahun ini sudah bisa mengidentifikasi sasaran terorisme adalah orang kafir. Orang yang dianggap sebagai mengingkari kebenaran ajaran Islam dalam konsepsi Gerakan Salafi Jihadi atau Salafi Takfiri. 

  

Benarlah kiranya bahwa jika seseorang sudah terpapar ajaran Salafi Takfiri maka tinggal selangkah lagi akan memasuki Salafi Jihadi. Dan sumber awal dari Salafi Takfiri adalah Salafi Wahabi, tentu tidak semuanya. Mula-mula hanya menyalahkan pengamalan agama Islam kelompok selain kelompoknya, lalu masuk ke kelompok yang mengkafirkan kelompok Islam lain dan berujung pada Salafi jihadi yang rela untuk membunuh orang lain yang dianggap tidak sejalan dengan tafsir ajaran agamanya. Secara konseptual, bahwa terjadinya radikalisme dimulai dari sikap intoleran atas orang yang berbeda dengan dirinya, khususnya terkait dengan paham keberagamaannya.

  

Laporan Setara Institut, bahwa  berdasarkan  survey yang dilakukan pada Januari dan Pebruari 2023, pelajar intoleran aktif di sekolah tingkat menengah atas (SMA) dan sederajat sebesar 2,4%. Selain itu berdasarkan indeks potensi radikalisme di kalangan perempuan, urban dan generasi muda maka  untuk generasi Z ada 12,7%, sementara untuk milenial ada 12,4%. Data tersebut memberikan gambaran bahwa anak muda memang rentan atas paham radikalisme. (prokal.co 04/08/23). Jika data  ini dikaitkan dengan tayangan Youtube mengenai kesediaan anak usia belasan tahun untuk mati melalui bom bunuh diri dan menjadi mati syahid, maka hal ini menjadi pembenaran atas data potensi radikalisme di kalangan anak-anak muda usia.

  

Sesuai dengan pemaparan data BNPT,  bahwa anak muda usia 17-24 rentan terpapar radikalisme. Dinyatakan bahwa Dwi Permana umur 18 tahun dari Bogor meledakkan Bom JW. Mariott, lalu Umar 19 tahun yang meledakkan bom di Suriah anak Banten. Jumlah anak muda yang terpapar radikalisme kurang lebih 900-1.000 orang. (VOA 12/09/2019). Data ini juga menggambarkan bahwa anak muda Indonesia bisa terpapar radikalisme. Data ini memberikan pemahaman bahwa radikalisme bisa menyasar siapa saja. Jika di masa lalu sasarannya orang dewasa, maka sekarang sudah menyasar generasi muda, bahkan anak usia belasan tahun.   

  

Mereka bisa terpapar radikalisme difasilitasi oleh unggahan di media social yang sedemikian bebas akhir-akhir ini. Media social menjadi instrument atas keterpaparan generasi muda atas paham radikal. Mereka bisa mengakses informasi apa saja melalui media social. Pornografi, kekerasan simbolik dan actual serta paham radikalisme bahkan terorisme bisa diakses melalui media social. Mula-mula menemukan situs-situs radikal dan kemudian diarahkan untuk akses yang lebih serius dalam gerakan radikalisme. Sebagaimana penuturan Abu Fida, bahwa dirinya terpapar radikalisme melalui bacaan. Pada waktu itu buku tulisan ulama-ulama garis keras, misalnya karya Syekh Abdullah Azzam, lalu menemukan perkawanan dalam gerakan radikal dan akhirnya memutuskan untuk menjadi bagian dari gerakan radikalisme. 

  

Tidak ada yang bisa menolak kehadiran media social dengan segala kontennya. Jika menggunakan the bullet theory, maka media sedemikian powerfull dalam mempengaruhi terhadap perilaku manusia. Apa saja yang diunggah melalui media social akan dapat mempengaruhi atas pemahaman dan perilaku manusia. Bagi kalangan generasi muda,   unggahan di media social adalah kebenaran. Mereka belum memiliki kemampuan menyaring, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Di kala mereka membaca atau mengunduh informasi dari kelompok Salafi Takfiri atau Salafi Jihadi juga dianggap sebagai kebenaran. Mereka yang usianya 10-15 tahun, kala mereka mencari jati dirinya, maka mereka bertemu dengan situs-situs yang bertujuan untuk mempengaruhi terhadap perilaku social keagamaannya, khususnya generasi muda. Pada saat seperti itu, maka rentan terpengaruh gerakan radikal. 

  

Oleh karena itu, pendampingan orang tua dan dialog kekeluargaan atas apa yang mereka ketahui dari media social dirasakan sangat penting. Tidak boleh mereka itu berselancar dalam dunia media social tanpa “pengawalan” dari keluarganya. Jadi, peran keluarga sangat penting agar mereka tidak jatuh ke dalam pelukan beragama yang ekstrim.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.