(Sumber : NU Online)

Kala Masyarakat Terprovokasi Framing Media: Gus Yaqut dan Toa

Opini

Tidak ada yang lebih gaduh dibandingkan dengan dunia media sosial kita dewasa ini. Jika ada sebagian masyarakat yang menghendaki kehidupan yang aman dan damai, tenteram dan bersahabat, maka dunia sosial justru sebaliknya. Terdapat sebuah dalil bahwa jika media sosial hanya menyajikan yang informatif normatif maupun informatif empiris, maka hal itu biasa saja. Tetapi jika media sosial mampu membuat dunia sosial kita ramai, penuh gejolak dan perlawanan, maka inilah yang disebut sebagai  keberhasilan.

  

Demokratisasi dan keterbukaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari era reformasi  yang ditandai dengan berbagai upaya pemerintah untuk tidak mengatur secara ketat terhadap informasi melalui media, baik media cetak, media audio dan audio visual maupun media online. Keterbukaan menjadi “dewa” baru dalam semua aspek kehidupan, terutama media sosial sebagai media informasi. Salah satu dampak reformasi adalah semakin meningkatnya transparansi dalam seluruh kehidupan sosial. Bahkan sering dinyatakan: “Era reformasi ditandai dengan semua dibuka kecuali yang ditutup, berbeda dengan orde baru yang semua ditutup kecuali yang dibuka. Pada masa orde baru, pemerintah memegang kendali informasi secara keseluruhan, berbeda dengan orde reformasi yang kendali informasi di tangan masyarakat sepenuhnya”. 

  

Sesungguhnya, masyarakat sekarang sedang berada di era euphoria kebebasan berekspresi. Apa saja bisa diunggah melalui media sosial. Masyarakat sedang berada di era menjadi jurnalis. Jika pada era sebelumnya, tidak terdapat kebebasan berekspresi, maka sekaranglah saatnya untuk berekspresi. Apalagi dengan keberadaan media sosial yang bisa diakses oleh setiap orang yang memiliki smart phone. Ada yang menjadi photographer, essays, seniman, kritikus dan sebagainya. 

  

Jika diamati di media sosial, misalnya Whatsapp atau Youtube, Instagram atau facebook, maka dengan mudah bisa dirasakan betapa telah terjadi proses perubahan  perilaku masyarakat dewasa ini. Betapa riuh rendahnya konten media dengan berbagai informasi, baik yang benar ataupun yang hoaks. Semua bersatu padu dalam unggahan di media sosial. Namun demikian, yang terkadang membuat rasa risih adalah adanya aktor atau pelaku yang hanya berkeinginan untuk mengejar viewer, follower atau rating bagi media sosial terutama media online. Salah satu ciri masyarakat transisi adalah semua yang diunggah aktor atau pelaku pasti dilihat atau  disubscribe. Tanpa ada sensor secara individual atas unggahan melalui media sosial dimaksud. 

  

Beberapa hari terakhir,  dunia media sosial diramaikan dengan pernyataan Gus Menag, Yaqut Cholil Qoumas tentang penggunaan toa atau pengeras suara di musala atau masjid. Saya tentu beruntung karena membaca hasil transkrip yang sudah dilakukan oleh Buhari  dosen  IAIN Pontianak,  mengenai penjelasan Menag tentang pengeras suara di musala atau masjid. Saya yakin tidak banyak orang yang membaca secara utuh atas penjelasan Menag. Kebanyakan orang memberikan komentar atas framing social media tentang ucapan Menag. Apa yang dibaca sebagian masyarakat adalah framing media tentang ucapan Menag. Di antaranya adalah “Menteri Agama menyamakan istilah gonggongan anjing dengan adzan”, kemudian memicu tanggapan netizen yang sangat variatif, baik yang pro maupun kontra. 

  

Jika mengamati terhadap unggahan di media sosial, maka dapat ditipologikan  dalam beberapa kepentingan. Pertama, kelompok yang secara sadar mengunggah informasi melalui media sosial dengan tujuan yang diperjuangkannya. Kelompok ini tidak hanya mengunggah pandangan pribadinya tetapi juga seluruh suara minor dan kritis atas  semua kebijakan pemerintah. Tidak hanya dimensi religious yang dibidik tetapi ada tujuan politis. Apa yang dikritisi nyaris semua kebijakan pemerintah. Mengamati postingan di media sosial, dengan sangat jelas. Mereka adalah kelompok yang mengusung tema-tema Islam politik. Jadi memang ada agenda setting dengan tujuan untuk gagasan Islam politik yang tidak lelah diperjuangkan. Mereka gabungan politisi, akademisi dan tokoh-tokoh yang semenjak lama memiliki agenda Islam politik.

  

Kedua, kelompok yang berada di dalam satu frame  dengan kebijakan pemerintah. Kelompok ini cenderung membela kebijakan pemerintah secara utuh. Kelompok ini terdiri dari politisi, akademisi, dan tokoh-tokoh yang selama ini berada di dalam pemerintahan. Kelompok ini cenderung menjadi tameng pemerintah dari berbagai serangan yang dilakukan oleh lawan politik, baik kaum Islam politik maupun kelompok yang selama ini dikenal kritis terhadap pemerintah. 

  

Ketiga, kelompok independen yang terdiri dari akademisi dan tokoh yang memiliki konsern terhadap pembangunan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Kelompok ini terkadang menjadi pembela pemerintah jika dilihat bahwa kebijakan tersebut  memiliki basis kepentingan yang baik, dan juga sekali waktu melakukan kritik jika terdapat kebijakan yang berdasarkan analisis ternyata tidak memiliki signifikansi kuat bagi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. 

  

Lalu di mana relevansi pernyataan Menag terkait dengan tiga tipologi ini. Kelompok pertama sangat reaktif, dan menganggap bahwa semua framing produk media benar dan menjadi momentum penting untuk melakukan tindakan bullying, character assassination, dan penyebaran informasi untuk memperkuat dari berbagai perpektifnya, misalnya dari aspek kebahasaan, politik, sosial, agama dan kebudayaan. Mereka melakukannya secara sistemik dan massif. Semua bergerak pada satu agenda setting dengan tujuan kelompoknya. Jika dicermati, maka prosesnya adalah framing media, agenda setting dan tujuan politis yang diinginkan. Dari bullying ke character assassination ke melengserkan.

  

Kelompok kedua dan ketiga ini sesungguhnya memiliki “kesamaan” memberikan dukungan kepada pemerintah, termasuk dukungan kepada Menag dalam SE Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Di dalam memahami  perbandingan antara adzan dengan suara gonggongan anjing, maka jika  dikaji  secara teliti menghasilkan konsep logical fallacy (kesalahan logika), Menag tidak sedang membandingkan antara lafal adzan dengan suara anjing tetapi memberikan contoh yang lebih realistis. Konteks pembicaraan itu tidak berada di dalam konteks melarang penggunaan pengeras suara di musala dan masjid, tetapi pengaturan yang memang menjadi ranah negara. Negara memiliki kewenangan untuk mengatur relasi antar umat beragama. Menyontohkan gonggongan anjing merupakan upaya untuk memberikan kejelasan dari aspek kebisingan dan  keramaian jika hal tersebut terjadi. Ada upaya dari Menag untuk berada di dalam ruang empati atas realitas yang diandaikan. 

  

Dari sisi tujuan framing media yang bertujuan untuk memperoleh rating, viewer atau follower tentu sudah tercapai, yaitu menghasilkan produk informasi yang menyentak dan eye catching. Bagi media social, akibat itu tidak menjadi pertimbangan. Kesalahan logika dan akibat hukum juga tidak menjadi pertimbangan. Tujuan untuk menaikkan rating, viewer dan follower justru lebih penting. Dari aspek agenda setting juga berhasil, terbukti ada yang melakukan unjuk rasa, tindakan bullying dan character assassination bahkan sampai munculnya tindakan hukum dan keinginan pelengseran. Hal yang berkeinginan memberikan penjelasan secara lebih obyektif juga memasuki ruang public secara deras. Makanya dari dimensi “keseimbangan” tentu sudah memberikan gambaran  kepada publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. 

  

Sesungguhnya kebebasan dalam ranah publik di Indonesia benar-benar kebebasan tanpa batas. Dan anehnya orang-orang yang mengusung konsep kebebasan bertanggung jawab atau bahkan kebebasan terbatas juga melakukan hal yang sama. Jadi rasanya masyarakat di negeri ini lebih liberal dari masyarakat liberal sebagaimana yang sering dilabelkan kepada masyarakat di negeri lain. Bahkan yang menyedihkan terkadang ada individu yang  membungkus kebebasan itu dengan dalil agama.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.