Kala Radikalisme Sudah Menyasar Ke Lembaga Pendidikan
OpiniAda strategi baru yang digunakan oleh kelompok radikalis dalam kerangka menyebarkan gagasannya di tengah masyarakat Indonesia. Hal yang saya maksudkan dengan radikalisme adalah individu atau lembaga baik social, agama, maupun pendidikan yang mengajarkan tafsir agama yang berbasis pada intoleransi dan anti-negara.
Ada banyak indikasi yang dapat dijelaskan tentang intoleransi adalah dengan membenci atas paham keagamaan yang berbeda dari kalangannya, mereka anti tafsir agama dari kelompok lain, anti terhadap orang yang lain yang berbeda keyakinan agama. Sedangkan anti-state adalah individu atau organisasi yang memiliki indicator tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara, UUD dan turunannya yang dianggapnya produk manusia dan tidak berasal dari Tuhan, dan anti atas semua produk yang dilahirkan oleh negara dan masyarakat yang tidak sesuai dengan keyakinan dan paham keagamaannya.
Strategi yang digunakannya adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga keislaman, misalnya lembaga tahfidz, dan juga pesantren-pesantren yang berafiliasi pada gerakan Islamis. Lembaga pendidikan mulai dari Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-Kanak (TK), SD, SMP, dan SMA yang berafiliasi kepada gerakan Islamis sudah menjamur di seluruh Indonesia. Nyaris di semua kabupaten/kota di Indonesia sudah terdapat Sekolah Islam Terpadu, seperti SD IT, SMP IT dan SMA IT. Mereka mengusung tema-tema pendidikan modern dan berkualitas, sehingga banyak menyerap anak-anak dari kelas menengah muslim ke atas. Bahkan ada yang tidak menggunakan nama-nama Islam terpadu tetapi memiliki visi yang sama dengan lembaga pendidikan Islam Terpadu, misalnya untuk menanamkan ajaran Salafi Wahabi di Indonesia. Yang menjadi daya tarik dari lembaga-lembaga pendidikan ini adalah kekhususan dalam hafalan Al-Qur’an atau memiliki kegiatan tahfidzul Qur’an dan lembaga pendidikan unggul.
Di Surabaya dan Malang didapati lembaga-lembaga pendidikan di antaranya tidak mau melaksanakan upacara bendera, karena di dalamnya terdapat penghormatan bendera yang dianggapnya sebagai prilaku kekafiran karena memberikan penghormatan kepada benda. Penghormatan hanyalah kepada Allah SWT. Ketidaksediaan untuk menghormat bendera adalah awal mula dari anti-state. Secara tersembunyi lembaga pendidikan ini mengajarkan agar dasar negara bukan Pancasila yang dianggap thaghut dan secara pelan tetapi pasti mengajarkan tentang negara Islam.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Herianda Dwi Putra Siregar dalam artikelnya bahwa menjamurnya sekolah Islam Terpadu menandai atas konservatisme keagamaan yang akar-akarnya dapat ditemukan pada gerakan tarbiyah di kampus umum, seperti UGM, UI dan ITB. (Siregar, Gelombang Islam Transnasional Dalam Sekolah Islam Terpadu, Vol.2, No 1 (2021).
Ismail Yusanto sebagai ideolog HTI juga memiliki sejumlah Yayasan Pendidikan, misalnya Yayasan Insantama, yang berjumlah 22 sekolah yang tersebar di Bogor, Bekasi, Makassar, Kendari, Ternate, Malang, Tangerang Selatan, Jember, Pontianak dan lainnya. (Khilafah.ID, 2021). Lembaga pendidikan ini tidak mengajarkan Pendidikan Kewarganegaraan (PPKN), menolak Pancasila, dan secara terstruktur mengajarkan negara Islam atau khilafah di dalam program pembelajaran ekstra-kurikuler.
Secara cerdik mereka menyelenggarakan pendidikan yang berada di dalam Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang tidak sedemikian aware atas fenomena radikalisme di Indonesia. Kementerian ini hanya menyandarkan pada kelengkapan administrasi dan pemenuhan persyaratan untuk mendirikan lembaga pendidikan. Kemudian di dalam evaluasi juga lebih banyak menekankan pada aspek akademis yang memang secara sengaja mendirikan lembaga pendidikan unggul. Kemendikbudristek tidak mengkaji dan meneliti adakah hidden agenda yang diusung oleh Lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Sebenarnya sudah sangat banyak hasil penelitian dan juga laporan-laporan yang disampaikan oleh LSM atau organisasi social keagamaan lain, akan tetapi Kemendikbudristek nyaris tidak menghiraukannya.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan Kementerian Agama atau Kemenag yang sedemikian ketat di dalam melakukan pengawasan atas lembaga-lembaga pendidikan di bawah koordinasinya. Tidak tanggung-tangguh jika ada guru atau ASN yang terlibat di dalam HTI atau organisasi yang mengusung tema khilafah, negara Islam dan anti-state, maka dengan sigap akan ditindaklanjuti dan bahkan ada di antara mereka yang kemudian diberhentikan dengan tidak hormat. Artinya Kemenag benar-benar memperhatikan atas aparatnya dan institusi pendidikan di bawahnya agar tidak terkontaminasi oleh radikalisme.
Oleh karena itu ada beberapa hal yang penting yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, Kemendikbudristek sampai jajaran terbawah di tingkat kecamatan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi atas lembaga pendidikan di bawahnya. Jangan membiarkan lembaga pendidikan menengah ke bawah berkembang dengan hidden agendanya. Jika memang melakukan penyimpangan dengan mengajarkan khilafah, negara Islam dan jihad kekerasan, maka harus dihentikan ijin operasionalnya.
Kedua, Kementerian Agama dan seluruh jajarannya tidak boleh mengendorkan pengawasan dan evaluasi atas institusi pendidikan di bawah koordinasinya dengan pengawasan yang ketat dan berdaya guna. Tidak boleh lengah di tengah semakin semaraknya metamorphosis gerakan HTI dengan berbagai varian programnya.
Ketiga, hendaknya dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga swadaya yang selama ini terlibat di dalam Gerakan Moderasi Beragama. Basis regulasi tentang pengawasan, evaluasi dan pembinaan sudah dimiliki, sehingga tidak boleh ada keraguan di dalam melakukannya.
Oleh karena itu, orang tua atau wali murid di dalam menyekolahkan putra-putrinya harus benar-benar memilah dan memilih mana sekolah dengan agenda tersembunyi gerakan radikalisme dan mana yang mengembangkan gerakan Islam wasathiyah. Jika kita memasukkan putra-putri kita ke institusi pendidikan yang memiliki hidden agenda untuk menolak Pancasila, NKRI da UUD 1945, maka berarti kita telah menumbuhkan bibit anti-state.
Makanya, kita harus melek literasi tentang pendidikan di Indonesia agar kita dapat menyiapkan generasi yang akan datang dengan pemahaman beragama yang rahmatan lil alamin dan bukan beragama yang mengembangkan kekerasan.
Wallahu a’lam bi al shawab.