Kala Sarung Naik Kelas
OpiniSarung merupakan pakaian khas para santri, baik santri di pondok pesantren maupun santri dalam arti luas. Orang Islam yang taat pada agamanya dipastikan sering menggunakan sarung untuk kepentingan salat atau dipakai kala di rumah. Sarung memang identik dengan pakaian informal yang sering menghiasi di kala ada di rumah. Saya pun terbiasa untuk menggunakan sarung baik waktu salat maupun kala santai di rumah. Sarung sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Nusantara.
Di masa lalu, sarung juga digunakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Sarung sudah menjadi tradisi pakaian khas masyarakat Nusantara, baik anak-anak maupun orang dewasa. Memang enak bersarung itu, tidak ribet dan mudah memakainya atau melepasnya. Pokoknya dalam nuansa santai, terutama di rumah, maka yang paling enjoy tentu menggunakan sarung. Makanya setiap rumah tangga dipastikan ada sarungnya, bahkan mengikuti jumlah lelaki dan perempuan di dalam keluarganya.
Nyaris seluruh masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat Jawa, yang tidak mengenal sarung. Mengenal dan memakainya. Sarung adalah bagian dari kehidupan. Tanpa sarung hidup menjadi tidak nyaman. Jika saat shalat tiba atau malam menjelang, maka yang dicari adalah sarung. Sarung dipakai untuk selimut di kala tidur dan dipakai sebagai pakaian untuk menghadap Allah SWT. Sarung juga dipakai saat berdzikir atau membaca wiridan. Sarung dipakai saat umat Islam sedang bermunajat kepada Allah SWT. Bahkan sarung juga dipakai waktu bekerja, terutama para petani atau nelayan. Di ladang atau pantai banyak kita jumpai orang menggunakan sarung. Pokoknya sarung itu multi fungsi.
Di masa lalu, kala wayang kulit masih kuat menjadi tradisi orang Jawa, maka sarung juga menjadi pakaian untuk menonton wayang kulit. Jika di pagi hari ada orang yang selesai nonton wayang kulit, biasanya memakai celana pendek dan berkaos atau baju lengan pendek, dan kemudian sarungnya dililitkan di leher. Berjalan sambil agak ngantuk sebab selesai nonton wayang semalam suntuk. Berbeda dengan orang sekarang yang nonton wayangnya hanya di Youtube. Wayang kulit atau wayang orang atau wayang animasi. Hanya potongan-potongan ceritanya saja. Di masa lalu, nonton wayang itu semalam suntuk. Bagi penggemarnya bisa melewatkan semalam suntuk untuk menonton wayang kulit mulai dari jejeran awal sampai goro-goro sampai klimaks jalan cerita. Di akhir cerita pasti kebenaran yang menang dan kesalahan yang kalah. Rasionalitas transendental.
Ada banyak jenis sarung. Ada yang disebut sarung goyor. Sarung yang terbuat dari benang warna-warni. Produknya rapi tetapi kurang halus. Dingin jika dipakai dan cocok untuk selimut atau kemul pada waktu tidur. Banyak disukai oleh generasi tua. Sarung seperti ini memang produk lama, bahkan di kala kecil saya sudah memakainya. Tetapi hebatnya sampai sekarang masih ada. Memang ada penggunanya. Saya teringat ketika kecil dulu ada wabah kutu, yang suka sekali dengan sarung goyor. Kutu ini bisa bertempat di rambut atau segala jenis pakaian. Banyak sekali. Jika bertempat di pakaian, khususnya sarung goyor, maka cara membasminya melalui botol kaca atau botol beling. Sarung dihamparkan lalu botol digelindingkan di atas gelaran sarung, dan kutunya yang terkena botol kaca lalu berbunyi kretek-kretek. Matilah kutu-kutu itu. Jika kutu di rambut, maka dibersihkan dengan petan atau membersihkan kutu di kepala dengan biji padi yang masih utuh, jika kena lalu digigit dengan gigi. Asyik.
Sekarang sarung sudah memasuki dunia modern. Ada merek sangat terkenal, misalnya sarung BHS yang harganya cukup menantang, ada merek Wadimor, Gajah Duduk dan lain-lain. Bahkan kain yang selama ini digunakan untuk sarung sudah naik kelas digunakan untuk jas, dan celana. Pakaian resmi. Para pengusaha juga rajin untuk membuat iklan di televisi. Memang sudah berbeda. Sarung sudah melebar fungsinya.
Sarung sudah naik kelas. Di masa lalu sangat jarang atau bahkan tidak ada seseorang yang berlalu lalang di bandara dengan memakai sarung. Pastilah bercelana dan berpakaian rapi. Maklumlah di masa lalu, hanya mereka yang disebut kaum the have saja yang dapat naik pesawat. Kalau tidak kaya jangan bermimpi naik pesawat. Naik pesawat identik dengan kalangan kelas atas atau kaum borjuis. Saya bisa naik pesawat kala sudah menjadi staf ahli di LP3M IAIN Sunan Ampel, tahun 1991.
Sekarang nyaris di semua bandara didapati orang yang memakai sarung. Sarung bukan lagi simbol tradisionalitas akan tetapi sudah memasuki era modernitas. Orang merasa tidak canggung memakainya. Tidak merasa menjadi bagian kaum terbelakang. Bahkan orang bersarung sudah menggambarkan diri dalam kelas atas, meskipun tidak selalu kaum borjuis. Sarung sudah benar-benar menjadi bagian dari life style modern.
Di antara faktor yang juga terlibat di dalam menaikkan kelas kaum sarungan adalah Hari Santri Nasional. Semenjak ditetapkan dan diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 22 Oktober 2014, maka gemerlap kaum santri menjadi sengat kentara. Bahkan di acara-acara resmi kenegaraan, Pak Jokowi sering menggunakan sarung beradaptasi dengan para kyai dan santri yang selama ini identic dengan sarung. Artinya sarung benar-benar sudah naik kelas.
Wallahu a’lam bi al shawab.