Kekerasan Simbolik di Media Sosial
OpiniSalah satu yang tidak diperhitungkan oleh para pengunggah informasi melalui media sosial dalam kasus tertentu adalah tindakan tersebut bisa mengandung dan melahirkan kekerasan simbolik. Kekerasan yang dilakukan dengan tidak melukai fisik akan tetapi memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap seseorang. Hal ini yang disebut sebagai efek era cyber war atau perang cyber di media sosial. Efek kekerasan simbolik akan menyebabkan depresi yang dialami oleh seseorang yang menjadi target tindakan dimaksud. Tentu tidak semua mengalami depresi, tetapi kebanyakan akan mengalaminya.
Sekarang masyarakat sedang hidup di era media sosial, sehingga apa yang dinyatakan oleh seseorang tentu bisa memicu pro-kontra yang luar biasa. Apalagi yang menyatakan adalah seorang public figure. Presiden, Wakil Presiden dan Menteri itu berlaku ungkapan “ They can do no wrong”. Tidak boleh salah, sebab apapun yang keluar dari ungkapan pemimpin itu adalah “Sabda pandita ratu tan kena mawola wali. Terjemahan Bahasa Indonesianya adalah “Pernyataan para pemuka agama dan pemimpin itu tidak boleh berbolak-balik”. Maknanya, bahwa pernyataan para pemimpin itu adalah pernyataan yang harus benar dan mengandung kebijakan yang tidak boleh mengandung “kesalahan”.
Tampilan budaya masyarakat Indonesia itu sebagaimana ungkapan “The old wine in the new bottle”. Substansi budayanya masih bercorak lama meskipun dikemas dengan budaya baru. Jadi yang baru hanya wadahnya saja, sedangkan isinya masih barang lama. Wadahnya demokrasi tetapi isinya belum mencerminkan demokrasi secara substantif. Itulah yang terjadi juga di media sosial. Seakan-akan kita ini sudah memasuki budaya media sosial, tetapi sesungguhnya perilaku kita masih menggambarkan perilaku lama, yang berupa tindakan masyarakat tradisional dan tidak menggunakan pilihan rasional dalam mengunggah informasi melalui media sosial. Bahkan yang menyesakkan, jika media sosial itu hanya digunakan untuk mencari popularitas semata atau mengejar rating yang tinggi dan berujung pada materi. Sehingga, untuk memenuhi hasrat tersebut harus menggunakan ungkapan kontradiksi-problematik atau problem-problem kontradiksi, yang sengaja disebar agar memperoleh rating, viewer atau pengunduh yang banyak.
Di dalam kasus “good looking”, sebagaimana ungkapan Menteri Agama (Menag), sayangnya para pengunggah tayangan video kebanyakan tidak menganalisis secara utuh terhadap teks pembicaraan Menag, Fachrul Razi. Kebanyakan hanya mendasarkan atas pemberitaan melalui media sosial, seperti: televisi, atau tayangan youtube yang mementingkan rating dan viewer atau pengunduh. Perhatikan bahwa dengan mengunggah tayangan di youtube, sebagaimana dilakukan oleh media sosial. Misalnya, tayangan tanggapan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, sebanyak 332 ribu viewer (TVOne), Klarifikasi Menag di Hadapan DPR soal agen radikalisme good looking sebanyak 142 ribu viewer (Kompas TV), sementara tanggapan Dirjen Bimas Islam, Prof. Dr. Kamaruddin Amin dilihat oleh 13 ribu viewer. (diunduh dari Youtube, 11/09/2020).
Pasca pengunggahan berita di stasiun televisi dan media sosial, terdapat beberapa orang yang berupaya meyakinkan bahwa yang disampaikan oleh Menag tersebut sebagai kesalahan. Lebih jauh merupakan bentuk pelecehan terhadap orang yang memiliki kemampuan Bahasa Arab dan juga para hafiz. Kemudian, dengan kapasitas yang dimilikinya mengunggah video sebagai tayangan pembelaan. Beberapa dari mereka adalah tokoh organisasi, da'i dan dosen, misalnya Prof. Dr. Ahmad Zahro dengan viewer sebanyak 16 ribu penonton, Edi Mulyadi dengan viewer sebanyak 86 kali. (diunduh dari youtube, 11/09/2020).
Berbagai tayangan tersebut terkadang membuat kita menjadi berpikir keras, bahwa watak media sosial itu seperti pisau bermata dua, di satu sisi untuk “kebaikan” dan di satu sisi mengandung “keburukan”. Jika menghasilkan “kebaikan” tentu saja harus diapresiasi siapapun pengunggahnya, namun jika kemudian menghasilkan respon “keburukan” maka tentu bisa disesalkan.
Di dalam kasus isu “good looking”, sebagaimana disampaikan oleh Menag, Fachrul Razi, tentu mengandung dua sisi. Bagi yang memahami bahwa proses masuknya radikalisme ke masjid memang melalui cara seperti itu, maka tentu akan memahami bahwa itulah fakta lapangan. Namun, bagi yang tidak memahami secara utuh, maka akan menimbulkan respon yang bisa saja sangat bertolak belakang dengan intensi yang disampaikan oleh aktor pertama. Maka, di dalam dunia informasi selalu ada sikap pro dan kontra. Ada yang like dan ada yang dislike. Di dalam dunia media sosial semua bisa direkayasa, termasuk perihal like and dislike terhadap pengunggahan tayangan di media sosial.
Lalu, siapa yang sesungguhnya untung? Mereka yang untung adalah kaum kapitalis, dan memiliki media mainstream, sebab pro dan kontra itulah yang dikehendaki. Bayangkan dengan mengangkat potongan informasi itu berapa mereka memperoleh keuntungan. Setiap viewer, atau pengunjung youtube itu artinya iklan dan setiap iklan pastilah uang. Jadi dengan mengunggah berita pro-kontra, maka akan dituai keuntungan material yang sudah bisa diprediksi.
Jadi saya kira umat Islam tidaklah untung dengan tayangan-tayangan seperti ini. Apa yang terjadi hanyalah kekerasan demi kekerasan simbolik yang dirasakan oleh siapapun yang terkena imbas dari tayangan yang diunggah lewat kanal youtube atau media visual televisi, e-radio, dan media sosial lain. Hal ini memberikan gambaran betapa dahsyatnya media sosial itu di dalam praksis kehidupan manusia.
Oleh karena itu, yang diperlukan adalah menjadi pengunggah berkearifan, pikirkan dulu secara matang dan mendalam sebelum kita mengunggah apapun melalui media sosial. Hal ini dilakukan supaya kita terbebas dari perasaan “kurang atau tidak nyaman” karena melakukan unggahan yang bisa saja menyakiti atau membuat perasaan tidak nyaman bagi Sang Liyan.
Wallahu a’lam bi al shawab.