(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Kepemimpinan Pancasila untuk Masa Depan Indonesia

Opini

Kepemimpinan Pancasila adalah kepemimpinan yang memiliki basis sila-sila dalam Pancasila untuk mencapai visi, misi dan tujuan lembaga, baik institusi pemerintah maupun institusi sosial kemasyarakatan. Kepemimpinan adalah roh manajemen. Pemimpin adalah to do the right thing. Manajer adalah to do the thing right. Dengan demikian terdapat perbedaan antara pemimpin dan manajer. Pemimpin harus berinovasi yang benar yang tidak bertentangan dengan regulasi, sedangkan manajer harus melakukan pekerjaan secara benar sesuai dengan regulasi.

  

Basis kepemimpinan di Indonesia adalah sila-sila yang terdapat di dalam Pancasila. Di dalam memimpin institusinya, maka seorang pemimpin harus menjadikan Ketuhanan (Ketuhanan Yang Maha Esa), kemanusiaan (kemanusiaan yang adil dan beradab), persatuan dan kesatuan bangsa (Persatuan Indonesia), demokrasi (Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan Perwakilan) dan keadilan social (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) sebagai basis  kepemimpinannya. 

  

Ada banyak tantangan bagi bangsa Indonesia terkait dengan kepemimpinan Pancasila, yaitu: Ideologi new communist juga banyak mempengaruhi generasi muda. Ideologi ini tidak pernah mati dan akan terus berkembang seirama dengan semakin suksesnya model komunisme ala China. Keberhasilan China dalam misi pengembangan ekonomi dengan dual system, bisa menjadi pemicu ketertarikan generasi muda. Mereka bisa saja sangat terpengaruh dengan system komunis, yang sering dikonsepsikan sebagai new communist. 

  

China yang melesat dalam pembangunan ekonomi dan berekspansi ke negara lain dengan program kemitraan modal dan teknologi akan bisa menggerus terhadap kepercayaan anak bangsa, khususnya generasi muda, untuk latah menganggap bahwa model China adalah system terbaik. Komunis yang di dalamnya terdapat kejelasan sikap anti Tuhan atau atheism tentu tidak relevan dengan masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal sebagai masyarakat religious. 

  

Kemudian, Ideologi Islamist juga bisa mengancam terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Indonesia yang plural dam multicultural bisa berantakan jika kemudian keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Para pendiri bangsa ini telah bersepakat bahwa yang relevan untuk masyarakat Indonesia yang heterogin adalah Ideologi Pancasila, bukan yang lainnya. His Eminent Cardinal Parolin, pada saat bertemu di Vatican bahkan menyatakan: “Bangsa Indonesia sangat beruntung memiliki Pancasila, sebagai ideologi bangsa yang bisa mempersatukan bangsa Indonesia”. Saya masih ingat Beliau menyatakan Pancasila dengan ucapan “Pankasila”. 

  

Kita harus menjadikan Pancasila dengan sila-silanya sebagai pedoman di dalam memimpin birokrasi. Basis kepemimpinan adalah Ketuhanan yang berupa religiositas. Menempatkan kemanusiaan sebagai basis pelayanan. Menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Menempatkan musyawarah untuk memberikan pelayanan prima, dan tujuan birokrasi adalah terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera.

  

Visi dan misi birokrasi adalah untuk mencapai empat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap warga negara, membangun perdamaian dunia dan membangun keadilan bagi warga negara. Masyarakat Indonesia ini tergolong masyarakat yang paternalis. Pemimpin dianggap sebagi orang tua, sesepuh dan contoh atau rule model.

  

Pemimpin adalah contoh dalam pengetahuan, sikap dan tindakan bagi yang dipimpin. Menerapkan lima nilai budaya kerja secara proporsional dan seimbang, yaitu Integritas atau kejujuran, professional atau memiliki kapasitas dan kemampuan bekerja yang relevan dengan tusinya, inovatif atau terus membangun hal-hal baru untuk kepentingan pelayanan public, bertanggung jawab atau memiliki kapasitas untuk mempertanggungjawabkan atas pekerjaannya, dan keteladanan atau menjadi rule model bagi warga dalam birokrasi.

  

Kita memiliki Dalil naqli, sebagai pedoman di dalam kepemimpinan bangsa, yaitu  kullukum ra’in wakullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi.  Selain  itu juga harus menjadi  pemimpin yang ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso dan tutwuri andayani. Seorang  pemimpin yang memberi keteladanan di depan masyarakatnya, menjadi penggerak di dalam masyarakatnya dan menjadi pendorong bagi masyarakatnya. Corak kepemimpinan yang digaungkan oleh Ki Hajar Dewantara ini bersifat universal dan dapat diterapkan untuk bangsa Indonesia.

   

Di Era sekarang, kita juga harus menjadi  pemimpin yang memahami reformasi birokrasi, dengan delapan area perubahan yang harus diimplementasikan, yaitu: manejemen perubahan, penataan regulasi dan peraturan perundangan-undangan, penataan struktur dan tata kelola organisasi/birokrasi, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas, penguatan SDM, perubahan mindset dan cultural set aparat negara. 

  

Ke depan kita akan memasuki world class bureaucracy. Artinya kita harus melakukan perubahan-perubahan mendasar agar kita benar-benar memasuki World Class Bureaucracy dengan kepala tegak dan mampu bersaing dengan negara-negara lain. Tanpa perubahan mendasar di dalam mengelola negeri ini dipastikan kita akan tertinggal. Semua ini dapat dijalankan melalui kepemimpinan yang berkualitas. Hal seperti ini yang saya sampaikan di dalam acara Pelatihan Kepemimpinan Administrator (PKA)  Angkatan VII  tanggal 11 Maret 2022, yang diselenggarakan oleh Balitbangdiklat dan diikuti oleh 40 orang pejabat Eselon III Kementerian Agama.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.