(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Kesalahan Memahami Moderasi Beragama

Opini

Secara konseptual bisa dinyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang tentu bisa lebih mudah menerima atau menolak pandangan atau gagasan orang lain. Atau dengan kata lain bahwa selalu terdapat dualisme respon dalam menerima ide atau gagasan orang atau sekelompok orang, yaitu pandangan negatif dan positif. Yang menerima dengan positif tentu memiliki kesamaan pandangan dan yang negatif tentu memiliki perbedaan pandangan. 

  

Secara kodrati,  manusia memang memiliki dua kecenderungan, yaitu kecenderungan untuk menyatakan sesuatu sebagai kebenaran dan sesuatu sebagai kesalahan. Namun demikian juga terdapat seseorang yang mampu menempatkan sesuatu yang benar sebagai kebenaran dan yang salah sebagai kesalahan. Tetapi yang seperti ini tentu jumlahnya tidak banyak, sebab kebanyakan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, kecenderungan atau keinginan, dan factor-faktpr pribadi yang memang menganggap bahwa yang benar adalah dirinya sendiri dan kelompoknya dan yang lain salah. 

  

Akhir-akhir ini di media sosial banyak bertebaran informasi yang terkait dengan Gerakan Islam wasathiyah atau Gerakan Moderasi Beragama. informasi ini tentu terkait dengan respon sosial terhadap Gerakan Moderasi Beragama yang dicanangkan oleh pemerintah (baca Kementerian Agama atau Kemenag) dalam kerangka untuk mengembangkan literasi tentang beragama yang moderat atau yang wasathiyah dan membendung semakin menguatnya gerakan ekstrim, baik dalam bentuknya Salafi Takfiri maupun Jihadi. Memang juga semakin menguat gerakan Salafi Wahabi yang di media sosial demikian getol menyuarakan anti Moderasi Beragama. Unggahan di Kanal Youtube, misalnya betapa banyaknya di antara mereka yang berdakwah dengan mengusung tema-tema mendiskreditkan pemahaman atau pengamalan agama bagi umat Islam lainnya. 

  

Di berbagai WA Grup, termasuk WAG para akademisi di Perguruan Tinggi juga menyuarakan hal yang sama. Ada WAG para professor yang juga berisi pendapat-pendapat yang lebih cenderung ke Islam dalam coraknya yang kritis dan oposan terhadap pemerintah. Ada WAG yang memang hanya berisi pandangan yang anti pemerintah dan ada juga WAG yang isinya menginformasikan tentang “kebaikan” pemerintah. Semuanya menggambarkan bahwa ada dinamika yang luar biasa, dengan kategori “kelompok di luar pemerintah” dan “kelompok di dalam pemerintah”. 

  

Dengan menggunakan analisis isi sederhana saja akan bisa ditipologikan bahwa terdapat beberapa penggolongan dari konten WAG yang sering kali kita berada di dalamnya. Saya mencoba untuk mengkategorikan ke dalam tiga hal, yaitu: pertama, konten yang berseberangan dengan pemerintah. Isinya dipastikan terkait dengan gerakan anti pemerintah melalui saluran media sosial. Biasanya menggunakan kata “viralkan”. Konten media sosial ini selalu menjustifikasi bahwa pemerintah tidak ada sedikitpun kebenaran di dalamnya. Ungkapan pemerintah otoriter, cenderung ke komunis, pro-China, hutang negara membengkak, proyek pembangunan pencitraan, pembangunan gagal dan sejumlah pernyataan yang intinya menggugat peran pemerintah.  

  

Kedua, kontan campuran, artinya ada konten yang berseberangan dengan pemerintah tetapi juga ada konten yang terkadang pro pemerintah. Meskipun yang kontra pemerintah itu jauh lebih banyak dan bervariasi kontennya. Akan tetapi intinya pada kontra pemerintah. Di dalam media sosial seperti ini memang terdapat variasi latar belakang basis organisasi dan kepentingannya. Hanya saja di dalam realitasnya, suara yang kontra pemerintah itu lebih nyaring karena terdapat aktivis yang memiliki nalar anti pemerintah yang kuat. Meskipun demikian masih ada yang cenderung netral dan tidak semua  kebijakan pemerintah disalahkan.

  

Ketiga, ada sejumlah individu yang memang berada di dalam berbagai WAG tetapi lebih memilih diam dan tidak terlibat di dalam perdebatan-perdebatan yang pro atau anti pemerintah. Ada di antaranya yang kemudian mengembangkan konten sendiri yang dirasakan lebih cocok dengan kepribadian dan kecenderungannya. Apa yang tidak disetujui dalam narasi di media sosial kemudian diungkapkannya melalui tulisan atau gagasan yang dianggapnya relevan dengan logika berpikirnya. 

  

Jika dikaitkan dengan Gerakan Islam Wasathiyah atau Gerakan Moderasi Beragama, maka pada kelompok pertama dan kedua terjadi persamaan. Ada kecenderungan untuk berpikir bahwa Gerakan Wasathiyah atau Gerakan Moderasi Beragama adalah untuk mengerdilkan Islam. Mereka menolak pandangan bahwa orang  Islam yang memperjuangkan aqidah secara benar itu dianggap sebagai intoleran, atau ekstrim. Mereka juga menolak pandangan bahwa  orang yang jihad di jalan Allah  dianggap tidak sesuai dengan Islam. Selain itu juga cenderung untuk menginformasikan sekitar FPI, HTI, HRS, Anies, buzzer anti Islam dan seabrek berita yang tujuannya mendiskreditkan pemerintah. Pada kelompok pertama, pemerintah itu dhalim kepada rakyat. Pemerintah itu mengekang hak asasi manusia dalam kegiatan kebersamaan. PPKM hanya berlaku bagi umat Islam dalam merayakan hari raya tetapi tidak untuk nataru. 

  

Pada kelompok yang kedua, memang masih terdapat sedikit keseimbangan. Artinya bahwa narasi-narasi kontra pemerintah itu masih sekali waktu dibantah oleh internal anggota WAG. Ada yang tetap menyuarakan keseimbangan, kesetaraan dan keadilan. Mereka masih ada yang melakukan kontra narasi meskipun suaranya nyaris tidak terdengar. Kelompok anti-pemerintah tetap menyuarakan bahwa moderasi beragama adalah  upaya untuk mensinkretiskan ajaran agama dan mengkriminalkan para ulama. Kasus HRS dan kematian enam orang pengawalnya menjadi syuhada.  Dan  yang menarik mereka juga menggunakan term-term yang selama ini dianggap “bidh’ah”, misalnya tahlilan.

  

Moderasi beragama telah disosialisasikan dengan memadai, terutama terhadap para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Hanya saja, ketika ada seorang individu yang di dalam mindsetnya sudah berpraanggapan bahwa pemerintah itu dholim pada umat Islam, dan bahkan pemerintah tidak sepenuhnya mengadaptasi hukum Islam, maka pandangan anti pemerintah itu yang akhirnya tetap mengedepan.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.