Ketika Pesantren Bukan Lagi Identik dengan Islam Wasathiyah
OpiniPendidikan memang investasi bagi kehidupan masyarakat. Melalui pendidikan maka akan tercipta generasi yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang baik untuk investasi masa depan. Itulah sebabnya, banyak kalangan yang kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, meskipun negara sudah memberikan jaminan bahwa semua warga negara akan memperoleh pendidikan. Masyarakat tetap memberikan sumbangan layanan pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama, pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat tetap tumbuh dengan subur, terutama yang dikelola oleh organisasi sosial maupun organisasi sosial keagamaan. Sebagai pemetaaan kasar, dapat diketahui bahwa NU misalnya banyak mengelola pendidikan agama dan keagamaan, sedangkan Muhammadiyah banyak mengelola pendidikan umum. Organisasi lain seperti Nahdlatul Wathan, Jamiyatul Washliyah, Mathlaul Anwar dan lainnya juga banyak mengelola pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama dan keagamaan.
Di masa lalu, Pendidikan Madrasah, Pesantren dan PTKI menjadi ciri khas NU, sedangkan sekolah umum seperti SD, SMP, SMA dan Universitas menjadi lahan pengabdian organisasi Muhammadiyah. Tetapi perkembangan berikutnya, pesantren-pesantren juga mengembangan model pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMA dan universitas. Demikian pula Muhammadiyah yang selama itu lebih banyak berurusan dengan pendidikan umum juga mendirikan pesantren, terutama lembaga tahfidz Al-Qur’an.
Akhir-akhir ini juga didapati lembaga pendidikan yang dikelola oleh kaum salafi. Banyak sekolah yang bisa diidentifikasi sebagai lembaga yang dikelola dan dikembangkan oleh kaum Salafi, misalnya sekolah-sekolah berbasis Islam Terpadu. Selain itu juga muncul di beberapa daerah Lembaga-lembaga pendidikan pesantren, yang mengidentifikasi sebagai pesantren tahfidz, rumah Al-Qur’an dan Yayasan Pendidikan yang berbasis paham keagamaan salafi.
Selama ini pesantren itu identik dengan NU. Jika orang bicara tentang pesantren, maka di dalam benaknya lalu terpikir bahwa pesantren ini pasti milik NU atau orang yang secara pemahaman keagamaan bercorak NU. Tetapi akhir-akhir ini tentu tidak bisa seperti itu. Melalui gerakan tahfidz Al-Qur’an, maka banyak kaum Salafi yang mendirikan lembaga dengan nama pesantren, bahkan rumah Al-Qur’an. Di kota-kota besar tumbuh dengan subur rumah-rumah Al-Qur’an yang menjadi medium untuk program pembelajaran Alqur’an plus. Lalu di tempat-tempat pedesaan atau pinggiran-pinggiran kota juga tumbuh pesantren-pesantren dengan varian nama, biasanya menggunakan nama-nama Sahabat Nabi, Tabi’in dan tokoh-tokoh terkenal dalam dunia Islam.
Kita tentu bersyukur dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam yang mengusung program Islamisasi. Hanya saja yang menjadi problem bahwa pesantren dan rumah Al-Qur’an ini mengusung ide Salafi yang selama ini sering berurusan dengan pengamalan keberagamaan yang menjadi arus utama. Di dalam program pendidikannya dienkulturasikan tentang Islam ortodoks bahkan ultra ortodoks. Semua yang dipahami tidak berasal dan tidak sama dengan Islam di Arab Saudi dianggapnya sebagai kesalahan dan “bukan” Islam. Baginya, Islam hanyalah Islam sesuai dengan tafsirannya saja dan yang lain dianggap menyimpang. Secara antropologis disebut sebagai program Arabisasi Islam. Orang Indonesia berkeinginan menjadi Orang Arab. Jadi bukan orang Islam Indonesia, yang menjelaskan bahwa orang Islam tetapi bermukim di Indonesia, tetapi orang Islam Arab. Proses inilah yang sesungguhnya sudah lama sekali diingatkan oleh tokoh-tokoh Islam wasathiyah seperti Gus Dur dan Cak Nur. Gus Dur mengusung konsep Pribumisasi Islam dan Cak Nur mengusung konsep Islam Indonesia. Di dalam konsep ini, bukanlah keinginan menjadi orang Islam Arab tetapi agar berkeinginan untuk menjadi orang Islam Indonesia.
Merebaknya kasus pesantren yang digerebek oleh Densus 88 di Yogyakarta. Pesantren Ibnul Qayyim itu diduga sebagai salah satu pesantren yang menjadi sarang gerakan radikal. Pesantren Ibnul Qayyim berada di Dusun Gandu, Sendangtirto, Berbah, Sleman Yogyakarta, Jumat 02/04/2021 digerebak oleh Densus 88. (CNN Indonesia, diunduh 07/04/2021). Kasus pesantren sebagai tempat penyemaian gerakan radikal sebenarnya sudah sangat lama, misalnya Pesantren Ngruki di bawah asuhan Abu Bakar Baasyir. Pesantren ini di masa lalu dianggap sebagai wadah bagi penggodokan kader-kader yang berafiliasi dengan gerakan radikal, karena pemahamannya bahwa pemerintahan di Indonesia dianggapnya sebagai thaghut. Mungkin sudah ada perubahan seirama dengan gencarnya upaya pemerintah untuk memberangus paham beragama yang bercorak radikal.
Penggeledahan terhadap pesantren bukan bermakna pemerintah membenci atau mendegradasi makna pesantren sebagai tempat penyemaian pemahaman agama. Terhadap pesantren yang tidak mengajarkan tentang paham keagamaan yang berkonotasi kekerasan tentu tidaklah patut untuk meradang. Yang salah bukan pesantren dan agamanya (khususnya Islam), akan tetapi pemahaman agama yang bercorak dan mengandung kekerasan. Ajaran jihad yang hanya dimaknai dengan perang melawan kekafiran dan anggapan bahwa pemerintah sebagai thaghut atau berlebihan di dalam kekafiran tentu menjadi pintu masuk bagi gerakan radikal.
Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi dilabel sebagai lembaga pendidikan yang mengusung moderasi beragama sebagaimana di masa lalu, tetapi ada juga pesantren yang telah menjadi ajang bagi proses pemahaman Islam dalam coraknya yang salafisme, dan ke depan tentu akan terjadi polarisasi yang diakibatkan oleh dunia pesantren yang memiliki ciri seperti ini.
Pesantren-pesantren yang mengusung Islam wasathiyah saya kira harus tetap konsisten mencermati dan mendidik para santrinya agar bersearah dengan keinginan untuk membangun Islam Indonesia yang moderat. Jangan sampai pesantren moderat juga terpapar gerakan yang terdesain untuk memahami Islam dengan coraknya yang keras.
Wallahu a’lam bi al shawab.