(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Kita Nikmati Perbedaan Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriyah

Opini

Bukan hanya sekali ini saja di Indonesia terjadi perbedaan hari raya, baik hari raya Idul Adha maupun Idul Fitri. Jika di Indonesia terjadi persamaan hari raya itu bukan karena kehebatan manusia untuk merumuskannya akan tetapi karena hilal sedang berbaik hati. Karena dengan dua ukuran, baik rukyatul hilal maupun wujudul hilal  ternyata memang memberikan peluang untuk bersama. Tetapi jika tidak sedang baik hati, maka bisa saja terdapat perbedaan, sebagaimana hari raya Idul Adha, tahun 1443 Hijriyah kali ini.

  

Bagi masyarakat Indonesia,  perbedaan hari raya bukan hal baru, sekurang-kurangnya semenjak lahir organisasi-organisasi Islam yang memang memiliki metodologi penentuan awal bulan dan akhir bulan. Ada yang mendasarkan pada tradisi leluhur, misalnya Islam Aboge, yang memiliki ukuran tahun Saka, sehingga penentuan hari raya juga didasarkan pada perhitungan tersebut. Ada pula yang menggunakan fenomena alam, misalnya air laut pasang. Hal yang paling popular adalah metodologi hisab dan rukyah atau wujudul hilal dan imkanur rukyah yang  ngetren di Indonesia.

  

Keinginan untuk menyusun satu kalender Islam juga sudah lama. Bahkan juga sudah didiskusikan tidak hanya dalam internal negara, misalnya di Indonesia, akan tetapi juga lintas negara, misalnya dengan Saudi Arabia dan negara-negara Asia Tenggara. Jika di dalam kalender Masehi, maka hari dihitung dalam jumlah jam (24 jam), sehingga di seluruh dunia, maka pergantian hari itu ditentukan atas waktu atau jam tersebut. Di dalam sistem solar, satu hari dimulai dengan pukul 24.01 malam dan berakhir pada pukul 24.00 malam berikutnya. Inilah  satu hari. Di mana saja di seluruh dunia terdapat kesepakatan bahwa satu hari adalah seperti itu. Serta yang paling penting, bahwa tidak ada aspek ritual yang terkait dengan  jam tertentu. Ritual itu dikaitkan dengan hari dan bukan jam. 

  

Sebaliknya di dalam kalender Hijriyah, maka banyak ritual yang terkait dengan hari dan jam. Di dalam sistem lunar, maka satu bulan  29,5 jam. Itulah sebabnya di dalam satu bulan dengan sistem kalender Hijriyah itu bisa terjadi waktunya 29 hari atau 30 hari. Sebenarnya juga sama dengan sistem kalender Masehiyah, maka umurnya ada yang 30 hari atau 31 hari, khusus bulan Februari usianya 29 hari dan dalam empat tahun sekali, usianya  menjadi 28 hari atau disebut tahun kabisat. Namun demikian, untuk upacara keagamaan di dalam agama Katolik atau Protestan, yang penting hari bukan jamnya. Perayaan Natal, misalnya hanya ditentukan tanggal 25 Desember. Perkara jamnya mengikuti hari dan jam sesuai dengan wilayah kalender tersebut terjadi. 

  

Di dalam merumuskan  29,5 hari, maka terdapat penafsiran metodologis dengan sistem rukyah dan hisab. Bagi yang mengikuti metodologi hisab dengan pola wujudul hilal, maka selama dengan hisab tinggi hilal  0,1 maka dinyatakan bahwa hilal sudah wujud sehingga bulan sudah berganti. Jadi, ukurannya di bawah 0 derajat atau di atas 0 derajat. Tetapi yang menggunakan metodologi rukyah dengan pola imkanur rukyah, maka bulan  dinyatakan berganti jika melalui konfirmasi sekurang-kurangnya tinggi hilal sudah dua derajat. Jadi sampai kiamatpun tidak akan bisa bersepakat  jika ketinggian hilal sangat rendah kurang dari dua derajat.

  

Maka dengan menggunakan waktu tertentu (jam tertentu) dalam ibadah, bisa terjadi  perbedaan pendapat. Maju ke depan atau mundur ke belakang. Misalnya kala hilal di bawah 0 derajat, maka semua sepakat bulan belum berganti. Sedangkan  di atas 0 derajat tetapi belum mencapai ketinggian dua derajat, maka akan terjadi penafsiran pergantian bulan. Bagi yang berpedoman pada imkanur rukyah, maka hanya hilal di atas dua derajat yang dinyatakan bulan sudah berganti. Karena ibadah atau salat hari raya  itu dilakukan dalam kisaran waktu pukul enam atau tujuh, maka bisa terjadi perbedaan waktu antar wilayah. Pada tahun 1443 Hijriyah, di Saudi Arabia salat hari raya Idul Adha akan berlangsung hari Sabtu tanggal 9 Juli atau 10 Dzulhijjah.  Perhitungan  awal bulan Dulhijjah adalah hari Kamis, 30 Juni 2022 atau 1 Dzulhijjah 1443 H. Berdasarkan metodologi hisab dengan model wujudul hilal, maka hilal sudah berada di atas 0 derajat. Jadi bulan Dzulqo’dah sudah berubah menjadi Dzulhijjah. Sementara itu bagi yang menggunakan metodologi rukyah, maka pada 30 Juni belum berubah dari bulan Dzulqa’dah ke Dzulhijjah, sebab ketinggian hilal belum mencapai dua derajat. Jadi tanggal 1 Dzuhijjah jatuh pada hari Jum’at 1 Juli, atau di dalam terminologi agama disebut diistikmalkan atau disempurnakan menjadi 30 hari usia bulan Dzulqo’dah. Jadi bukan maju ke depan 29 hari tetapi 30 hari. 

  

Perbedaan waktu antara Indonesia dan Arab Saudi adalah  empat jam. Jika Salat Ied dilakukan di Indonesia pukul 07.00 pagi, maka Waktu Arab Saudi masih  pukul dua dini hari. Jika Salat Ied dilakukan di Saudi Arabia pukul 07.00 pagi, maka di Indonesia sudah jam 11.00 siang. Jadi logikanya, jika Salat Ied di Indonesia pada pukul 07.00 pagi, maka Salat Ied di Saudi Arabia dilakukan pada pukul 07.00 pagi atau pukul 11.00 siang di Indonesia. 

  

Terjadinya kesamaan Salat Ied dalam satu hari, jika shalat id  di Indonesia pada pukul  07.00 pagi dan di Arab Saudi juga pukul  07.00 pagi tetapi di Indonesia sudah jam 11.00 siang. Sama dengan waktu  melakukan Salat Isya’, sama jamnya yaitu jam 19.00.  Shalat Isya di Mekah  dilakukan pada pukul 19.00 malam hari tetapi di dalam waktu Indonesia Barat sudah pukul  23.00 malam. Jadi kalau kita menghubungi sahabat kita orang Indonesia, "saya baru selesai shalat Isyak di Mekkah."  Jam  berapa di Surabaya sekarang? maka akan dijawab" pukul  23.00 malam." Tetapi dalam hal Salat Subuh, maka ketika kita shalat shubuh di Surabaya pukul 04.00 pagi dan kemudian kita bertanya pada kawan kita di Mekkah:  “jam berapa sekarang? " maka akan dijawab: “sekarang jam  tiga  pagi."

  

Mengacu pada perbedaan jam tersebut, maka hari ini Salat Idul Adha dilakukan jam 07.00 pagi di Mekah, maka seharusnya Salat  Idul Adha di Indonesia sudah dilakukan pada jam tiga dini hari. Perbedaan waktu inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara yang menggunakan konsep wujudul hilal dan imkanur rukyah. Kita Salat Idul Adha di Surabaya pukul 07.00,  sementara itu Salat Idul Adha baru empat jam lagi dilakukan di Mekkah. Salat Idul Adha pukul 07.00 pagi di Mekkah atau pukul 11 siang di Indonesia.  Kesamaan waktu Salat Idul Adha hanya terjadi dalam satu hari dalam contoh seperti ini. 

  

Sudah berkali-kali  kita menikmati ketidakbersamaan seperti ini dan kita tidak saling mencela atau saling menghormati. Kita akur-akur saja. Bahkan terkadang bisa menjadi bahan gurauan. Tetapi akhir-akhir ini menjadi masalah ketika ada upaya untuk mendiskreditkan antara satu dengan lainnya. Misalnya ungkapan sindiran di media sosial: “Wukuf dilakukan di Arafah dan bukan di Nusantara." Hal-hal seperti ini yang akhirnya bisa memicu disharmoni sosial. Tetapi untunglah masyarakat kita sudah semakin dewasa, sehingga cibiran tersebut dibiarkan numpang lewat.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.